Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jaka Setiawan

Mencegah Weaponization Ekonomi China di ASEAN

Politik | Wednesday, 06 Mar 2024, 19:40 WIB

Kapal-kapal Penjaga Pantai dan Milisi Maritim China mengganggu, memblokir, mengerahkan meriam air, dan melakukan manuver berbahaya kepada Kapal-kapal Filipina pada Selasa (5/3/2024). Filipina menyebut tindakan awak kapal China tersebut menyebabkan empat awak kapal mereka terluka dalam sebuah misi pengisian bahan bakar di Laut China Selatan.

Insiden ini terjadi di perairan sekitar Second Thomas Shoal di Kepulauan Spratly di mana kedua negara memiliki klaim maritim yang diperebutkan. China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan, mengesampingkan klaim-klaim yang bersaing dari sejumlah negara Asia Tenggara dan keputusan internasional yang telah menyatakan bahwa pendiriannya tidak berdasar.

Peta sengketa Laut China Selatan

Sikap China tersebut menjadi preseden buruk bagi kawasan dimana kita tau bahwa Asia adalah bagian dunia yang memiliki potensi kerentanan keamanan yang sangat tinggi. Kawasan ini memiliki resiko menjadi teater perang di antara negara-negara besar, mereka tidak memiliki tempat perjanjian pengendalian senjata seperti yang ada di Eropa. Ketidaksepakatan ideologis yang tersisa dari perang dingin masih ada di Asia, lebih dari dua lusin konflik teritorial yang harus diselesaikan. Asia Tenggara terdiri dari sepuluh negara dengan populasi lebih dari 500 juta jiwa. Memiliki selat yang dilewati 40 persen lalu lintas maritim dunia dan lebih dari setengah perdagangan minyak melewati jalur tersebut. Data dan fakta demografi ini memperumit resiko konflik di Laut China Selatan.

Asia Tenggara memang bukan wilayah prioritas untuk kekuatan utama dunia, tapi menjadi pasar terbesar di dunia. Awal perselisihan muncul setelah perang dunia ke II ketika China Mengklaim batas teritorial dari tiga negara ASEAN, Indonesia, Malaysia dan Filipina, menyusul kemudian Vietnam. Sekitar tahun 1990-an, akses laut ke cadangan migas serta perikanan dan sumber daya laut semakin mempertajam klaim. Kini China semakin membesar, efeknya tidak hanya ekonomi; bahkan lebih rumit membaca mereka di bidang politik dan tingkat strategis. Tujuan akhir China Adalah untuk mendominasi Asia seperti cara Amerika Serikat mendominasi belahan barat. Secara khusus, China Akan berusaha untuk memaksimalkan kekuatan kesenjangan antara dirinya dan tetangganya, terutama Jepang dan Rusia, dan untuk mengurangi pengaruh AS di kawasan itu, seperti halnya Amerika Serikat yang mendorong kekuatan- kekuatan besar Eropa keluar dari belahan barat.

China Sebagai negara "kapitalis tidak demokratis", istilah yang diciptakan oleh David Zweig. Benarkah mereka tidak akan memicu resiko perang besar di Asia Tenggara? Jika merujuk pada perang non-tradisional maka Asia Tenggara bisa menjadi teater perang dunia ketiga. Meskipun Asia Tenggara memiliki masalah internal yang jauh lebih besar, yaitu masalah ketidakstabilan ekonomi, sosial politik dan risiko pergolakan yang serius. Bagaimana potensi ancaman terhadap keamanan regional dan kepentingan negara-negara besar, termasuk Indonesia serta perkembangan China yang sedang melakukan militarization dan weaponization dengan memanfaatkan pertumbuhan ekonominya. Jangan sampai titik ini berkembang menjadi militerisasi ekonomi China .

Pembangkangan Hukum 

Secara hukum, gamblang sekali urusan klaim Laut China Selatan ditafsirkan. Namun, dinamikanya diluar dari ekspektasi yang kita harapkan. Ada dua prinsip mengatur klaim ini. Pertama adalah effective occupation dapat menunjukkan kedaulatan sebuah negara atas wilayah teritorial dibandingkan dengan perjanjian internasional, seperti terlihat dalam kasus-kasus Island of Palmas, Eastern Greenland, Sengketa Pulau Pedra Branca, dan Sengketa Pulau Sipadan Ligitan, dimana terlihat bahwa pendudukan secara efektif dapat mengalahkan perjanjian secara historis dan dapat menimbulkan kepemilikan atas wilayah oleh sebuah negara meskipun tidak ada perjanjian bilateral dari kedua negara yang bersengketa. Kemampuan dan niat untuk menjalankan yurisdiksi terus menerus dan tidak terputus, ini yang membedakan dengan penaklukan.

Foto yang diambil pada 20 September 2023 ini memperlihatkan kapal Penjaga Pantai China (belakang) membayang-bayangi kapal-kapal nelayan Filipina yang bersauh di dekat Karang Scarborough di wilayah perairan sengketa Laut China Selatan.

Prinsip kedua adalah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang menetapkan aturan untuk memutuskan klaim berdasarkan sumber daya di zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen (ZEE adalah zona maritim terbentang hingga 320 kilometer dari pantai yang mendukung klaim negara pantai atas sumber daya di sana). Namun klaim China berjalan tumpang tindih dan melampaui hukum negara-negara ASEAN bahkan hukum internasional.

Klaim China didasarkan pada sejarah, klaim semacam itu tidak terlalu berpengaruh pada hukum internasional. Tetapi menurut perspektif China , hukum internasional tersebut menurunkan derajat dan warisan leluhur yang mereka anggap sebagai sumber kebencian. Sikap dan kalim China bahwa sejarah itu mendahului UNCLOS (yang disetujui pada tahun 1982 dan mulai berlaku pada tahun 1994 setelah 60 negara meratifikasinya) dan itu harus disesuaikan untuk mengakomodasi hak sejarah China . Untuk mendukung klaim tersebut, China telah menggunakan tekanan diplomatik untuk merevisi hukum internasional atau mendapatkan pengecualian khusus kasus tersebut, dimana agar klaim leluhur China akan diakui oleh semua orang.

Neo-Merkantilis dan Stabilitas Kawasan

Indonesia dianggap telah memperoleh banyak manfaat, namun juga tidak sedikit kerugian dari globalisasi. Kebijakan Orde Baru mengintegrasikan Indonesia ke dalam ekonomi global secara progresif, sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang spektakuler hampir 7 persen per tahun selama lebih dari tiga puluh tahun, melipatgandakan rata-rata pendapatan tahunan dalam satu generasi. Tapi globalisasi menyerang balik selama Asian Financial Crisis (AFC). Selama AFC dan bergulirnya reformasi dengan lengsernya Presiden Soeharto, banyak bermunculan pandangan kritis. AFC dinilai sebagai bukti kegagalan globalisasi, menghilangkan kedaulatan negara dan ekonomi didominasi oleh orang asing dan warga China.

Presiden Joko Widodo berfoto bersama di tangga Istana Merdeka seusai peresmian pembukaan ASEAN Business and Investment Summit di Istana Negara, Jakarta, Jumat (1/9/2023). Saat memberikan sambutan pada acara tersebut, Kepala Negara meminta ASEAN memiliki strategi taktis dan luar biasa.

China yang kini menjadi lokomotif globalisasi dan pertumbuhan ekonomi global memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada pasar luar negeri. Globalisasi yang dibawa China akibat kelangkaan sumber daya alam, terutama energi, bahan mentah, dan air, untuk mendukung populasi yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang cepat merupakan masalah yang semakin serius. Lihat saja, keberadaan kapal penangkap ikan China beroperasi di hampir seluruh penjuru dunia, sebagian ilegal. Sepanjang beberapa tahun terakhir, jumlah insiden dengan kapal penangkap ikan China memang meningkat.

Insiden-insiden itu terjadi tak hanya di perairan yang menjadi obyek sengketa di Laut China Selatan dan Laut China Timur, tapi juga di zona ekonomi eksklusif (ZEE) di negara-negara lain dan perairan internasional. Kapal-kapal penangkap ikan China berlayar hingga ke Afrika dan Amerika Selatan. Semua itu bukan satu kebetulan. Di balik berbagai kejadian itu sebenarnya adalah adanya pergeseran mendasar di sektor perikanan laut China : dari penangkapan ikan di perairan pantai ke perairan laut lepas dan ekspansi kegiatan penangkapan ikan jarak jauh atau Distant Water Fishing (DWF). Pada 1985, hanya ada puluhan kapal kecil yang secara rutin menangkap ikan di dekat Kepulauan Spratly. Tapi pada 2013 sudah ada 700 kapal. Sama halnya, armada DWF China meningkat dari 13 kapal pada 1985 menjadi 2.460 kapal pada 2014.

Seolah perselisihan energi tidak cukup, persaingan atas penangkapan ikan dan sumber daya lautan di Laut China Selatan juga berkontribusi pada meningkatnya ketegangan. Masalahnya, kecuali Jepang dan Rusia, negara seperti Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam sangat diragukan bakal sanggup berhadapan langsung dengan China, terutama secara militer. Masyarakat internasional hendak membendung agresi kapal penangkap ikan China, yang dibutuhkan adalah tindakan dengan basis yang luas. Negara-negara yang merasa dirugikan mesti bersatu. Tapi, untuk itu, Diperlukan kepemimpinan yang kuat seperti Amerika Serikat.

Biasanya Jepang menjadi partner yang baik bagi kebijakan Amerika di Asia. Jepang bisa menjadi alternatif untuk mengembangkan saling ketergantungan dan menjalin kedekatan hubungan politik dan ekonomi dengan ASEAN, berdasarkan Fukuda Doctrine pada 1977 dan Takeshita Doctrine pada 1987. Perdana Menteri Hashimoto Ryutaro menyampaikan pidato kebijakan, "Reformasi untuk Era Baru Jepang dan ASEAN," yang menggarisbawahi kebijakan Jepang yang konsisten terhadap ASEAN sejak 1977.

Kebijakan tersebut mencapai puncaknya pada pemerintahan Hashimoto 1997, mereka bertransformasi dari pendekatan traditional bilateralism ke regionalisme baru. Menarik perhatian saat kunjungan Hashimoto ke wilayah ASEAN melambangkan Jepang secara bertahap ingin mengambil peran independen dan aktif di Asia Tenggara. Dan kunjungan Hashimoto menjadi tradisi bagi pemimpin-pemimpin Jepang berikutnya, termasuk yang terakhir Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida ke Indonesia 29 April 2022, tur lima negara ASEAN dimulai dari Indonesia. Sejak pengumuman doktrin Hashimoto, Jepang telah melaksanakan diplomasi aktifnya. Setelah 1977 ternyata ASEAN menikmati status khusus dalam kebijakan luar negeri Jepang. Keteraturan kunjungan Perdana Menteri Jepang membantu pertahankan status favorit wilayah ini. Apakah Jepang hanya bereaksi terhadap kebangkitan China? China -lah yang bereaksi terhadap lingkungan regional yang cepat berubah, bukan Jepang.

Munculnya Regionalisme Asia Timur tidak dapat terwujud tanpa dinamika dan kemitraan Jepang-ASEAN yang dinamis, yang dibentuk oleh Jepang sebagai fasilitator ideasional dengan ASEAN sebagai penggeraknya. Pandangan lain yang biasanya dipegang adalah bahwa Jepang terikat untuk mendominasi dunia karena orientasi neo-merkantilis. Kebijakan Jepang di Asia Tenggara terbukti mampu mensinkronisasi upaya ASEAN untuk menggalang stabilitas dan perdamaian di kawasan dibandingkan dengan China.

Membaca Perspektif China 

Persepsi para pengambil kebijakan luar negeri terhadap situasi lingkungan internasional memainkan peran penting dalam membentuk perilaku negara tersebut. Paling tidak, terdapat dua kemungkinan model persepsi para pemimpin di Beijing yang dapat berkontribusi pada suatu keputusan untuk menggunakan kekuatan militer dalam sengketa.

Pertama, China, yang lebih kuat, memandang negara-negara di kawasan bukan hanya lebih lemah, juga terpecah-belah. Organisasi regional dipandang tidak berfungsi dengan baik dalam mengkoordinasi respons terhadap China. Selain itu, terjadi penurunan signifikan dari pengaruh negara-negara besar lain di kawasan. Negara-negara tersebut tak memberikan dukungan pada negara-negara di kawasan. Situasi ini, dengan demikian, perlu dimanfaatkan. Kekuatan militer dipergunakan untuk segera mengubah status-quo kawasan. Hal itu dinilai mampu memberi keuntungan maksimum pada usaha China melayani kepentingan nasionalnya terkait sengketa di Laut China Selatan.

Dalam model kedua, Beijing memandang negara-negara di kawasan berhasil menyatukan suara. Mereka juga mendapat sokongan signifikan dari negara besar lainnya. Hal ini dianggap sebagai ancaman terhadap posisi dan pengaruh China di kawasan. Dengan demikian, kekuatan bersenjata digunakan sebagai usaha mencegah China Kehilangan posisi dan pengaruhnya lebih jauh di kawasan. Bagaimana respons kawasan, apakah salah satu model persepsi di atas menggambarkan secara tepat dinamika terkini di China? Jika benar demikian, kita dapat mengambil kesimpulan: kemungkinan besar China, pada akhirnya, akan menggunakan kekuatan bersenjatanya dalam merespons sengketa di Laut China Selatan. Sehingga dapat dipahami bahwa Beijing hanya sedang mengulur waktu dengan memanfaatkan sedikit meredanya ketegangan. Kesimpulan ini jelas dapat diperdebatkan. Para ahli China , pengamat hubungan internasional, dan para pembuat kebijakan luar negeri dapat menyampaikan argumen baik yang menolak atau mendukung kesimpulan ini.

Dapat dikatakan untuk saat ini ada dua kekuatan dunia yaitu China dan Amerika sedang berebut pengaruh di ASEAN. Tidak hanya berebut pengaruh secara militer, tetapi juga berebut pengaruh dalam hal ideologi dan juga ekonomi. Terkait dengan perselisihan Laut China Selatan, keduanya juga berebut pengaruh secara militer untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara ASEAN. Namun seperti yang saya jelaskan diatas, bahwa mitra-mitra internasional punya tanggung jawab untuk tetap mengontrol pemanfaatan ekonomi global oleh China agar tetap terjadi titik keseimbangan hubungan ekonomi dan politik, karena China saat ini membangun kekuatan ekonomi untuk meningkatkan agresivitas politik dan militer di kawasan. Dengan kata lain China sedang melakukan militarization dan weaponization dirinya dengan memanfaatkan pertumbuhan ekonominya. Jangan sampai titik ini berkembang menjadi militerisasi ekonomi China. Indonesia sendiri termasuk negara yang paling netral dan punya komunikasi diplomasi yang terbuka, aliansi Amerika di Asia punya posisi yang baik menjadi penyeimbang.

Terakhir, kami ingin mengutip salah satu pakar hukum maritim terkemuka di jajaran diplomat senior Indonesia saat ini, Arif Havas Oegroseno (2017), menulis “Indonesia adalah satu-satunya negara yang mampu memperluas wilayahnya dari dua menjadi enam juta kilometer persegi tanpa ekspedisi militer.” Hendaknya para pemimpin dunia belajar dari kondisi ini. Para pemimpin China Gunakanlah pedoman "berbuat baik kepada tetangga kita, perlakukan tetangga kita sebagai mitra" (yulin weishan, yilin weiban) dan "menjaga hubungan persahabatan dengan tetangga kita, buat mereka merasa aman, dan bantu buat mereka kaya " (mulin, anlin, fiilin).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image