Tashawuf Berkemajuan
Agama | 2024-01-30 08:28:35Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Founder Edu Sufistik)
“Nabi Muhammad naik ke puncak tertinggi hingga sidratul muntaha (mi’raj). Seandainya Muhammad seorang sufi, mungkin beliau tidak ingin kembali ke bumi karena merasa tentram bertemu Tuhan dan berada di sisi-Nya. Namun, Nabi Muhammad memilih turun kembali ke bumi untuk menggerakan perubahan sosial, mentransformasi struktur masyarakat, dan mengubah jalannya sejarah dunia berdasarkan misi profetik,” Demikian ungkap Muhammad Iqbal, pemikir besar Islam asal Pakistan.
Mi’raj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah inspirasi tashawuf berkemajuan. Seorang salik (pejalan spiritual) yang mendaki maqamat (tangga-tangga spiritual) untuk sampai kepada Allah (wushul ila Allah), sejatinya bukanlah untuk menikmati ketentraman ruhani seorang diri ketika sampai pada puncak pendakian (ma’rifatullah, mahabbatullah, isyraq). Lantas melupakan tanggungjawab sosial untuk mengambil peran-peran dalam kehidupan sebagai khalifah di bumi. Tidaklah demikian.
Perjalanan spiritual melangit adalah kebutuhan untuk menjernihkan qalbu dan mengokohkan jiwa. Membebaskan diri dari penghambaan kepada selain Allah. Sehingga, jiwa seorang salik merdeka. Tidak terbelenggu dan tersandra oleh dunia dan makhluk. Hilang cita rasa insaniyahnya dan berganti dengan cita rasa ilahiyah. Sufi besar Islam Ibnu Arabi menyebut manusia seperti ini sebagai insan kamil (manusia paripurna). Manusia yang telah dicelup dengan celupan Tuhan (QS. 2: 138).
Dalam hadis Qudsi riwayat Imam Muslim yang direkam Imam al-Nawawi dalam al-Arba’in al-Nawawiyah nomor 38, dijelaskan tentang gambaran pribadi seorang wali (orang yang dicintai Allah); firman-Nya, “Aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dengannya dia melihat, Aku menjadi tangannya yang dengannya dia bekerja, dan Aku menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan.”
Saksamailah firman Allah dalam hadis qudsi di atas, seorang salik yang sampai pada puncak pendakian, maka seluruh dirinya, zhahir dan batin, akan dibimbing dan diterangi cahaya Allah; cahaya hidayah, taufik, ilmu, hikmah, dan makrifat-Nya. Dirinya menjadi refleksi dan manifestasi kebesaran dan keagungan Allah. Imam Abu Yazid al-Busthami menyebutnya dengan isyraq (terpancari).
Dengan kualitas diri seperti itulah, seorang salik turun kembali ke bumi untuk mengemban amanah kepemimpinan. Dengan begitu, seorang salik mengikuti rekam jejak para nabi dan rasul. Dia memimpin dan mengambil peran-peran penting dalam kehidupan dengan mengusung nilai-nilai teosentris (berpusat dan menuju kepada Tuhan) dan profetik (meneladai para rasul).
Lihatlah kontribusi sufi besar Islam Imam al-Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dalam melahirkan umat al-mahjar yang membebaskan al-Quds dari tangan pasukan salib, sebagaimana direkam Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya Hakadza Zhahara Jil Shalahiddin wa Hakadza ‘Adat al-Quds.
Cermatilah Imam Abu Hasan Ali al-Syadzili, pendiri tarekat Syadziliyah, kakek guru dari Imam Ibnu Athaillah al-Sakandari. Imam Abu Hasan Ali al-Syadzili mengambil peran dan tanggung jawab atas persoalan umat ketika itu dengan menjadi salah seorang panglima pasukan muslim dalam perang salib.
Itulah yang disebut dengan tashawuf berkemajuan. Sejatinya, tashawuf bukanlah sikap hidup melarikan diri dari kenyataan dan tanggung jawab kehidupan dunia, sebagaimana kesalahan pemahaman sebagian orang. Sejatinya, tashawuf mengajarkan para salik melangit untuk kemudian turun kembali ke bumi. Membawa spirit langit untuk menata bumi. Memancarkan cahaya langit untuk menerangi bumi.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika Gay Hendricks dan Kate Ludeman, dalam bukunya The Corporate Mystic, menyebutkan pada abad 21 kita akan menemukan para mistikus (sufi, dalam bahasa Islam) justru berada di perusahaan-perusahaan multinasional, di lembaga-lembaga publik dan pemerintahan. Mereka memimpin organisasinya dengan nilai-nilai spiritual.
Sejatinya, Allah mewariskan bumi bagi orang-orang saleh (QS. 21: 105). Mereka adalah pribadi yang tercahayai oleh cahaya Allah. Kemudian, dengan cahaya itu mereka memimpin umat manusia dan memakmurkan bumi menuju tatanan dunia yang berkeadaban.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.