Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jason Fernando

Proyek Belt Road Initiative sebagai Roadmap Geopolitik Tiongkok Kontemporer

Info Terkini | Sunday, 11 Feb 2024, 18:46 WIB
Sumber: https://www.thejakartapost.com/academia/2019/05/13/insight-seeking-global-cooperation-through-belt-and-road-initiative.html

Belt and Road Initiative menjadi salah satu proyek kekuatan Tiongkok untuk mendominasi perekonomian global pada kontemporer ini. Belt and Road Initiative (BRI) ini sebagai bentuk geopolitik Tiongkok, agar negara-negara dunia ketiga beralih ke negara tersebut daripada Barat. Namun sebelum masuk indikasi antara BRI dengan geopolitik, kita perlu memahami apa itu geopolitik itu sendiri.

Geopolitik merupakan sistem politik dalam strategi nasional yang didorong oleh letak geografis suatu negara. Logic overview → geopolitik berkaitan dengan military power (nuclear weapon) dan geoekonomi (geopolitic by economic means), yang lebih melekat pada economic power (route/trade/infrastructure). Geoekonomi seperti geopolitik, dimana membahas konflik atau rivalitas antar negara dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Terdapat dua teori yang mendasari geopolitik seperti Heartland oleh Halford Mackinder (1919) dan Rimland oleh Nicholas J. Spykman (1942).

Menurut teori Heartland dari Mackinder; siapa yang menguasi area poros atau daratan, maka mereka yang berkuasa di dunia (“who rules Eastern Europe commands the Heartland; who rules the Heartland commands World Island; World-Island commands the world”). Sedangkan, teori Rimland menurut Spykman bukan berfokus pada daratan, namun perairan (siapa yang menguasai perairan, maka mereka yang berkuasa di dunia) → “who controls the Rimland rules Eurasia; who rules Eurasia controls the destines of the world.”

Berdasarkan dua teori tersebut, Tiongkok berusaha mencoba mengendalikan dunia melalui land power dan sea power, dengan proyek Belt and Road Initiative. Belt and Road Initiative merupakan proyek infrastruktur global Tiongkok yang dicetuskan pada tahun 2013 oleh Presiden Xi Jinping. Proyek BRI ini menyasar pada kawasan Eurasia, Asia-Pasifik, Timur Tengah, serta Afrika. Fokus pembangunan BRI sea parts, pipeline, solar power, dams, railway, highway, dan sebagainya.

Tujuan dari proyek BRI ini adalah untuk menciptakan koridor perdagangan baru dan membangun kembali jalur sutera. Proyek tersebut pada saat ini sudah memiliki 193 negara (termasuk Indonesia) dan total investasi sampai tahun 2022 sebesar US$932 miliar. Beberapa proyek BRI ini sudah dibangun dan mengeluarkan biaya yang besar, namun Tiongkok masih berusaha melanjutkan proyek tersebut sampai seterusnya karena adanya potensi keuntungan. Salah satu proyek BRI yang kita bisa lihat, seperti investasi kereta cepat Jakarta-Bandung di Indonesia.

Kekuatan geoekonomi Tiongkok. meliputi ekonomi nasional yang berkelanjutan (pasar domestik begitu besar), sumber daya finansial dan sumber daya alam yang memadai, serta terwujudnya investasi global dengan skema baru, serta mengurangi ketergantungan negara-negara dunia ketiga dari Barat .Sedangkan, kelemahan geoekonomi Tiongkok, antara lain minimnya skema kerja sama ekonomi secara regional dan tujuan geopolitik mereka yang masih diperdebatkan.

Penerapan bunga hutang yang sangat tinggi terhadap mitra mereka terkait investasi suatu proyek pembangunan, dimana ini akan menyulitkan negara-negara dunia ketiga untuk melunasinya dan berdampak pada pemberian aset secara paksa dengan jangka waktu yang panjang jika gagal bayar (dikenal sebagai debt trap). Blueprint BRI memuat konektivitas jalur darat dan laut pada kawasan yang menjadi “pivot area” dalam pemetaan geopolitik awal, yaitu sebuah gagasan mengenai pusat kendali dunia. Hal ini juga dipengaruhi juga oleh letak geografis Tiongkok yang memang sebagian wilayah berada di Rimland, dan sebagian lagi di Heartland. Negara-negara dengan interior maritim di Pasifik menyimpan potensi besar dalam hal pasar (jumlah populasi) dan energi (kekayaan sumber daya alam).

Kemitraan dalam BRI diproyeksikan dapat memperkuat posisi Tiongkok di skala global untuk mengendalikan lalu lintas perdagangan global.Runtuhnya Uni Soviet dan negara-negara komunis lainnya (1989-1991) menunjukkan bahwa kekuatan militer saja tidaklah cukup dalam pembangunan negara, namun harus ditopang dengan kekuatan ekonomi. Dari sinilah Tiongkok telah berkaca dari kasus Uni Soviet, bahwa peningkatan faktor ekonomi menjadi sangat penting demi kemajuan negaranya, sehingga mereka melaksanakan proyek BRI ini.

Perubahan landskap geopolitik dengan pelibatan instrumen ekonomi menjadi variabel yang sangat diperhitungkan, dimana Tiongkok menciptakan geoekonomi sebagai kajian geopolitik pada era kontemporer ini. Adanya stabilitas ekonomi melalui proyek geopolitik mereka ini (BRI), tentu akan memungkinkan Tiongkok untuk: melakukan modernisasi teknologi, termasuk bidang pertahanan dan keamanan; merancang lebih banyak kebijakan strategis; serta menarik pihak luar untuk diberikan asistensi dan dukungan.

BRI ini sebagai shapping economic power (termasuk GDP projection) serta manifestasi proyeksi power dan keamanan Tiongkok, baik dalam skala regional maupun global. Namun berdasarkan faktor historis, ekonomi Tiongkok bermula pada skala 1:20 terhadap level GDP Amerika Serikat, yang sekarang mendekati skala 1:4. Signifikansi pertumbuhan ekonomi Tiongkok dapat ditelusuri melalui implementasi strategi “regionally decentralized totalitarian system” pada tahun 1980an. Strategi tersebut merupakan sistem yang memberi otonomi pada pemerintah daerah mengelola sendiri sumber daya ekonominya, untuk kemudian saling berkompetisi antar-daerah.

Reformasi yang pertama berhasil adalah sektor agrikultur, sehingga diberlakukan reformasi lahan yang menjadi privatisasi parsial (pengaturan hak pemanfaatan lahan). Berdasarkan hal tersebut, maka muncul revolusi industri di Tiongkok dalam konteks rular industrial development yang terus-menerus berkembang pada berbagai sektor lain. Kemudian pada tahun 2001, Tiongkok bergabung dalam keanggotaan WTO untuk ekspansi pasar dan tumbuh menjadi raksasa ekonomi global yang semakin kuat serta sektor privat resmi dilegalkan pada tahun 2004. Dengan begitu, Tiongkok melihat posisi mereka yang kuat karena pertumbuhan ekonomi yang siginifikan hingga keuntungan wilayah yang sangat strategis; berupaya membangun kekuatan geopolitik-nya melalui Belt and Road Initiative tersebut.

Namun, mengapa banyak negara, khususnya di dunia ketiga tertarik pada BRI dari Tiongkok ini? Karena Tiongkok ingin membangun interdependensi melalui proyeknya untuk menciptakan situasi yang berdampak keuntungan timbal-balik terhadap negara-negara mitranya tersebut (termasuk Indonesia), dengan cara investasi pembangunan infrastruktur hingga perdagangan. Hal ini mengacu pada pemikiran Richard Rosecrance bahwa sistem perdagangan akan mencerminkan negara-negara yang saling bergantung dan menerima persamaan status menurut perbedaan fungsi.

Tentu Tiongkok melihat negara-negara mitra (dunia ketiga) akan bergantung pada proyek BRI mereka ini, untuk meningkatkan kesejahteraan nasional serta alokasi sumber daya melalui pembangunan nasional dan perdagangan. Oleh karena itu, BRI ini sesuai dengan prinsip Tiongkok untuk menciptakan harmoni sosial yang berlandaskan Konfusianisme, serta beritikad pada metafora "menempa pedang menjadi mata bajak" (artinya, daripada sibuk berperang lebih baik berdagang).

Proyeksi kekuatan Tiongkok melalui BRI → Tiongkok memiliki faktor historis dan politis dalam kompetisi geopolitik saat ini; dimana BRI menjadi suatu bentuk cara negara tersebut untuk menunjukkan rivalitas dengan Amerika Serikat dalam mengendalikan jalur perdagangan global. Melalui kemitraan BRI inilah, Tiongkok mengamankan suplai energi mengambil-alih peluang pasar, serta melemahkan dominasi Barat. Alur BRI dari Tiongkok: manufacturingdistributingmarketingdevelopingservices (kemudian alurnya kembali ke manufacturing).

Tiongkok melihat bahwa wilayah Asia-Pasifik hingga Timur Tengah menjadi potensi menguntungkan dalam mewujudkan kemitraan BRI, dimana kedua wilayah tersebut diprediksi menjadi pusat perekonomian global pada tahun 2030 (jangka pendek) dan 2050 (jangka panjang). Hal ini juga dikarenakan wilayah Asia-Pasifik dan Timur Tengah mengalami ledakan demografi pada kedua tahun tersebut yang berpotensi menjadi pasar begitu masif. Dengan demikian, Belt and Road Initiative sebagai bentuk strategi geopolitik Tiongkok untuk menjadi kekuatan besar di dunia, dimana proyek tersebut menjadi langkah untuk berkompetisi dengan negara-negara Barat; salah satunya Amerika Serikat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image