Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image sucahyo adi swasono@PTS_team

Hanya Debat Kusir

Politik | 2024-01-28 13:19:10
Ilustrasi: pixabay.com

Secara definitif, debat kusir itu adalah debat yang tidak disertai alasan yang masuk akal, dan cenderung hanya berputar-putar yang lebih menonjolkan narasi retorik daripada nilai analitik implementatifnya. Tekstual, tak berkontekstual.

Oh, ya? Ya, iyalah, karena faktalah yang berbicara manakala menyaksikan tayangan debat oleh para kandidat yang telah mengkampanyekan dan mempropagandakan dirinya agar bisa menjadi pemimpin di negeri ini. Dan, mereka sedang menjalani proses kontestasi yang secara prinsip mengisyaratkan kepada publik dalam jargon “pilihlah saya”, jangan memilih “selain saya”.

Masuk akal, ya? Usahlah bersikap hipokrit ...

Tema dan Topik, Tekstual Normatif Belaka

Sebab, realitas yang dipertontonkan tak ada nilai kontekstualnya, apalagi solusi yang ditawarkan manakala negeri ini sedang dilanda masalah besar di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mari dicermati dengan seksama, ketika tema dan topik debat yang jauh sebelum dilaksanakan telah disosialisasikan. Yakni, tentang Lingkungan Hidup, Sumber Daya Alam dan Energi, Pangan, Agraria, dan tentang Masyarakat Adat dan Desa.

Lingkungan Hidup, adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan berhubungan timbal balik. Juga sebuah sistem yang merupakan kesatuan ruang antara mahluk hidup dan komponen abiotik lainnya. Interaksi antar lingkungan alamiah dan sekitarnya membentuk sistem ekologi (ekosistem). Lingkungan memegang peranan sebagai habitat bagi kehidupan mahluk hidup di muka bumi.

Keseimbangan lingkungan secara alami dapat berlangsung karena beberapa hal, yaitu komponen-komponen yang terlibat dalam aksi-reaksi dan berperan sesuai kondisi keseimbangan, pemindahan energi (arus energi), dan siklus biogeokimia dapat berlangsung. Keseimbangan lingkungan dapat terganggu jika terjadi perubahan berupa pengurangan fungsi dari komponen atau hilangnya sebagian komponen yang dapat menyebabkan putusnya mata rantai dalam suatu ekosistem. Kondisi keseimbangan tersebut kemungkinan dapat berubah dengan adanya campur tangan manusia dengan segala aktivitas pemenuhan kebutuhan yang acapkali melampaui batas.

Itulah, gambaran umum tentang Lingkungan Hidup (LH).

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh LSM Amerika Serikat, yakni Climate Rights International (CRI) yang dirilis pada 17 Januari 2024, bahwa aktivitas tambang nikel di Indonesia yang mayoritas dilakukan perusahaan China, telah memicu deforestasi massal. Dan, aktivitas tersebut telah menyebabkan kerusakan hutan secara luas, bahkan setara dengan 6.000 lapangan sepak bola.

Nah, dimanakah posisi pembangunan yang lebih mengedepankan keseimbangan lingkungan, ekologi dan ekosistem yang dimiliki negeri ini?

Adakah keseimbangan itu tergambar, apalagi mewujud ketika kebijakan di negeri ini yang menargetkkan produksi sekitar 600 ribu kendaraan listrik, Electric Vehicle (EV) pada 2030, dimana angka tersebut merupakan 100 kali lipat lebih besar dari jumlah kendaraan listrik yang dijual di Indonesia pada 2023?

Sebenarnya, mereka sedang memperdebatkan apa ya, terkait dengan kelestarian Lingkungan Hidup, Ekologi dan Ekosistem sebagai bagian dari kekayaan SDA yang dimiliki negeri ini yang wajib di-keep on demi sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan beradab secara kongkrit?

Sumber Daya Alam di Indonesia tidak terbatas pada keanekaragaman hayati. Berbagai daerah di Indonesia juga dikenal sebagai penghasil berbagai jenis bahan tambang, seperti petroleum, timah, gas alam, nikel, tembaga, bauksit, batu bara, emas dan perak. Di samping itu, Indonesia juga memiliki tanah yang subur dan baik digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Wilayah perairan yang mencapai 7,9 juta km2 juga menyediakan potensi alam yang sangat besar.

Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brasil. Fakta tersebut menunjukkan tingginya keanekaragaman sumber daya alam hayati yang dimiliki Indonesia. Hal ini berdasarkan Protokol Nagoya, menjadi tulang punggung perkembangan ekonomi yang berkelanjutan. Protokol Nagoya sendiri merumuskan tentang pemberian akses dan pembagian keuntungan secara adil dan merata antara pihak pengelola dengan negara pemilik sumber daya alam hayati, serta memuat penjelasan mengenai mekanisme pemanfaatan kekayaan sumber daya alam tersebut.

Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia mempunyai pencaharian di bidang pertanian atau bercocok tanam. Data statistik pada tahun2001 menunjukkan bahwa 45% penduduk Indonesia bekerja di bidang agrikultur. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara ini memiliki lahan seluas lebih dari 31 juta hektar yang telah siap tanam, dimana sebagian besarnya dapat ditemukan di Pulau Jawa. Pertanian di Indonesia menghasilkan berbagai macam tumbuhan komoditas ekspor, antara lain padi, jagung, kedelai, sayur-sayuran, cabai, ubi, dan singkong. Di samping itu, Indonesia juga dikenal dengan hasil perkebunannya, antara lain karet (bahan baku ban), kelapa sawit (bahan baku minyak goreng), tembakau (bahan baku obat dan rokok), kapas (bahan baku tekstil), kopi (bahan minuman), dan tebu (bahan baku gula pasir).

Apakah keanekaragaman hayati di negeri ini sudah didayagunakan secara optimal demi sebesar-besar kemakmuran rakyat yang kongkrit berkeadilan dan beradab? Sudah 78 tahun, lho kita ini sebagai negeri merdeka? Adakah harmonisasi antara tataran idealitas dengan tataran realitas dalam praktik pelaksanaannya, sebagaimana yang ternukil dalam ideologi kita? Yakni, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang dirinci menjadi “digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Sebut saja, penyematan sebagai negeri agraris. Ketahanan pangan hanyalah jargon naratif retorik, sebab realitasnya, kita masih impor kebutuhan pangan. Lantas, apa makna label yang disematkan terhadap negeri ini yang disebut-sebut sebagai negeri agraris?

Pangan, merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD NKRI 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsummsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Begitulah bunyinya, menurut UU No. 18 Tahun 2012.

Sedangkan Ketahanan Pangan, merupakan “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”. Begitulah bunyinya, dan masih menurut UU No. 18 Tahun 2012.

Keanekaragaman ini bisa terlihat dari lima hasil produksi pangan terbesar di Indonesia yang meliputi beras, ubi kayu, jagung, dan kacang tanah. Begitulah yang sudah biasa kita dengar.

Antara pangan dan ketahanan pangan, adalah dua hal yang saling terkait dan tak terpisahkan di perikehidupan suatu bangsa dan negara. Satu sisi, pangan adalah kebutuhan dasar paling utama sebagai bagian dari hak asasi manusia, sedangkan sisi berikutnya, ketahanan pangan merupakan bagaimana terpenuhinya kebutuhan dasar dan utama bagi manusia dimaksud. Lebih-lebih sebagai “Negara Agraris” bagi Indonesia.

Maka patut dan pantaskah, negeri agraris, koq sektor pangan dan ketahanan pangannya dipenuhi dengan cara impor dan bergantung pada negeri lain?

Tergambar tidak dalam debat kandidat beberapa hari yang lalu? Yakni, salah satu dari masalah besar negeri ini adalah pangan dan ketahanan pangan yang sejak merdeka belum bisa dikatakan sebagai “mandiri pangan dan ketahanan pangan”? Begitu pula, tergambar tidak apa akar masalahnya dan bagimana solusi kongkritnya agar terjadi sebuah konsekuensi logis terhadap Indonesia Nusantara sebagai negeri agraris?

Agraria, adalah soal pertanian atau tanah pertanian, juga soal pemilikan tanah. Sebab, negeri kita telah populer bin viral dan mendunia sebagai negara agraris. Dan, muncullah terminologi “Reformasi Agraria” dalam proses perjalanan pembangunan di negeri ini, yakni meliputi 5 program atau Panca Program sebagai berikut:

> Pembaharuan hukum agraria.
> Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial tanah.
> Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
> Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum bersangkutan dengan penguasaan tanah untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.
> Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya. Dimana dalam arti sempit, landreform meliputi perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum bersangkutan dengan penguasaan tanah untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.

Realitas yang terjadi di lapangan terhadap reformasi agraria dengan panca programnya itu, bagaimana? Koq, konflik agraria selalu bermunculan silih berganti? Sebut saja, “Konflik Rempang” (2023) yang sebelumnya juga muncul “Konflik Wadas” (2019), atau yang sebelum-sebelumnya dan berlalu ditelan waktu, yakni konflik agraria yang bertajuk “Dari Jenggawah hingga ke Siria Ria”(1977), “Konflik Badega” (1984), “Konflik Cimacan (1988), dan konflik-konflik agraria yang yang tak terlaporkan lainnya.

Masyarakat Adat, adalah istilah umum atau konsep yang dipakai di Indonesia untuk merujuk pada komunitas-komunitas hukum adat (adat rechtsgemeenschappen) yang sudah ada di jaman pendudukan Hindia Belanda pada masa itu. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.

Masyarakat Adat dimaknai pula sebagai kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun. Masyarakat Adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan Masyarakat Adat sebagai komunitas adat.

Terdapat empat warisan leluhur atau asal-usul sebagai pembeda antara Masyarakat Adat dan kelompok masyarakat lainnya. Yakni, sebagai berikut:

> Identitas Budaya yang sama. Mencakup bahasa, spiritualitas, nilai-nilai serta sikap dan perilaku yang membedakan kelompok sosial yang satu dengan yang lain.
> Sistem Nilai dan Pengetahuan, mencakup pengetahuan tradisional yang dapat berupa pengobatan tradisional, perladangan tradisional, permainan tradisional, sekolah adat, dan pengetahuan tradisional maupun inovasi lainnya.
> Wilayah Adat (ruang hidup), meliputi tanah, hutan, laut, dan sumber daya alam (SDA) lainnya yang bukan semata-mata dilihat sebagai barang produksi (ekonomi), tetapi juga menyangkut sistem reliigi dan sosial- budaya.
> Hukum Adat dan kelembagaan adat dan kelembagaan adat aturan-aturan dan tata kepengurusan hidup bersama untuk mengatur dan mengurus diri sendiri sebagai suatu kelompok sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Sementara itu, mengacu pada Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat Adat atau Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), karakteristik penanda Masyarakat Adat, antara lain sebagai berikut:

> Identifikasi diri (self-identification)
> Keberlanjutan (sebelum diinvasi oleh kekuatan penjajah atau kolonial)
> Penduduk asal (sejarah)
> Hubungan spiritual dengan tanah dan wilayah adat
> Identitas yang khas (bahasa, budaya, kepercayaan), dan
> Sistem sosial politik dan ekonomi yang khas.

Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak-hak yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pada tataran praktik terjadi hambatan yang signifikan, yakni sebagai berikut:

> Hambatan pada Kementerian Kehutanan yang sulit melepas kawasan hutan, dan
> Pemerintah Daerah yang lebih menjadikan kawasan hutan sebagai Areal Penggunaan Lain (APL) agar lebih mudah dialihfungsikan dalam mengeluarkan izizn-izin usaha.

Ujung-ujungnya, implementasi terhadap UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hanya pada batas rumusan kodifikasi legal formal yang tak mewujud dalam praktik tindak nyata.

Desa, berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 18 ayat (7), UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menempatkan desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government). Desa tidak identik dengan pemerintah desa dan kepala desa. Desa mengandung pemerintahan dan sekaligus mengandung masyarakat sehingga membentuk kesatuan (entitas) hukum atau kesatuan organik. Desa tidak direduksi sebagai pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten, melainkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berada dalam wilayah kabupaten.

Lima masalah utama dan mendasar yang dihadapi oleh desa dengan pemerintahannya dapat diidentifikasi sebagai berikut:

> Kedudukan desa dalam sistem pemerintahan Indonesia sampai saat ini masih bersifat ambivalen, yakni sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki otonomi tradisional tetapi lebih banyak menjalankan urusan- urusan pemerintahan yang datang dari pemerintahan supradesa.
> Kedudukan organisasi pemerintah desa juga bersifat ambivalen seiring ambivalensi kedudukan kesatuan masyarakat hukumnya.
> Sumber keuangan desa bersifat tradisional sehingga tidak memberikan kepastian untuk dapat digunakan dalam menggerakkan roda organisasi. Desa tidak memiliki kewenangan memungut pajak dan retribusi atas namanya sendiri. Pungutan pajak dan retribusi yang ada saat ini atas nama pemerintah supradesa (misalnya Pajak Bumi dan Bangunan sebagai pajak pemerintah pusat). Sumber keuangan desa berasal dari sumber- sumber tradisional seperti iuran warga desa, tetapi yang terbesar justru berasal dari transfer pemerintah supradesa (pusat, provinsi, kabupaten/kota).
> Kedudukan kepegawaian perangkat desa serta sistem imbalannya juga tidak jelas karena kedudukan kesatuan masyarakat hukum dan organisasinya yang bersifat ambivalen.
> BPD (Badan Permusyawaratan Desa) menjalankan fungsi seperti DPRD, salah satunya adalah bersama-sama Kepala desa menyusun Peraturan Desa. Menurut Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2004, Peraturan Desa masuk dalam kategori Peraturan Daerah. Tetapi BPD tidak diisi melalui mekanisme pemilihan umum, sehingga kedudukannya juga menjadi ambivalen. BPD sekarang lebih diposisikan sebagai lembaga tempat bermusyawarahnya masyarakat, bukan sebagai lembaga politik.

Para pakar dan pemerhati pedesaan, sepakat menyatakan bahwa pengembangan dan pembangunan desa merupakan hal yang penting bagi sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini karena hasil penelitian menunjukkan bahwa desa merupakan penopang kehidupan sebuah negara dimana mayoritas produsen pangan berasal dari desa. Bahkan, lebih dari 75 persen penduduk Indonesia berada di pedesaan. Dengan kata lain, desa merupakan tulang punggung negara berkembang. Karena itu masa depan tidak lagi terletak di kota. Namun, ke depan kota hanya menjadi penyedia jasa, dan pusat aktivitas produksi ada di desa.

Dan, sayangnya tingkat urbanisasi yang cenderung tinggi di negeri ini yang diperkirakan dalam rentang waktu dari 2010 hingga 2035 mencapai 66,6% merupakan indikator gagalnya pembangunan wilayah pedesaan, dan hilangnya mata pencaharian masyarakat desa akibat terjadinya dekapitalisasi ekonomi desa.

Menurunnya jumlah produksi tanaman pangan (padi) kemungkinan besar disebabkan oleh berkurangnya lahan panen sebanyak 41.612 hektar menjadi 13,79 juta hektar dari sebelumnya 13,83 juta hektar. Tak hanya kekurangan jumlah lahan, jumlah petani juga setiap harinya semakin menurun. Sensus yang dilakukan pada 2003 dan 2013, jumlah petani turun drastis dari 31 juta ke 26 juta.

Direktur Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Terluar Kementerian ATR/BPN Asnawati mengatakan sekitar 90 ribu hektar lahan sawah berpotensi hilang setiap tahunnya. Hal ini lantaran alih fungsi lahan sawah menjadi non sawah untuk kawasan pemukiman dan industri per tahun mencapai 150 ribu hektar, sementara kemampuan cetak sawah baru hanya mencapai sebanyak 60 ribu hektar per tahun. "Cetak sawah baru, jika dibandingkan dengan alih fungsi lahan sawah ke non-sawah yang terjadi, jauh dari kata seimbang. Dengan sendirinya di sini akan ada potensi kehilangan lahan sawah 90 ribu hektar per tahunnya," ujarnya.

Dari data tersebut di atas, kita dihadapkan pada sebuah kesenjangan dan kontradiktif. Satu sisi desa dinyatakan sebagai penopang dan tulang punggung kehidupan negara (agraris), sisi lain telah terjadi penurunan jumlah petani maupun jumlah lahan pertanian (sawah) yang berbanding lurus dengan perihal pangan dan ketahanan pangan yang lebih banyak disumbang oleh potensi SDA maupun SDM dari desa.

Tergambarkah dalam debat para kandidat tentang Masyarakat Adat dan Desa sebagai bagian dari persoalan besar di negeri ini dalam visi dan misinya?

Dan, solusi kongkrit apa yang ditawarkan oleh para kandidat dalam menahkodai bahtera negeri yang sedang dilanda keguncangan hebat lantaran diterpa badai krisis yang cenderung mengarah pada ketidakpastian sosial-ekonomi yang bukan tidak mungkin akan berpuncak pada krisis multidimensi?

Masihkah kita hanya berdebat dan berdebat yang hanya mempertontonkan kepiawaian bernarasi retorik, tanpa muatan gambaran realitas persoalan besar yang sedang didera oleh bangsa negeri ini, tanpa muatan gambaran konsepsi analitis dan kontekstual yang mengarah pada jawaban solutif terhadap persoalan besar bagi bangsa negeri ini? Ah, namanya juga debat kusir ...

Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal indonesia Nusantara ....

*****

Kota Malang, Januari di hari kedua puluh delapan, Dua Ribu Dua Puluh Empat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image