Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Raisha Nadhira

Hiruk Pikuk Teknologi Jadi Tanggung Jawab Bangsa?

Teknologi | Tuesday, 20 Feb 2024, 20:28 WIB

Maraknya kasus kecanduan gawai yang menjerumus muda-mudi bangsa tenggelam akan dunia siber. Dilansir dari laman KOMINFO bahwa 'Berdasarkan Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, sebanyak 143,26 juta orang atau 54,68 persen dari populasi Indonesia menggunakan internet Penetrasi pengguna internet terbesar di usia 13-18 tahun (75,50 persen). Gawai adalah perangkat yang paling banyak dipakai untuk mengakses internet (44,16 persen)' dan perkiraan angka tersebut kian hari kian marak di tahun-tahun berikutnya. (sumber: https://www.kominfo.go.id/content/detail/13547/kecanduan-gawai-ancam-anak-anak/0/sorotan_media) yang bahkan, tak hanya remaja yang tergelincir hingga terhipnotis dunia siber melainkan anak balita (bahkan berbagai kalangan). Lantas, dampak apa yang dapat terjadi atas 'kecanduan gawai' sendiri?. Hal sederhana yang ditimbulkan ketika kecanduan gawai tidak lain dan tidak bukan adalah 'merusak' momen berkualitas keluarga.

Dalam suatu adegan dalam film dokumenter The Social Dilemma yang tayang di tahun 2020 di Netflix, ketika Anna Lembke memberi pendapat bahwa sosial media mengakibatkan adiksi. Anna Lembke memberi kesaksian bahwa internet merupakan narkoba atau zat adiktif yang jika diberikan kepada anak-anak sama saja memberikan mereka 1 gram kokain. Lalu adegan film berlajut seiring komentar yang diberikan oleh Anna Lembke menampilkan suasana makan malam sebuah kekuarga beranggotakan 5 orang dan diusulkan oleh sang ibu untuk menerapkan tidak-ada-gawai-sepanjang-makan-malam.

Uluran tangan tanda 'waktu bermain gawai telah selesai' dan sang ibu dengan segera meletakkan gawai tersebut di wadah plastik yang dikunci. Dengan menduga bahwa yang Ia putuskan adalah benar, agar tak seorang pun anggota keluarganya yang boleh menyentuh gawai. Namun, pada kenyataannya hal tersebut ditentang oleh gadis belia yang merupakan anggota keluarga termuda— dalam kurun waktu kurang dari 10 menit, dengan memecahkan wadah plastik menggunakan palu dan membebaskan hasrat yang selama ini dibungkam oleh wadah plastik terkunci tersebut. Gawai di rampas serta merta gadis belia tersebut memberi ruang sendiri untuk bersemayam di dunia siber dan mengunggah potret dengan filter-filter yang marak dipakai.

Berlanjut, adegan film menampilkan tanggapan Tristan Harris bahwa sosial media tidak di desain untuk psikologis anak-anak yang bahkan didampingi oleh standar kecantikan tak masuk akal. Dan tak sedikit kelompok orang memaksakan standar kecantikan bahkan pada anak-anak. Seiring komentar yang diberikan oleh Tristan Harris, adegan film berlanjut ketika gadis belia tersebut mendapat tuaian hinaan secara fisik di dunia internet.

Cuplikan film dokumenter The Social Dilemma yang berfokus pada tema besar sosial media & kecanduan gawai ini merupakan tayangan berkualitas yang merupakan masalah baru terhadap ketergantungan pada masifnya laju teknologi dari tahun ke tahun. Mencakup bagaimana algoritma suatu aplikasi sampai kepada pengguna sosial media yang dikomentari oleh ahli. Mengetahui dan mengantisipasi penggunaan sosial media yang tidak pada waktunya merupakan tanggung jawab setiap pengguna gawai.

Oleh karena itu, The Social Dilemma merupakan film yang tepat untuk ajang mengelola diri dengan durasi 1 jam 34 menit. Dengan pengalaman menonton yang menurut penulis cukup bervariasi dengan mengundang beberapa narasumber ahli, The Social Dilemma menawarkan ragam pengetahuan yang didasari atas 'akan dibawa kemana perkembangan teknologi ini?'.

Rating yang diberikan penulis terhadap film ini adalah 3,4 bintang. Atas kumpulan pengetahuan tentang sistem dan dinamika yang diangkat oleh film ini membawa dilema terhadap penulis dan berkemungkinan berdampak bagi jutaan orang yang sudah menonton. Lantas, akan dibawa kemana perkembangan dunia siber Indonesia?. Setiap kita memiliki kunci jawabannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image