Menjelajahi Keunikan Suku Baduy: Catatan Perjalanan Etnografi
Jalan Jalan | 2024-01-17 01:56:47Walaupun zaman sudah semakin modern, tetapi suku Baduy masih memegang teguh aturan adat yang berlaku. Suku Baduy terbagi menjadi dua, yaitu Baduy dalam dan Baduy luar. Masyarakat Baduy luar atau urang penamping memiliki penduduk yang berjumlah ribuan orang, sehingga lebih banyak daripada Baduy dalam atau urang dangka yang hanya ratusan orang saja. Masyarakat Baduy luar menempati daerah bagian utara Kanekes yaitu daerah Kaduketuk, Cikaju, Gajeboh, Kadukolot, Cisagu, dan lain-lain. Sedangkan Baduy dalam terletak di bagian selatan dan di pedalaman hutan, tepatnya di daerah kampong Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana.
Kehidupan masyarakat Baduy sudah mulai mengenal teknologi modern, walaupun secara adat hal tersebut dilarang dan tidak boleh menggunakan listrik. Dalam menjalankan kehidupannya, masyarakat Baduy luar atau dalam, masih berjalan tanpa alas kaki, tidak menggunakan transportasi, bahkan masyarakatnya tidak boleh meninggalkan Baduy lebih dari 7 hari. Untuk memenuhi kehidupannya, suku Baduy bercocok tanam dan menenun. Berikut adalah penjelasan lebih dalam mengenai perjalanan etnografi saya dalam menjelajahi suku Baduy Luar, dan juga akan dijelaskan sedikit mengenai bagaimana kehidupan suku Baduy Dalam.
Tradisi dan Adat Suku Baduy: Keunikan Budaya yang Masih Berlangsung
Suku Baduy adalah suku asli yang hidup di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suku Baduy juga dikenal dengan nama Sunda Badui dan terdiri dari tiga kelompok yaitu Tangtu (yang paling ketat mengikuti adat yaitu warga yang tinggal di Cibeo, Cikertawarna dan Cikeusik), Panamping (yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dsb) dan Dangka (apabila Kenekes dalam dan Kenekes Luar tinggal di wilayah Kenekes maka “Kenekes Dangka” tinggal diluar wilayah Kenekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa yaitu Padawara (Cibengkung).
Suku Baduy masih mempertahankan tradisi dan adat istiadat mereka yang turun-temurun, termasuk dalam hal kepercayaan dan sistem kepercayaan mereka. Mereka memuja kekuatan alam dan juga nenek moyang, dan bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam.
Suku Baduy juga memiliki bentuk rumah yang khas dimana rumah berupa panggung ini didominasi dengan kayu, bambu dan atap ijuk atau rumbia. Hal ini bisa dijumpai sejak memasuki perkampungan Ciboleger, gerbang utama untuk menuju kawasan Desa Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Rumah adat Suku Baduy disebut dengan Sulah Nyanda. Meskipun suku Baduy hidup di tengah arus modernisasi, mereka tetap berusaha mempertahankan keunikan budaya mereka dan lingkungan sekitar.
Kepercayaan dan Sistem Kepercayaan Suku Baduy: Pendekatan Etnografi
Suku Baduy, yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, memiliki keyakinan terhadap Nabi Adam Tunggal sebagai orang pertama yang turun ke bumi. Mereka juga memandang arah selatan sebagai arah yang suci. Dalam kepercayaan ini, semua prosesi adat, seperti pernikahan, upacara kematian, dan tanam padi, dipimpin oleh pu’un/ketua adat, dan prosesinya hampir sama seperti ajaran agama Islam. Selain itu, kepercayaan Sunda Wiwitan juga mencakup penghormatan terhadap alam dan nenek moyang, serta pandangan terhadap arah selatan sebagai arah yang suci. Suku Baduy sangat bergantung pada alam dan tetap menjaga nilai serta norma dari leluhurnya. Meskipun begitu, mereka tetap mengakui bahwa mereka tinggal di tanah Indonesia dan beradaptasi dengan perubahan sosial yang terjadi.
Bagaimana Hubungan Suku Baduy dengan Lingkungan Sekitar, Termasuk Cara Mereka Memanfaatkan Sumber Daya Alam?
Hubungan suku Baduy dengan lingkungan sekitar adalah salah satu aspek yang menarik dalam pemahaman tentang suku Baduy. Mereka memiliki kepercayaan bahwa alam adalah salah satu titipan maha kuasa yang harus dijaga dan dilestarikan. Mereka menggunakan seperlunya yang ada di alam dan disertai dengan pelestarian. Suku Baduy memiliki sistem gotong royong yang sangat kuat, dimana mereka bekerja bersama untuk membantu satu sama lain dalam kegiatan sehari-hari. Suku Baduy memiliki sistem pertanian yang berbasis pada kepercayaan terhadap alam dan nenek moyang. Mereka memanfaatkan sumber daya alam seperti tanah, air, dan hutan untuk menanam padi dan menjaga keberlangsungan budaya mereka.
Kehidupan Sehari-hari Suku Baduy: Memasak, Berkebun, dan Berdagang
Dalam kehidupan sehari-hari, suku Baduy menjalani beragam aktivitas yang mencerminkan hubungan mereka dengan alam dan cara hidup tradisional mereka. Suku Baduy memasak dengan menggunakan bahan-bahan alami yang mereka dapatkan dari alam sekitar, seperti kayu bakar dan batu bara. Mereka juga menggunakan bahan-bahan alami untuk membuat bumbu dan rempah-rempah, seperti daun pandan, serai, dan jahe. Suku Baduy memiliki sistem pertanian yang berbasis pada kepercayaan terhadap alam dan nenek moyang. Mereka memanfaatkan sumber daya alam seperti tanah, air, dan hutan untuk menanam padi, sayuran, dan buah-buahan untuk kebutuhan sehari-hari. Suku Baduy juga terlibat dalam kegiatan berdagang, dimana mereka menjual hasil pertanian dan kerajinan tangan mereka di pasar-pasar tradisional. Mereka juga menjual hasil kerajinan tangan seperti tikar dan anyaman bambu. Sebelum ramai dikunjungi wisatawan, warga Suku Baduy hidup sebagai petani. Kini sebagian warganya ada yang bekerja sebagai pemandu wisata hingga pedagang. Hal ini terjadi karena banyaknya pengunjung yang datang, sehingga dimanfaatkan oleh warga Baduy sebagai peluang lain. Kepala Desa Kanekes, menyampaikan bahwa ada sejumlah mata pencaharian yang digeluti oleh warga Suku Baduy saat ini, berikut di antaranya:
1. Petani
Mayoritas warga Baduy bermata pencaharian sebagai petani, terutama warga Baduy Dalam. Mereka berkebun atau menanam padi di ladang atau Huma untuk memenuhi kebutuhan hidup keseharian. Selain padi, mereka juga menanam jahe dan kencur untuk kemudian dijual ke pasar. Disamping berkebun, petani Baduy juga membuat gula dari aren serta mencari sarang lebah hutan untuk diambil madunya. Komoditas utama dari sektor pertanian di Baduy antara lain, kencur, jahe, gula aren, durian dan madu.
2. Pemandu Wisata
Sejak wisatawan banyak datang ke Desa Adat Baduy, pekerjaan sebagai pemandu wisata mulai dijalani oleh mayoritas anak-anak muda di Baduy. Tugas mereka mengantar wisatawan yang hendak berkunjung ke Baduy Dalam. Diketahui, wisatawan diwajibkan menggunakan pemandu dari warga lokal untuk menghindari tersesat atau sebagai penerjemah saja dalam berkomunikasi dengan warga Baduy Dalam. Jumlah warga asli Baduy yang bermata pencaharian sebagai pemandu wisata kini mencapai sekitar 30 orang. Saat saya melakukan perjalanan dengan teman-teman saya, kami sempt ditawarkan untuk membeli tongkat agar memudahkan selama penanjakan yang memakan waktu selama kurang lebih 1,5 jam.
3. Pedagang
Ramainya kunjungan yang datang juga dimanfaatkan oleh warga Baduy, terutama warga di jalur wisata untuk menjajakan produk khas Baduy. Produk yang dijual seperti kain tenun, pakaian adat baduy, lomar atau ikat kepala dan tas khas Baduy bernama Koja serta madu. Saat sedang musim panen, mereka juga menjual hasil tani seperti jahe, kencur dan durian. Selain berjualan di tanah Baduy sendiri, sebagian warga Baduy juga ada yang pergi ke kota seperti Rangkasbitung hingga Jakarta untuk berjualan madu, dan uniknya mereka berjualan dengan tanpa beralas kaki dan berjalan kaki sesuai dengan tradisi suku mereka yang tidak menggunakan teknologi yang sudah berkembang pesat saat ini.
Peran dan Posisi Perempuan dalam Masyarakat Suku Baduy
Seperti masyarakat pada umumnya, sesungguhnya dalam masyarakat Baduy pun pria memegang peran penting, baik bidang sosial maupun religi. Pimpinan keluarga, kelompok, kampung, dan suku, serta pemimpin upacara selamatan, inisiasi, perkawinan, kematian, penanaman padi, pemanenan padi, dan pemujaan leluhur di pegang oleh pria. Walau demikian, bukan berarti pria Baduy menguasai segala sendi kehidupan masyarakat. Wanita Baduy, selain mempunyai fungsi dan peran yang sama dengan pria, juga memiliki fungsi dan peran yang khas serta tidak boleh dilakukan oleh pria. Dengan kata lain, pria dan wanita Baduy sama-sama memiliki fungsi dan peran yang penting. Pria Baduy tidak bersifat mendominasi dan wanita Baduy tidak tersubordinasi. Keluarga Baduy sangat mengharapkan anak pertama wanita. Anak wanita dianggap memiliki nilai lebih dibanding anak pria karena anak wanita mempunyai sifat memelihara, mengayomi, dan melindungi (seperti hanya konsep ambu), terutama untuk adik-adiknya. Anak wanita usia sekitar lima tahun keatas telah diberi tanggung jawab menjaga dan mengasuh adik-adiknya. Upacara-upacara yang berkaitan dengan padi diatas harus dilakukan oleh wanita dan tidak boleh dilaksanakan oleh pria. Menurut keyakinan orang Baduy, upacara seperti ngaseuk, mipit, nganyaran dan ngalaksa merupakan kegiatan yang terpenting dan bermakna paling sakral. Oleh karena itu, para pelaksanaannya yang hanya oleh para wanita merupakan suatu kehormatan dan ketinggian derajat wanita Baduy disamping adat kesopanan karena berhubungan langsung dengan Nyi Pohaci.
Konsep Nyi Pohaci berkaitan erat dengan kegiatan perladangan (menanam padi) dan dianggap sebagai pembawa atau sumber kehidupan. Ritual bercocok tanam yang dilakukan masyarakat baduy merupakan suatu penghormatan atau peribatan kepada Nyi Pohaci yang telah memberikannya kehidupan, secara simbolik berupa padi. Ritual bercocok tanam dilaksanakan oleh wanita, seperti mengambil padi untuk bibit, menanam, memetik dan menumbuk padi untuk menjadi nasi. Rangkaian ritual ini menyiratkan proses penting yang dilalui wanita mulai dari perkawinan, mengandung, melahirkan, menyusui sampai membesarkan anak. Tanaman padi yang subur, mengisyaratkan bahwa masyarakat baduy harus merawat tanaman padi dengan sungguh-sungguh sebagai perwujudan penghormatannya kepada Nyi Pohaci. Hal ini sebagaimana dengan perempuan yang harus dihormati, dijunjung dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya, agar mendapatkan berkah yang berupa kesuburan tanaman padinya (rezeki).
Tantangan dan Masalah Suku Baduy: Upaya Mempertahankan Keberlangsungan Budaya dan Lingkungan Baduy
Diketahui bahwa, masyarakat Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat di mana adatnya melarang keras penggunaan listrik, teknologi dan alat komunikasi maupun lainnya. termasuk penggunaan bahan kimia pada kegiatan mandi maupun cuci pakaian, mereka menggunakan bahan alami. Untuk menggosok gigi mereka menggunakan sabut kelapa, untuk keramas menggunakan jeruk nipis, sedangkan membersihkan badan menggunakan batu sebab penggunaan sabun dilarang. Sementara uttuk mencuci peralatan makan dan masak (panci, seeng), piring dan tempat minum (dari bambu) cukup menggunakan abu dari hasil pembakaran. Sementara itu pada masyarakat Baduy Luar, pada prinsipnya adatnya melarang penggunaan listrik, teknologi dan alat komunikasi.
Namun, sedikit terjadi pergeseran, di mana sebagian kecil masyarakatnya menggunakan telepon seluler, dan penggunaan aki untuk kebutuhan energi. Pergeseran ini bukanlahbentuk toleransi adat, sebab jika terjadi razia (gabungan Baduy Dalam dan Baduy Luar), maka alat teknologi dan komunikasi tersebut dihancurkan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pergeseran ini didasarkan atas kebutuhan mereka untuk mengetahui dunia luar dan alat komunikasi sesama mereka. Disisi lain, hal ini terjadi karena pada lokasi-lokasi ada sinyal seluler yang masuk ke Baduy Luar.
Dari sini tergambar bahwa, pergeseran di Baduy Luar karena adanya kebutuhan dan adanya sarana pendukung (sinyal seluler). Hal ini menunjukkan kondisi yang cukup berbeda, walaupun pada dasarnya mereka tetap memahami bahwa menjaga lingkungan, Sungai dan hutan menjadi penting dalam kehidupan mereka. Begitu juga pada aspek pengobatan, Masyarakat Baduy Luar maupun Dalam ketika sakit maka pengobatan yang dipakai adalah secara tradisional dengan memanfaatkan tanaman-tanaman yang ada disekitarnya dengan pengetahuan yang sifatnya turun-temurun.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.