Rawan Gangguan Mental Akibat Nyaleg Gagal
Agama | 2024-03-05 21:12:40Pesta demokrasi memang telah usai, namun menyisakan kisah sedih bagi calon anggota legislatif (caleg) yang gagal terpilih dan tim sukses (timses ) yang tidak sukses mengantarkan calegnya ke panggung kekuasaan. Tidak sedikit yang mengalami depresi , tekanan batin dan mental bahkan gantung diri karena harapan jauh dari kenyataan.
Dilansir tvonenews.com (18/02/2024) dua timses dari Kabupaten Cirebon , Jawa Barat mengalami depresi hingga mengambil kembali amplop yang sudah dibagikan kepada warga. Timses ini kecewa berat karena caleg yang digadang-gadang akan meraup suara mayoritas ternyata anjlok. Padahal upaya yang dilakukan sudah maksimal, dengan sosialisasi dan bagi-bagi sembako serta uang.
Fakta lain yang tak kalah miris adalah penarikan material paving oleh salah satu caleg karena suara yang diperoleh tidak sesuai harapan. Material paving tersebut diangkut kembali setelah sempat dikirim menggunakan truk untuk pembangunan salah satu sudut jalan di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi (Kompas.com, 19/02/2024)
Dan masih banyak lagi tingkah polah caleg gagal yang membuat prihatin. Caleg dari Subang, Jawa Barat, melancarkan aksi teror petasan yang dilakukannya siang dan malam, petasan dinyalakan di menara sebuah masjid di Desa Tambakjati, Kecamatan Patokbeusi, Subang. Akibat aksinya, seorang warga meninggal dunia terkena serangan jantung (detikjabar, 26/02/2024). Bukan hanya caleg, timsesnya pun mengalami depresi hingga ada yang gantung diri.
Berbagai fenomena tersebut menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya, yang hanya siap menang dan tidak siap kalah. Para caleg dan timses ini rela mengorbankan harta bendanya demi memperoleh “kursi” bahkan mereka habis-habisan menggelontorkan dana agar dapat mendulang suara. Namun, harapan tidak sesuai kenyataan, gap yang terlalu jauh antara keinginan dan fakta inilah yang menyebabkan depresi, tekanan mental dan tekanan batin.
Berburu Jabatan, Lazim dalam kapitalisme
Fenomena ini juga menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan mengingat keuntungan yang akan didapatkan, sehingga rela ‘membeli suara’ rakyat dengan modal yang besar, dengan pamrih mendapat suara rakyat. Dalam sistem ini jabatan menjadi pintu masuk kemewahan dunia. Maka wajar jika para caleg dan timsesnya tak ragu merogoh kocek dalam-dalam dengan harapan mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi, bagaimana pun caranya.
Modal tersebut digunakan untuk biaya kampanye seperti menyiapkan atribut (kaos, umbul-umbul, iklan, baliho ), memberikan “serangan fajar” bagi masyarakat, menjamu tamu yang datang silih berganti bahkan memberi bantuan material bagi desa untuk perbaikan jalan. Tujuannya untuk menaikkan branding si caleg. Tatkala semua upaya telah dilakukan namun para caleg tersebut gagal meraup suara banyak, maka yang terjadi adalah stres, depresi dan gangguan kejiwaan yang lain.
Dalam sistem hari ini, materi menjadi tujuan utama yang dicari dalam kehidupan, sehingga ukuran sukses seseorang dilihat dari hartanya. Jika hartanya berlimpah berarti seseorang itu sukses. Pandangan ini menyebabkan orang menghalalkan segala cara untuk memperoleh harta. Dan pada tahun pemilu ini peluang besar untuk memperoleh materi berlimpah adalah turut serta dalam kontestasi, berburu jabatan menjadi lumrah, walaupun dengan cara-cara yang tidak bersih.
Pemilu Transaksional dan Berbiaya Tinggi
Di sisi lain menggambarkan betapa model pemilu ini adalah pemilu yang berbiaya tinggi dan transaksional. Prajna Research Indonesia pernah melakukan penelitian tentang modal menjadi caleg, ternyata sangat fantastis. Untuk calon anggota DPR RI berkisar Rp 1 miliar-2 miliar, calon anggota DPRD Provinsi: Rp 500 juta - Rp 1 miliar dan calon anggota DPRD kabupaten/kota: Rp 250 juta - Rp 300 juta (CNBC Indonesia, 24/08/2023)
Sudah bukan rahasia lagi, dalam sistem demokrasi untuk menjadi caleg butuh modal besar hingga miliaran rupiah. Tatkala gagal menjadi caleg sementara harta sudah ludes, yang tersisa adalah nestapa, ditambah lagi mental tidak siap menerima kekalahan maka depresi menjadi keniscayaan. Kondisi ini terus berulang setiap pelaksanaan pesta demokrasi. Anehnya, para caleg ini tidak jera untuk berkompetisi lagi setiap ada kontestasi. Tak ayal, maraklah tempat-tempat rehabilitasi caleg gagal, baik itu di RSUD kabupaten/kota atau padepokan-padepokan yang siap memberi bimbingan keagamaan setiap selesai pesta demokrasi.
Pandangan Islam Tentang Jabatan
Menurut Islam, jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Sebagaimana dalam hadist Rasulullah berikut,
Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).
Hadist tersebut menegaskan bahwa jabatan adalah amanah yang tidak ringan, tidak sekedar tebar pesona dan janji manis tapi pertanggungjawabannya esok di akhirat yang berat.
Selaras dengan hadist diatas, Dari Ma’qil bin Yasâr ra. berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga atasnya.'” (Muttafaq ‘alaih).
Dari dua hadist di atas menggambarkan Islam sangatlah detail menegakkan keadilan bagi umatnya, dengan ancaman mengharamkan surga bagi orang yang tidak amanah memegang jabatan. Dengan meyakini hadist tersebut, orang yang memegang jabatan dalam Islam akan sangat hati-hati dalam menunaikan amanah, tidak akan mengkhianati rakyat, tidak juga mengabaikan hak rakyat bahkan dia menjadi pelayan rakyat.
Saking beratnya amanah jabatan, khalifah pengganti Rasululullah SAW ketika wafat, Sayyidina Abu Bakar sempat menolak di baiat menjadi khalifah. Tapi karena beliaulah sahabat terdekat Rasulullah dan sahabat yang lain juga merasa tidak layak menjadi khalifah, maka di baiat lah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Begitu pula Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah ke-8 yang memimpin Bani Umayyah, beliau juga tidak bersedia ketika didapuk menjadi khalifah karena beratnya amanah jabatan. Dan masih banyak lagi kisah sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang dapat menjadi ibrah dalam hal amanah jabatan.
Selain memilih orang yang taat dan amanah, Islam juga menetapkan cara-cara yang ditempuh sesuai dengan hukum syarak. Dalam Islam, pemilu adalah uslub untuk mencari pemimpin/majelis umah, dengan mekanisme sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi dan penuh kejujuran, tanpa tipuan ataupun janji-janji. Para calon pun memiliki kepribadian Islam, dan hanya mengharap keridlaan Allah semata. Sehingga yang ada dalam benak pemimpin dalam Islam adalah bagaimana menunaikan amanah yang diembannya, bukan materi yang menyilaukan, agar keridlaan Allah dalam genggaman. Dengan demikian tidak akan ada kisah pilu caleg gagal seperti hari ini.
Wallahu a’lam bisshawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.