Studi: Otak Kita Lebih Mudah Belajar dari Orang yang Kita Sukai
Iptek | 2024-02-16 20:06:13PENELITIAN terbaru menemukan bahwa otak kita ternyata lebih mudah belajar dari orang yang kita sukai dan sulit belajar dari orang yang tidak kita sukai.
Penemuan ini, yang dipelopori oleh para peneliti di Lund University, Swedia, menyoroti hubungan yang rumit antara bias pribadi dan efisiensi integrasi memori -- sebuah proses yang sangat penting bagi kemampuan kita untuk belajar dan beradaptasi.
Memori memainkan peran penting dalam kehidupan kita, tidak hanya dengan menyimpan pengalaman masa lalu, tetapi juga memungkinkan kita untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman tersebut dengan cara yang baru.
Kemampuan ini, yang dikenal sebagai integrasi memori, memungkinkan kita untuk belajar secara fleksibel dan cepat, memfasilitasi pemahaman kita akan konsep dan skenario di luar pengalaman langsung kita.
Inês Bramão, seorang profesor psikologi di Lund University, mengilustrasikan hal ini dengan contoh yang sederhana namun jelas: melihat seekor anjing pertama kali bersama seorang pria di sebuah taman dan kemudian bersama seorang wanita di kota dapat membuat seseorang menyimpulkan hubungan antara kedua manusia tersebut, meskipun tidak ada bukti langsung tentang hubungan mereka.
Namun, seperti yang dikatakan oleh Bramão bahwa membuat kesimpulan seperti itu bersifat adaptif dan membantu. Namun tentu saja, sambungnya, ada risiko bahwa otak kita menarik kesimpulan yang salah atau mengingat secara selektif.
Pernyataan ini menggarisbawahi sifat integrasi memori yang bermata dua, di mana potensi salah tafsir atau ingatan selektif ada di samping manfaatnya.
Menggali lebih dalam tentang mekanisme integrasi memori, Bramão, bersama dengan rekannya Marius Boeltzig dan Mikael Johansson, memulai serangkaian eksperimen.
Para partisipan diminta untuk mengingat dan menghubungkan berbagai objek -- mulai dari benda sehari-hari seperti mangkuk dan gunting.
Para peneliti menemukan bahwa kemudahan dalam menghubungkan benda-benda tersebut ternyata sangat bergantung pada kesukaan terhadap pembicara.
Informasi yang disampaikan oleh orang yang disukai akan lebih mudah diasimilasi daripada informasi yang disampaikan oleh orang yang tidak disukai.
Preferensi peserta didefinisikan dalam spektrum kriteria, termasuk pandangan politik, pilihan gaya hidup, dan minat pribadi, yang menyoroti sifat subyektif dari kesukaan.
Evaluasi subjektif terhadap sumber informasi ini memiliki implikasi yang mendalam, terutama dalam bidang-bidang seperti politik.
Bramão mengilustrasikan hal ini dengan skenario hipotetis di mana persepsi tentang peningkatan layanan kesehatan dipengaruhi oleh afiliasi politik seseorang, yang menunjukkan bagaimana bias dapat membentuk pemahaman dan atribusi sebab akibat.
Bramão menyatakan bahwa sebuah partai politik berargumen untuk menaikkan pajak untuk meningkatkan layanan kesehatan. "Kemudian, Anda mengunjungi pusat layanan kesehatan dan melihat adanya perbaikan yang telah dilakukan. Jika Anda bersimpati pada partai yang ingin meningkatkan layanan kesehatan melalui pajak yang lebih tinggi, Anda cenderung mengaitkan peningkatan tersebut dengan kenaikan pajak, meskipun peningkatan tersebut mungkin memiliki penyebab yang sama sekali berbeda," jelasnya, sebagaimana dikutip earth.com.
Penelitian ini menyoroti implikasi yang lebih luas tentang bagaimana preferensi sumber mempengaruhi pembelajaran dan pembentukan kepercayaan, yang berkontribusi pada fenomena seperti polarisasi dan resistensi terhadap informasi baru.
Mikael Johansson, seorang profesor psikologi di Lund University, menekankan bahwa apa yang ditunjukkan oleh penelitian inu adalah bagaimana fenomena signifikan ini sebagian dapat ditelusuri kembali ke prinsip-prinsip dasar yang mengatur bagaimana memori kita bekerja.
Dengan memahami bahwa kecenderungan kita untuk membentuk hubungan baru dan memperbarui pengetahuan kita secara signifikan dipengaruhi oleh sumber informasi, terutama yang selaras dengan kepercayaan yang kita miliki, kita mendapatkan wawasan tentang akar dari sudut pandang yang terpolarisasi.
Pemahaman ini melampaui konsep gelembung filter media sosial, dan menunjukkan dasar psikologis yang lebih intrinsik untuk bias asimilasi informasi.
Hal tersebut memajukan pemahaman kita tentang proses kognitif dan memberikan perspektif kritis tentang tantangan untuk mengatasi polarisasi dan resistensi pengetahuan dalam masyarakat.***
--
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.