Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rahman Tanjung

Islam KTP, Menggali Makna Integritas dalam Ibadah

Agama | 2024-02-29 11:27:26
Poster Sinetron Islam KTP (Sumber: video.com)

Suatu sore, saya lihat seorang teman tampak terburu-buru ke arah Mushola Kantor. “aduh, belum Asar euy”, ucapnya sambil segera berlalu dari hadapan saya. Beberapa menit kemudian, dia pun selesai menjalankan Shalat Asharnya. Sekitar 15 menit kita masih berkutat di depan Laptop dengan tugas masing-masing, lalu sayup-sayup terdengar suara Azan Magrib. Mendengar itu, teman saya tadi pun berkata, “Cepet banget ya waktu Magrib, perasaan baru tadi saya Shalat Asar”. Bagaimana tanggapan kalian kalau mendengar ucapan seperti itu?

Mungkin anda juga pernah punya pengalaman yang sama dengan cerita tersebut di atas, atau bahkan Anda yang mengalaminya. Padahal kita tahu, bahwa sebagai umat beragama pasti ada kewajiban Ibadah yang memang harus dilaksanakan. Sebagaimana dalam Islam ada kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan yang disebut dengan Rukun Islam, di antaranya adalah kewajiban Shalat dan Puasa di bulan Ramadan.

Mengacu pada hal tersebut, mendorong ingatan saya pada istilah yang banyak orang kenal, yaitu: “Islam KTP”, bahkan istilah ini sempat dijadikan salah satu judul Sinetron terkenal yang selalu diputar saat Ramadan. Islam KTP dapat diartikan sebagai suatu istilah yang mencerminkan situasi di mana seseorang mengaku sebagai Muslim secara formal dalam dokumen identitas, namun sering kali tidak mempraktikkan ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Fenomena Islam KTP mungkin pernah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari sampai dengan saat ini. Bila merujuk pada pendapat Anin (2021) dalam bukunya “Kesempurnaan Shalat yang Terabaikan", istilah Islam KTP mungkin dapat dikategorikan sebagai individu yang tergolong memiliki kesamaan dengan orang-orang munafik dan abal-abal.

Berbicara Islam KTP, rasa erat kaitannya juga dengan Integritas yang saat ini pun digaungkan oleh para petinggi Negara ini dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagaimana melansir situs aclc.kpk.go.id, istilah Integritas sendiri menurut definisi yang diambil dari Kamus Kompetensi Perilaku KPK, merujuk pada konsistensi tindakan antara ucapan dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut individu. Nilai-nilai ini dapat bersumber dari kode etik di lingkungan kerja, norma-norma sosial, atau prinsip moral yang dipersonalisasikan.

Islam KTP mencerminkan ketidakintegritasan individu dalam menjalankan nilai-nilai agama yang mereka anut. Integritas seorang muslim seharusnya tercermin dalam kesesuaian antara identitas formal mereka dan perilaku sehari-hari yang konsisten dengan ajaran Islam, termasuk dalam hal ketaatan terhadap kewajiban ibadah seperti Shalat dan Puasa, serta sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berbagai aspek kehidupan.

Saya yakin bahwa orang-orang yang dianggap sebagai Islam KTP, bukan berarti mereka tidak paham atau belum mengerti soal kewajiban menjalankan Shalat lima waktu dan Puasa Ramadan. Terkadang mereka membawa identitas ini dengan bangga di setiap langkahnya. Namun, di balik status Islam yang mereka sematkan dalam KTP-nya, tersembunyi sebuah paradoks yang mencolok, meskipun mengenal dan memahami kewajiban Shalat dan Puasa, mereka jarang atau bahkan tidak pernah melaksanakannya.

Mengapa fenomena ini ada? Mengapa sebagian dari kita merasa bahwa mengorbankan waktu untuk beribadah adalah sesuatu yang dapat ditunda atau bahkan diabaikan? Apakah kita benar-benar menyadari bahwa dalam menunda-nunda waktu Shalat, kita sedang melakukan korupsi terhadap waktu itu sendiri?

Dalam Islam, ibadah bukanlah sekadar ritual mekanis yang harus dilaksanakan semata karena kewajiban. Ibadah adalah fondasi spiritual yang membentuk koneksi antara hamba dengan Sang Pencipta. Shalat bukanlah sekadar gerakan fisik yang kita lakukan lima kali sehari, melainkan momen untuk berkomunikasi secara langsung dengan Allah SWT. Begitu juga dengan Puasa di bulan Ramadan yang bukan hanya menahan lapar dan haus semata, melainkan pelatihan untuk mengendalikan hawa nafsu dan meningkatkan empati terhadap sesama.

Ketika seseorang mengabaikan ibadah, mereka tidak hanya menipu diri mereka sendiri, tetapi juga merampok diri mereka dari kesempatan untuk memperdalam hubungan mereka dengan Yang Maha Kuasa. Setiap detik yang dilewatkan tanpa beribadah adalah kesempatan yang hilang untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Ketika kita membahas korupsi waktu, sebenarnya kita berbicara tentang integritas. Integritas tidak hanya tentang berlaku jujur dalam urusan materi atau uang, tetapi juga tentang kesetiaan terhadap nilai-nilai spiritual dan moral yang diyakini. Jika seseorang mengaku sebagai seorang muslim, namun secara konsisten mengabaikan kewajiban ibadah, maka dia tidak hanya mengkhianati janji kepada Allah SWT, tetapi juga merusak integritasnya sendiri.

Jika seseorang tidak mampu menjaga komitmen terhadap waktu yang telah ditetapkan untuk beribadah, bagaimana kita bisa percaya bahwa dia akan memegang teguh komitmen dalam hal lain dalam kehidupan, baik dalam urusan profesi, keluarga, atau sosial? Integritas dalam ibadah mencerminkan integritas dalam seluruh aspek kehidupan seseorang.

Seorang muslim yang berintegritas adalah seseorang yang tidak hanya mengikuti ajaran agamanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan. Mereka adalah sosok yang tidak hanya mengetahui kewajiban Shalat dan Puasa, tetapi juga dengan tekun melaksanakannya, bahkan ketika godaan dunia terasa begitu kuat.

Kita hidup dalam zaman di mana godaan untuk menunda-nunda ibadah lebih besar dari sebelumnya. Teknologi memberikan kita akses tak terbatas ke dunia luar, tetapi sering kali membuat kita terjebak dalam jaringan kesibukan yang tak berujung. Namun, ini bukanlah alasan untuk mengorbankan ibadah. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk meneguhkan komitmen kita terhadap nilai-nilai spiritual di tengah kebisingan dunia modern.

Setiap waktu yang kita luangkan untuk beribadah adalah investasi berharga dalam pembangunan jiwa kita. Shalat adalah saat kita melepas beban kepada Sang Maha Pencipta, memohon petunjuk dan perlindungan-Nya. Puasa adalah saat kita menahan hawa nafsu dan memperdalam empati terhadap saudara-saudara seiman yang kurang beruntung.

Kita tidak boleh lupa bahwa waktu adalah aset yang paling berharga yang diberikan kepada kita oleh Allah SWT. Setiap detiknya sangat berharga dan harus dimanfaatkan dengan bijaksana. Oleh karena itu, mengorupsi waktu dengan menunda-nunda ibadah adalah merupakan pelanggaran integritas.

Bukanlah kebetulan bahwa dalam ajaran Islam, waktu sangat dihargai. Shalat lima waktu memberi struktur kepada hari kita, mengingatkan kita bahwa setiap saat adalah kesempatan untuk kembali kepada-Nya. Puasa di bulan Ramadan mengajarkan kita kesabaran dan disiplin, sambil mengingatkan kita akan keberuntungan hidup yang kita miliki.

Maka, mari kita jadikan setiap detik hidup ini sebagai kesempatan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mari kita tingkatkan integritas kita sebagai seorang muslim dengan memenuhi kewajiban ibadah tanpa menunda-nunda, karena di Akhirat nanti, kita akan dimintai pertanggungjawaban atas bagaimana menggunakan waktu yang telah diberikan kepada kita di dunia ini.

Dengan menghargai setiap detik yang kita miliki untuk beribadah, kita tidak hanya menghormati janji kita kepada Allah SWT, tetapi juga memperkaya jiwa kita dengan kedamaian dan kebahagiaan yang tidak tergantikan. Itulah keindahan dari integritas dalam ibadah, karena seorang Muslim yang berintegritas adalah mereka yang benar-benar menjalankan ajaran Islam secara total atau kaffah, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 208, yang artinya: “Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image