Laju Deforestasi Kian Masif, Alam Semesta Semakin Sengsara
Lainnnya | 2024-01-23 16:31:42Kapitalisme telah menjadikan hujan begitu menakutkan. Kerusakan alam akibat ideologi ini telah nyata membawa mudarat bagi umat manusia. Banjir bandang dan tanah longsor menjadi bencana yang datang kala hujan bertandang. Sungguh memprihatinkan.
Penyebab banjir di sejumlah kota bukan hanya karena curah hujan tinggi. Seperti di wilayah Jambi, termasuk Kerinci, sangat terkait dengan hilangnya tutupan hutan. Vegetasi yang berfungsi sebagai resapan air semakin banyak hilang.
Sepanjang tahun 2023, dalam analisis yang dilakukan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, terjadi pembukaan hutan dan lahan di sejumlah wilayah. Itu terlihat dari citra satelit sentinel 2 dipadukan pengamatan dari Google Earth, Citra Spot 6, dan SAS Planet.
Hasil analisis, areal terbuka terpantau seluas 160.105 hektar. Bukaan itu tersebar pada berbagai fungsi kawasan mulai dari area penggunaan lain mengalami pembukaan 51.904hektar, disusul di areal hutan restorasi justru mengalami pembukaan seluas 41.116 hektar.
Areal hutan tanaman industri turut alami pembukaan drastis, yakni seluas 16.255 hektar. Didapati pula pembukaan hutan terpantau di kawasan taman nasional seluas 13.097 hektar dan di hutan lindung seluas 1.725 hektar.
”Tutupan hutan yang menipis, pengerukan sumber daya alam yang tidak taat aturan dipadukan dengan perubahan iklim yang mendatangkan hujan besar menjadikan terjangan banjir dan longsor di sejumlah wilayah,” kata Direktur KKI Warsi, Adi Junedi.
Pengerukan sumber daya alam yang tidak taat aturan dipadukan dengan perubahan iklim yang mendatangkan hujan besar menjadikan terjangan banjir dan longsor di sejumlah wilayah di negeri ini.
Dampak Deforestasi
Deforestasi adalah situasi hilangnya tutupan hutan beserta segala aspeknya yang berdampak pada hilangnya struktur dan fungsi hutan itu sendiri. Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), luas hutan Indonesia pada 2022 mencapai 102,53 juta hektare (ha). Angka itu berkurang sekitar 1,33 juta ha atau turun 0,7% dibanding 2018.
Selama 2018-2022, hutan yang hilang paling banyak berada di Pulau Kalimantan. Dalam periode tersebut, pengurangan luas hutan di Kalimantan mencapai 526,81 ribu ha. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia 2018-2022, luas hutan berkurang karena berbagai faktor, salah satunya diakibatkan oleh adanya pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan, perkebunan misalnya. Auriga Nusantara mencatat, hingga Juni 2022, kawasan hutan yang dilepaskan oleh pemerintah luasnya mencapai 8.514.921 hektare. 6 juta hektare di antaranya dilepaskan untuk perkebunan.(betahita[dot]com)
Data terbaru dari World Population Review, sebuah lembaga yang menyediakan data populasi dan demografi global, berdasarkan hitungan luas deforestasi sejak 1990, Indonesia jadi negara ke-2 di dunia dengan tingkat deforestasi terparah pada 2024 setelah Brasil.
Sementara itu, menurut catatan Global Forest Watch, dikutip dari situs webnya, Kamis, terdapat 594.277 peringatan deforestasi yang dilaporkan di Indonesia antara 10 hingga 17 Desember 2023, mencakup total 7,3 ribu hektare.
WALHI memprediksi jika kegiatan deforestasi hutan dan alih fungsi lahan masih gencar dilakukan dan dibiarkan, dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun, negeri ini tidak lagi memiliki hutan yang mampu melindungi tanah dan lahan dari gerusan banjir, longsor, dan ambles.
Akibat Kapitalisme
Keserakahan kapitalisme adalah biang kerok kerusakan hutan. Telah menjadi rahasia umum, apabila dalam sistem kehidupan saat ini orang-orang saling berlomba-lomba memiliki apapun yang mereka inginkan. Sejalan dengan sistem kapitalisme yang menuhankan kebebasan kepemilikan, bahwa siapapun baik individu, swasta sampai negara asing bebas membeli dan memiliki apapun yang mereka inginkan, selama mempunyai banyak modal (kapital), serta hanya berfikir untung rugi bagi kepentingan kapitalis. Manakala menguntungkan, para korporat kapitalis ini tidak segan melakukan segala cara agar ambisi kuasanya terwujud meski harus mengorbankan serta mengabaikan dampaknya bagi lingkungan.
Rasa ingin memiliki akan semakin menjadi-jadi jika diberi ruang, apalagi sistem kapitalisme hari ini memberi celah bagi siapapun yang memiliki modal besar untuk menguasai apapun, ditambah lagi mental para pemimpin hari ini yang terobsesi dengan jabatan dan kekuasaan. Dengan dalih menyelamatkan perekonomian dalam negeri dan menciptakan lapangan pekerjaan, para pemimpin hari ini rela menjual aset milik rakyat kepada para pengusaha dan korporasi. Investasi yang dijadikan sebagai alibi, ternyata sesungguhnya adalah untuk memudahkan jalan mulus para pemilik modal maupun korporasi untuk mengeruk kekayaan alam yang notabenenya adalah milik rakyat.
Terjadilah kesepakatan antara penguasa dan pengusaha, melalui kerja sama dan perjanjian hitam di atas putih. Kesepakatan ini melahirkan relasi antara pengusaha dan penguasa, mesranya hubungan keduanya dapat dirasakan dari berbagai kebijakan yang dibuat seringkali tidak memprioritaskan kepentingan rakyat, tapi mengakomodasi hasrat para kapitalis.
Sebagai contoh, lahirnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba adalah produk hukum yang memanjakan kepentingan kapitalis. Ada lebih dari 70 aturan yang disederhanakan melalui UU Omnibus Law Ciptas Kerja. Tak terkecuali UU tentang perlindungan lingkungan dan hutan. UU ini dinilai tidak memberikan keberpihakan pada lingkungan. Para aktivis lingkungan menganggap UU ini mempercepat laju deforestasi.
Dari berbagai Undang-Undang kontroversi yang berhasil disah-kan, para pengusaha bebas melanggeng mengeruk kekayaan alam Indonesia sebab telah dilindungi oleh Undang-Undang. Dalam hal ini, penguasa pun memperoleh keuntungan, yakni mendapat kucuran dana sebagai ongkos demokrasi, mahalnya biaya demokrasi membuat para penguasa menjadikan para pengusaha sebagai penopang biaya selama masa kampanye. Maka tak heran, muncullah istilah “Politik Balas Budi”. Penguasa harus membalas jasa para pengusaha yang selama ini telah membiayai ongkos demokrasi.
Pola dan relasi ini akan terus terulang dari rezim ke rezim lainnya, jika suatu rezim telah habis masa jabatannya maka kepentingan para pengusaha ini akan diakomodir oleh rezim selanjutnya, begitu seterusnya. Dengan begitu, sangatlah wajar bila dari masa rezim ke masa rezim lainnya kondisi rakyat tak ada ubahnya. Kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial dan ketidaksejahteraan akan selalu menyelimuti rakyat. Kekayaan alam yang seharusnya dirasakan dan bisa menyejahterakan rakyat, ternyata telah dijual penguasa kepada para pengusaha. Sehingga keuntungannya tidak dapat dirasakan langsung oleh rakyat, hanya tangan-tangan serakahlah yang menikmatinya.
Solusi Islam
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberi pedoman dalam setiap sisi kehidupan, termasuk dalam pengelolaan hutan serta lingkungan alam. Islam memiliki kelengkapan hukum dan aturan yang menjadi sumber baku penerepan hukun disemua level, termasuk dilevel negara dalam mengatur urusan hutan, seperti firman Allah ta'ala :
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-A’raf: 56).
Oleh karena itu, pembangunan dan pengadaan kawasan dan sikap terhadap hutan sangat ditentukan oleh kemaslahatan manusia bukan pada segelintir elit dan investor yang bergelimang harta dan pamor. Islam juga dengan keparipurnaanya telah memberikan sebuah manifesto terhadap kategorisasi kepemilikan dan hutan adalah bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola negara dan mendistribusikan sebesar-besarnya untuk rakyat seperti dalam hadits Rasulullah Saw :
"Kaum muslim berserikat atas 3 hal yakni air, api dan padang rumput" (HR. Abu dawud dan Ahmad)
Pemerintah tidak boleh memberikan hutan kepada swasta untuk menjadikannya perkebunan kelapa sawit. Hal ini karena selain hutan tidak boleh dimiliki swasta, alih fungsi lahan hutan secara besar-besaran pun bisa menyebabkan banjir.
Begitu pun negara, tidak boleh mengubah hutan menjadi perkebunan sawit walaupun hal tersebut mendatangkan devisa negara. Selain hal tersebut berpotensi menciptakan banjir dan longsor, negara telah memiliki sumber pemasukan yang melimpah dari fai, kharaj, dan kepemilikan umum lainnya, seperti tambang, gas, batu bara, dan lainnya yang semuanya tak boleh diprivatisasi.
Alhasil, dengan kesempurnaan penerapan syariat dikancah negara inilah menjadikan aspek-aspek penting itu tidak disalahgunakan oleh sekelompok orang atau korporasi tertentu yang akhirnya memberikan kebaikan pada umat manusia dan alam ikut merasakan rahmatan lil 'alaminnya penerapan Islam kaffah. Wallahu’alam biashawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.