Demokrasi Biikin Caleg Depresi
Info Terkini | 2024-02-16 03:48:25Sebuah fenomena yang cukup menggelikan. Ratusan rumah sakit di negeri ini, termasuk rumah sakit jiwa, menyediakan kamar khusus untuk para calon legislatif yang gagal lalu depresi.
Setiap kali masa Pemilu pasti ada kasus caleg yang mengalami depresi akibat gagal terpilih. Hal seperti ini wajar terjadi karena mereka sudah mengeluarkan biaya sangat besar untuk kampanye.
Modal yang harus dikeluarkan untuk caleg DPR RI berkisar Rp1,15 miliar hingga Rp4,6 miliar. Cak Imin menyebutkan, menjadi anggota DPR dari Jakarta membutuhkan biaya Rp 40 miliar. (Kompas.com, 2Agustus 2023)
Belum ditambah dana pemilu dari anggaran negara. Untuk tahun 2024 ini dialokasikan sebesar Rp38,2 triliun. Dana tersebut telah disiapkan dalam APBN 2024 untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 satu putaran. Dana fantastis inilah yang menjadikan para caleg yang gagal menjadi depresi. Sebab mereka sudah bermimpi mewujudkan ambisinya menjadi pejabat wakil rakyat. Dalam sistem kehidupan kapitalisme, salah satu cara untuk mendulang kekayaan adalah duduk di kursi empuk pejabat termasuk di legislatif. Berbagai fasilitas dan kemudahan akan didapatkan oleh para pejabat. Persoalan urusan rakyat tak lagi menjadi fokus perhatian karena memang tidak berkorelasi dengan harta yang akan didapatkan.
Untuk mengurusi kepentingan rakyat berarti harus siap berkorban demi kepentingan mereka. Padahal niat dan tujuan awalnya bukanlah untuk membantu rakyat, meskipun namanya wakil rakyat. Para calon legislatif (caleg) rela merogoh kantung dalam-dalam tentu saja karena berharap besar akan mendapatkan ganti yang jauh lebih banyak.
Dari sini bisa dilihat bagaimana calon wakil rakyat niscaya akan berupaya sekuat tenaga untuk memenangkan persaingan demokrasi. Dengan kata lain mereka pasti akan menghalalkan segala cara. Ada yang nekat memakai modal utang demi berspekulasi membiayai pestanya. Maka tidak berlebihan jika mereka akhirnya gagal mewujudkan semua itu, bisa menyebabkan depresi. Apalagi jika jiwanya tidak dilandasi keimanan yang kuat dan tidak terbiasa menjalani kehidupan dengan segala ujiannya.
Saat ini kebanyakan kaum muslimin sudah dirasuki oleh pemikiran yang mendewakan materi. Demi kebahagiaan semu mereka rela melakukan aktifitas yang melanggar aturan Allah Swt. Sebab standar perbuatan tidak lagi halal atau haram, tapi landasannya adalah manfaat. Jika bermanfaat bagi kehidupan dunianya akan dilakukan meskipun Allah tidak rida. Sebaliknya suatu perbuatan akan ditinggalka padahal mendatangkan pahala, sebab tidak memberikan manfaat apapun bagi dunianya.
Jadi senyatanya mereka menginginkan kursi legislatif bukan demi menyuarakan aspirasi rakyat dan membela kepentingan mereka, tapi memang dijadikan ladang untuk mencari penghasilan. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya saja agar bisa mengantarkan ke panggung jabatan, setelah itu dilupakan. Sekeji itu demokrasi kepada rakyat. Maka jargon dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat hanyalah pepesan kosong yang absurd.
Selama ini segala kebijakan yang ditetapkan oleh DPR tidak pernah memihak pada kepentingan rakyat. Bahkan sangat merugikan rakyat kecil dan menguntungkan para oligarki. Sungguh kotor permainan sistem demokrasi yang saat ini tengah mendominasi negeri-negeri kaum muslimin. Rakyat yang mayoritas muslim tidak berada dalam naungan sistem Islam, sehingga berat rasanya menjalani kehidupan ini bagi rakyat kecil.
Rakyat sengsara, sedangkan pejabat pesta pora. Nurani mereka pun telah hilang ditelan ambisi untuk kaya. Jika tidak sukses mendapatkan kursi, mudah sekali menjadi gila. Bagaimana umat Islam bisa hidup secara layak dalam menjalankan aturan agamanya jika sistem ini tak berdaya diatur oleh para bedebah?
Sistem gila ini tidak bis dibiarkan terus- menerus hingga merusak bangsa dan generasi ini. Rakyat harus waras dan kuat menghadapi tantangan sistem kapitalisme demokrasi. Hidup dalam masa sekarang wajib meneguhkan iman, meningkatkan kepribadian, berani menyuarakan kebanaran Islam. Tidak malah terperosok dalam lingkaran sistem yang tidak manusiawi ini.
Dakwah harus lebih digencarkan untuk mengedukasi umat agar tidak terjebak dalam politik kotor ala Barat. Agar umat ini semakin paham bahwa ini bukanlah pesta rakyat, tapi pesta pejabat. Demokrasi senyatanya hanya dijadikan senjata untuk melegalkan cengkraman oligarki yqng rakus akan jabatan dan kekuasaan. Atas nama suara rakyat mereka dengan leluasa memberikan karpet merah pada oligarki untuk mengeruk kekayaan alam negeri kaya ini. Namun anehnya semua itu harus dibayar dengan mahal pula, hingga banyak terjadi kasus depresi memikirkan "investasi yang telah dikeluarkan. Apakah masih percaya dengan demokrasi? Wallahu’alam bish-shawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.