Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Studi Konflik dalam Paradigma Ilmu Sosial

Edukasi | Saturday, 17 Feb 2024, 16:27 WIB
Ilustrasi konflik horizontal, sumber : https://pusatkrisis.kemkes.go.id

Konflik senantiasa hadir mewarnai perjalanan hidup umat manusia dari masa ke masa, bahkan tidak ada peradaban pernah tegak dan eksis di muka bumi ini, tanpa adanya konflik di dalamnya, seakan-akan konflik itu menjadi bagian yang alamiah dalam kehidupan umat manusia atau istilah kerennya menjadi “hukum besi sejarah”. Karena secara kondrat manusia memiliki perbedaan dalam kebutuhan, keinginan, nilai, ideologi, dan tujuan, maka dari adanya perbedaan itu terbuka peluang kecil atau besar terjadinya gesekan, benturan, tubrukan, dan pertentangan diantara manusia.

Konflik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai situasi di mana terdapat dua pihak atau lebih memiliki perbedaan dalam kepentingan, nilai, tujuan, atau persepsi, yang menyebabkan ketegangan atau ketidaksepakatan diantara mereka (Susan, 2014). Artikel ini merupakan ulasan singkat mengenai konflik dalam studi ilmu-ilmu sosial, yang sebelumnya menjadi bahan ajar penulis ketika menyampaikan perkulihaan tentang teori konflik kepada mahasiswa di kelas.

Paradigma Konflik

Paradigma merupakan konsep penting di dalam khazanah ilmu pengetahuan modern, istilah itu merujuk kepada seperangkat keyakinan, nilai-nilai, serta pemahaman, yang mendasari cara pandang seseorang terhadap suatu fenomena tertentu.

Fenomena konflik yang melibatkan seseorang dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok lain, atau satu negara dengan negara lain, sesungguhnya dapat kita analisis menggunakan tiga sudut pandang paradigma di dalam ilmu pengetahuan sosial, yaitu (1) paradigma positivisme, (2) paradigma humanis, dan (3) paradigam kritis.

Paradigma positivisme memiliki pandangan, ketika melihat konflik ditengah-tangah masyarakat, bahwa konflik itu tindakan sosial bersifat natural yang tidak dapat dihindari oleh siapa saja, sebab konflik hadir dari adanya proses interaksi seseorang dengan orang lain, artinya konflik muncul melalui relasi antar manusia di dalam sebuah sistem sosial, bila seorang atau masyarakat tidak ingin ada konflik atau tidak berkenan terlibat konflik, maka seorang atau masyarakat itu harus tidak terhubung di dalam segala aktifitas sistem sosial, sesuatu hal yang tidak mungkin dapat dilakukan, karena kodrat manusia itu adalah interaksi dengan orang lain atau dunia luar, manusia sejatinya makhluk sosial yang saling berkomunikasi dan berhubungan (Susan, 2014).

Paradigma positivisme memiliki keyakinan berikutnya, kemunculan konflik dilatarbelakangi faktor kesenjangan kekuasaan yang dimiliki antar aktor-aktor sosial, mereka yang tidak memiliki kekuasaan merasa di posisi subordinat, terdapat perasaan tertindas, terdominasi, dan terzalimi. Konflik sendiri bisa muncul ketika ada proses penyadaran yang melibatkan beberapa orang, biasanya adalah aktor gerakan sosial yang memberikan suntikan kesadaran sosial kepada mereka yang disubordinat, untuk melakukan perlawanan, memperjuangkan kepentingan dan keinginan sesuatu harus diperjuangkan. Terdapat salah satu cara untuk keluar dari konflik yang disebabkan kesenjangan kekuasaan, yaitu adanya restribusi kekuasaan atau kewenangan kepada berbagai pihak yang merasa tidak puas atas jalannya roda pemerintahan, harus terjadi reformasi sistem politik, sehingga kekuasaan itu memuaskan banyak pihak (Susan, 2014).

Kemudian paradigma humanis, yang sebenarnya ada beberapa kesamaan konsep tentang konfik dengan kaum positivisme, bahwa realitas sosial itu senantiasa dalam proses terus bergerak, dinamis, dan dialektis diantara individu dalam kehidupan sosial. Interaksi sosial itu tidak hanya menunjukan satu wajah yang nampak selaras-harmonis, dari dinamika sosial justru tidak jarang menimbulkan adanya konflik, yang dipandang sebagai proses alamiah atau natural, selain itu dianggap suatu peristiwa konstruktif secara sosial. Paradigma humanis ini memiliki keyakinan konflik yang terjadi, tidak hanya melibatkan seseorang sebagai seorang individu saja, tetapi seseorang itu diposisikan sebagai peserta aktif dalam menciptakan situasi dan interaksi, yang mereka ambil dalam pencarian jalan keluar dari konflik terjadi, guna mencapai penciptaan makna bersama (Susan, 2014).

Terakhir, paradigma kritis, konflik muncul dari adanya hubungan kekuasaan dalam sistem sosial, kekuasaan selama ini memiliki watak mendominasi pada kelompok terpinggirkan (Susan, 2014). Tugas dari kaum cendikia adalah turut aktif terlibat melakukan pembelaan dan pemberdayaan pada kelompok termarjinalkan, dalam melakukan perlawanan kepada struktur kekuasaan yang kerap menguasai dan menundukan kaum tertindas, konflik dipahami sebagai sarana transformasi merombak tatanan sosial-politik timpang.

Kaum cendikia yang terlibat dalam pembelaan kaum terpinggirkan ini menurut Gramsci harus memiliki karakter sebagai intelektual organik, pemikiran Gramsci mengenai sosok intelektual organik tidak menunjuk pada strata sosial tertentu ditengah-tengah masyarakat, bukan juga mewakili kelompok terdidik kaum cendikia, karena menurut Gramsci hakikatnya semua manusia itu intelektual, ditandai dari adanya proses atau aktifitas berpikir, tetapi tidak semua orang mempunyai fungsi sebagai intelektual atau kesadaran emansipatoris (Amsalis, 2022).

Intelektual organik adalah mereka yang memiliki kesadaran kritis tentang lingkungannya, merasakan penderitaan masyarakat di sekelilingnya, dampak dari adanya penindasan serta kesewenang-wenangan sistem politik, kemudian terpanggil untuk melakukan pembelaan pada masyarakat mengalami penindasan itu, dengan menjadi seorang organisatoris perlawanan, melibatkan diri bersama kaum tertindas memperjuangkan kebenaran dan keadilan (Fakih, 2002).

Manfaat Mempelajari Konflik

Mempelajari konflik memiliki beberapa manfaat, terlebih kita sebagai aktor sosial yang tidak bisa lepas dari proses interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Manfaat kita mempelajari studi konflik, yaitu akan membantu kita untuk memahami sifat, karakter, dan penyebab dari munculnya konflik.

Kemudian akan membantu kita dalam mengembangkan keahlian dalam mencegah atau menyelesaikan konflik yang terjadi, sehingga kita terlatih untuk berkomunikasi dengan baik, mengasah keahlian dalam melakukan negoisasi dan mediasi dengan pihak-pihak terlibat konflik. Lalu, mampu melakukan mitigas mengenali tanda-tanda awal munculnya konflik, sehingga bisa mengembangkan strategi pencegahan konflik.

Dengan demikian, mempelajari konflik bukan hanya membantu individu mengelola hubungan interpersonal mereka dengan lebih baik, tetapi juga berkontribusi pada perubahan sosial positif dan pembangunan masyarakat adil, damai, dan berkelanjutan.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Karawang.

Sumber Referesi

1. Amsalis, Yulianto. 2022. Antonio Gramsci Sang Neo Marxis (Yogyakarta, Basabasi).

2. Fakih, Mansour. 2002. Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik (Yogyakarta, Pustaka Pelajar).

3. Susan, Novri. 2014. Pengantar Sosiologi Konflik. (Jakarta, Kencana).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image