Waspada, Kasus HIV/AIDS Masih Tinggi di Kaltim
Edukasi | 2024-02-13 13:28:13Oleh: Ita Wahyuni, S.Pd.I.
(Pemerhati Masalah Sosial)
Kasus Human Immunodeficiency Viru (HIV) di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, sepanjang 2023 masih berjumlah ratusan atau tepatnya 317 kasus dari total 20.000 orang yang di-screening. Kendati menurun dibanding tahun 2022 yang sebanyak 338, namun penanganan lebih komprehensif tetap diperlukan. Termasuk screening lebih masif pada setiap individu (Kompas.com, 25/01/2024).
Ketua Tim Kerja Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kota Balikpapan Dewa Gede Dony Lesmana mengatakan, kasus HIV ini didominasi hubungan sesama jenis atau kelompok man sex with man (MSM), pekerja seks komersial, kelompok transgender, dan kelompok lainnya. Dewa menambahkan, dari total kasus HIV Kota Balikpapan, terdapat pasien lama dan juga baru yang berasal dari luar kota seperti Kabupaten PPU, Kabupaten Paser, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten tenggarong, dan lain sebagainya.
Untuk menekan kasus penularan HIV ini, DKK Balikpapan berupaya melakukan langkah-langkah pencegahan dengan memutus rantai penularan melalui testing dan screening yang gencar. Selain itu, mereka juga membuka dan menambah 23 layanan di fasilitas kesehatan seperti puskesman, rumah sakit daerah, rumah sakit swasta, dan klinik-klinik.
Liberalisme Biang Kerok Suburnya HIV/AIDS
Penyebaran HIV/AIDS hampir merata di semua kabupaten dan Kota di Kalimantan Timur. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meredam kasus tersebut. Bahkan Indonesia sendiri telah menetapkan sasaran prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dimana telah ditetapkan tujuan yang akan dicapai pada tahun 2024 khususnya untuk program AIDS. Indonesia juga telah menyepakati komitmen global untuk Ending AIDS, pada tahun 2030 yang tinggal sebentar lagi. Tapi hasilnya nihil. Hal tersebut wajar, karena usaha yang dilakukan belum menyentuh akar permasalahan yang menyebabkan HIV/AIDS semakin mewabah.
Pada dasarnya penyakit berbahaya ini bukanlah tanpa sebab. Penyakit ini tersebar luas karena prinsip kebebasan yang sudah mendarah daging ditubuh masyarakat, salah satunya budaya seks bebas. Akibatnya, pelaku zina semakin merajalela dan kebiasaan gonta-ganti pasangan pun menjadi sumber penularan pertama dan utama.
Tak hanya itu, HIV/AIDS juga didominasi oleh kaum LGBT. Makin hari mereka berani unjuk gigi. Berlindung di balik ide kebebasan mereka leluasa melakukan apa saja sesuka hati. Padahal, dari merekalah penyakit ini muncul dan berkembang biak. Lebih parah lagi, mereka berusaha keras menggaungkan "legalitas" keberadaannya karena diyakini dapat mengendalikan infeksi HIV/AIDS. Upaya legalisasi LGBT inipun tidak akan pernah berhenti, karena ia adalah wujud nyata eksistensi sekulerisme liberalisme yang menjadi arah pandang Barat.
Inilah agenda global yang diaruskan Barat untuk mengkampanyekan nilai-nilai yang merusak di negeri-negeri muslim. Bahkan dijadikan sebagai "strategi penjajahan" untuk melemahkan ketahanan negeri kaum muslim dengan merusak pemikiran dan SDM-nya. Maka, sangatlah mustahil mewujudkan impian bebas dari HIV/AIDS selama masih berkubang dalam sistem sekularisme liberalisme. Sistem ini justru menyebabkan berbagai kerusakan, termasuk pergaulan bebas dan penyimpangan seksual dengan segala dampaknya seperti HIV/AIDS yang semakin subur dan mengancam kehidupan.
Islam Mengatasi HIV/AIDS
Islam memiliki strategi yang tegas untuk mengatasi masalah penyebaran HIV/AIDS. Bahkan strategi ini sekaligus sebagai pencegah munculnya penyakit menular tersebut. Gambaran strategi yang diterapkan sebagai berikut, pertama, Islam memberlakukan kewajiban menutup aurat baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dengan tertutupnya aurat, nafsu akan lebih terkendali sebab "pemandangan" yang dapat menggoda telah tertutupi.
Kedua, memberlakukan larangan ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan wanita), khalwat (berdua-duaan antara laki-laki dan wanita) kecuali ada hajat syar'iyah yang membolehkannya, dan larangan pacaran. Islam telah memberi ketentuan agar kehidupan laki-laki dan perempuan harus terpisah, baik di tempat khusus maupun di tempat umum.
Ketiga, Islam memberlakukan larangan memproduksi, mengkonsumsi, dan mendistribusikan barang dan jasa yang bisa merusak masyarakat. Seperti pornografi dan pornoaksi yang marak dijumpai baik di televisi, koran, majalah, baliho, dan media sosial yang dapat membangkitkan naluri seksual dan memberi jalan pada perzinaan. Oleh sebab itu harus dilarang tanpa kecuali.
Keempat, menerapkan sistem pendidikan Islam. Tujuannya adalah membentuk pola pikir dan pola sikap yang Islami. Dengan demikian diharapkan para generasi memiliki kesadaran untuk selalu terikat dengan hukum syariat dan membuang jauh gaya hidup yang bertentangan dengan Islam.
Kelima, menerapkan sistem hukum dan persanksian Islam untuk memberantas perilaku yang beresiko menyebabkan penyebaran HIV/AIDS (seks bebas, perilaku seks menyimpang, LGBT, dan sebagainya). Sistem persanksian yang ditegakkan dapat menimbulkan efek jera. Terhadap pelaku zina misalnya, diberlakukan hukum rajam sampai mati dan cambuk seratus kali. Pelaku lesbi disanksi dengan hukum ta'zir (jenis hukuman diserahkan kepada qadhi, bisa cambuk, penjara, dll). Para pelaku homoseksual disanksi dengan hukuman mati. Sesuai dengan sabda Nabi Saw, "Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaumnya Nabi Luth, maka bunuhlah keduanya." (HR Al-khamsah, kecuali an-Nasa' i).
Adapun bagi yang tertular penyakit HIV/AIDS dan bukan pelaku zina, seperti ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya yang heteroseksual atau anak-anak dan orang lain yang tertular melalui jarum suntik, dan sebagainya. Maka, hal itu merupakan masalah kesehatan yang menjadi hak masyarakat dan negara wajib menyediakan layanan kesehatan yang terbaik bagi mereka. Mulai dari perawatan, obat-obatan hingga layanan pengobatan. Negara Islam juga akan melakukan riset dengan serius untuk menemukan obat yang bisa menanggulangi virus HIV/AIDS.
Demikianlah cara Islam mengatasi masalah HIV/AIDS hingga ke akar-akarnya. Semuanya itu tentu hanya bisa diwujudkan jika ada negara Islam yang bukan saja mampu menjamin layanan kesehatan bagi rakyatnya, tetapi juga mampu mengatasi akar masalah dengan pondasi akidah Islam. Waalahua'lam bishshawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.