Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Pentingnya Pendidikan Finansial Bagi Anak Sekolah

Parenting | Monday, 26 Feb 2024, 10:07 WIB

PENTINGNYA PENDIDIKAN FINANSIAL BAGI ANAK SEKOLAH

“Beri anak-anak kita uang, maka ia hanya bisa hidup sementara, tapi

Ajari anak-anak kita bagaimana mencari uang, maka ia bisa hidup selamanya”

Orang kaya di dunia ini jumlahnya sangat sedikit. Sedikit sekali. Tidak lebih dari 5%. Termasuk di Indonesia. Bahkan, kekayaan alam yang melimpah-ruah hanya dinikmati oleh segelintir orang saja (pengusaha dan pejabat tertentu). Mereka yang 5% tadi menikmati 95% kekayaan alam Indonesia, sedangkan 95% penduduk memperebutkan 5% sisanya.

Sungguh ironi, penduduk yang tinggal di negara yang sumber daya alamnya subur makmur, namun sebagian besar merupakan kelas menengah bawah, bahkan masih banyak yang di bawah garis kemiskinan. Mengapa demikian?

Selain faktor kepemilikan modal dan kebijakan pemerintah, ada faktor lain yang sering tidak kita sadari. Apa itu? Kurangnya pendidikan finansial di sekolah-sekolah.

Secara sederhana, pendidikan finansial adalah pembelajaran mengenai bagaimana uang itu bekerja dan bagaimana cara mencari uang. Jarang sekali ada sekolah yang mengajarkan kepada murid-muridnya untuk belajar mencari uang (materi kewirausahaan). Ada sih beberapa anak sekolah yang berjualan atau menawarkan jasa, tapi itu karena kondisi darurat, dalam arti orang tuanya sudah meninggal atau memang sedang terdesak kebutuhan.

Sekolah cenderung mengajari anak-anak kita bagaimana menjadi pintar, punya rangking, punya nilai bagus, atau berprestasi. Setelah lulus diarahkan untuk melamar menjadi ASN atau melamar ke perusahaan dengan gaji yang besar. Orientasinya adalah bermental pegawai atau karyawan dan hidup dalam zona nyaman.

sumber gambar https://finansialku.com

Pembocahan

Ini adalah istilah yang saya dengar dari sebuah siraman rohani di radio. Maksudnya adalah menjadikan anak-anak kita tetap sebagai bocah meskipun dia semakin beranjak dewasa. Mereka kita biarkan tetap tergantung sepenuhnya kepada kita sampai ia lulus kuliah. Boro-boro mengajari anak bagaimana mencari uang (kewirausahaan), kita pun jarang mengajari anak kita membantu pekerjaan orang tua di rumah. Walaupun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa anak-anak sekarang memang susah sekali kalau diminta bantu-bantu orang tua.

Ditambah pula, kita cenderung memanjakan anak-anak kita dengan berbagai kemudahan dan fasilitas. Kita beri mereka smartphone yang canggih, uang saku yang lebih, tas dan sepatu sekolah yang mahal. Termasuk memberikan kendaraan yang bagus. Padahal jarak dari rumah ke sekolah cukup dekat, sekitar 1-2 km saja, bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau bersepeda. Atau memanjakan anak dengan antar-jemput, padahal tersedia angkutan umum.

Parahnya lagi, setelah lulus pun kita masih tetap membocahkan mereka. Dengan alasan belum dapat pekerjaan, kita masih memberikan uang kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka belum bisa mandiri, sekalipun sudah lulus dari pendidikan tinggi. Kita membiarkan mereka tetap tergantung kepada kita, alih-alih mengajari mereka bagaimana mencari uang dan menghidupi diri sendiri.

Jangan sampai kita mendengar ada istilah “anak mami” atau “anak bisanya hanya membangga-banggakan kekayaan orang tuanya saja”.

Pendidikan Finansial Menurut Islam

Terkait pendidikan, tentu yang kita teladani adalah Rasulullah saw. Semangat kerja keras, kejujuran, dedikasi, dan bekerja secara halal patut kita teladani. Beliau belajar berdagang sejak usia baligh. Termasuk sudah sejak kecil menggembala domba. Jadi sejak kecil, beliau sudah dilatih untuk bisa hidup mandiri, apalagi beliau yatim-piatu sejak kecil.

Nabi juga memerintahkan orang tua untuk mengajari anak-anaknya berenang, memanah, dan berkuda. Itu bukan berarti orang tua hanya mengajari tiga hal saja. Akan tetapi, dalam pengertian bahwa orang tua wajib mengajari anak-anak mereka semua hal yang membawa kebaikan bagi masa depannya. Termasuk mengajari mereka bagaimana mencari uang dan berlatih mandiri sejak usia baligh.

Dalam Islam, orang tua tak lagi berkewajiban untuk menafkahi anak laki-lakinya yang sudah berusia baligh. Sementara bagi anak perempuan, orang tua berkewajiban menafkahinya sampai ia menikah, sehingga kewajiban itu beralih kepada suaminya. Usia baligh itu kalau saat ini ya usia anak yang sudah masuk SMA.

Idealnya, pada zaman nabi dulu, anak laki-laki yang sudah baligh memang sudah bisa mencari nafkah sendiri. Mandiri. Berbeda jauh dengan zaman sekarang. Boro-boro mencari uang atau mandiri, anak SMA sekarang kebanyakan baru bisa main HP, disuruh bantu-bantu pekerjaan orang tua saja susah, banyak sekali alasannya.

Akhir kata, jangan sampai kita termasuk orang tua yang melakukan pembocahan terhadap anak-anak kita.

Referensi:

Robert T. Kyosaki, Second Chance, untuk Uang Anda, Hidup Anda, dan Dunia Kita, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2016;

Ceramah agama di RDS FM 101,4 MHz Solo

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image