Berani Menjalani Proses Penderitaan demi Mencapai Kesuksesan dan Kebahagiaan Hakiki
Agama | 2022-01-09 21:33:38MESKIPUN berharga mahal, para kolektor dan orang-orang yang menyukai guci berbahan keramik selalu memburunya. Para penyukanya rata-rata tak mempersoalkan harga, apalagi jika suatu guci keramik kelihatan antik-cantik, dan mememancarkan aura estetika ketika dilihat.
Namun demikian, sangat sedikit sekali orang yang mau memperhatikan asal mula dibalik keindahan sebuah guci keramik. Sebelum menjadi bentuk yang indah, pada mulanya sebuah guci keramik merupakan tanah liat merah biasa, dianggap tak berharga.
Para pengrajin keramik mengolahnya dengan beberapa tahap. Tanah liat merah diluluh dicampur air sampai kalis atau agak menggumpal. Setelah itu, tanah dinjak-injak keras dan dibanting-banting agar menjadi adonan halus. Setelah melalui beberapa proses lainnya, barulah diolah sesuai dengan bentuk yang diinginkan.
Setelah bentuknya sesuai dengan keinginan, kemudian dijemur di bawah terik matahari sampai benar-benar kering. Proses pembuatan belum selesai, agar guci keramik tersebut benar-benar kuat, kemudian dilakukan proses pembakaran yang waktunya bukan sebentar, ada yang sampai berhari-hari.
Setelah dibakar, barulah keramik dipoles dengan lukisan warna-warni agar nampak indah. Sebelum diberi lukisan indah, guci-guci keramik tersebut diseleksi ulang, hanya guci keramik tanpa cacat yang bisa diberi lukisan, sementara guci yang cacat, dihancurkan.
Sebuah guci keramik harus melalui proses “penderitaan” panjang. Diluluh, dinjak-injak, dibanting-banting, dijemur dibawah terik matahari, dan dibakar berhari-hari. “Kesabaran” sang guci keramik melewati proses “penderitaan” ini menghasilkan sebuah keindahan yang berharga mahal.
Pelajaran yang bisa diambil dari pembuatan guci keramik tersebut adalah untuk meraih kesuksesan dalam bidang apapun, kita harus berani bersikap sabar dan melalui proses penderitaan. Jika kita memperhatikan dengan seksama, orang-orang yang sukses pada saat ini, pada umumnya adalah orang-orang yang berani bersikap sabar, berani masuk dan melewati proses penderitaan hidup.
Kita sudah lama memiliki pantun nasihat, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Ini merupakan pantun nasihat yang bagus. Tak ada kesuksesan dan kebahagiaan yang bisa diraih tanpa proses sakit dan penderitaan.
Dalam khazanah keilmuan, orang-orang yang menjadi ilmuwan dan ulama besar adalah orang-orang yang berani bersikap sabar, berani memasuki dan melewati proses penderitaan. Imam Bukhari rela menderita. Ia mengurangi kenikmatan makan dan tidur demi mempelajari ribuan hadits Nabi saw.
Ibnu Qayyim rela menderita, karena berbeda pendapat dengan penguasa, ia menderita hidup di penjara. Meskipun raganya dikurung di kegelapan ruang penjara, namun pemikirannya tetap berjalan sampai lahir ratusan karya tulis dari buah pemikirannya.
Demikian pula dengan Buya Hamka. Karena berani sabar, berani memasuki dan melewati proses penderitaan, ia menjadi sastrawan dan mufassir yang dikagumi. Salah satu karyanya yang terkenal sampai saat ini, Tafsir Al-Azhar. Tafsir tersebut ia tulis ketika ia menderita, hidup di dalam penjara akibat kritiknya terhadap konsep demokrasi terpimpin Soekarno.
Dalam dunia politik pun demikian. Para politisi yang berhasil menjadi pemimpin yang dihormati adalah mereka yang berani bersikap sabar dan berani memasuki serta melewati proses penderitaan. Hampir tak ada politisi sukses tanpa melalui proses penderitaan.
Namun demikian, pada saat ini proses menderita untuk mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan tergantikan dengan cara yang instan. Serba cepat dan kilat, malahan kalau bisa ingin seperti lampu Aladin, satu kali gosok, apa yang diinginkan sudah tercapai.
Dalam mencari ilmu, instan dan serba cepat sudah menjadi tradisi baru. SKS yang seharusnya merupakan kependekan dari Sistem Kredit Semester, dalam kenyataaannya malah menjadi Sistem Kebut Semalam, Sistem Kebut Sepekan, dan lain sebagainya.
Dalam pelajaran Matematika misalnya. Kayaknya sudah tak musim lagi memakai kertas untuk curat coret menghitung. Sekarang cukup membawa kalkulator, smartphone, atau laptop. Demikian pula untuk menterjemahkan bahasa asing, kini tidak perlu cape-cape membuka kamus. Cukup membawa smartphone, pijit-pijit, hitungan atau terjemahan seketika sudah jadi. Tak perlu cape-cape menulis ulang lagi, tinggal copy-paste, pindahkan ke komputer/laptop kemudian dicetak.
Untuk mendapatkan gelar pun sekarang begitu cepat. Seorang mahasiswa tak perlu lagi membawa buku-buku tebal yang memenuhi kantongnya, cukup bawa smartphone, tablet, atau laptop. E-book yang ada di gadget pun jarang dibaca per halaman apalagi sampai tamat.
Seorang mahasiswa cukup find and searching, cari dan baca halaman yang pentingnya saja. Kemudian copy-paste, pindahkan ke komputer/laptop, tinggal cetak. Jangan tanya soal kedalaman pemahaman, sebab yang terpenting adalah kecepatan menyelesaikan masa studi dan memperoleh gelar.
Dalam dunia ilmu agama pun tak jauh berbeda. Banyak orang yang berani memberikan fatwa, ceramah keagamaan secara instan, hanya bermodalkan membaca buku-buku terjemahan atau searching di google. Kemudian copy-paste, dan disampaikan kepada khalayak tanpa ada pengkajian terlebih dahulu.
Harus jujur diakui, sedikit jumlah para penceramah keagamaan, ustadz, mubaligh yang rajin kembali siap “menderita”, bersusah payah membuka dan mengkaji kembali lebih mendalam terhadap sumber keilmuan Islam yang kitab aslinya berbahasa Arab.
Dunia kepemimpinan pun sama. Kini banyak pemimpin yang tak memahami filosofi kepemimpinan. Ia menjadi pemimpin instan, tanpa melalui proses “penderitaan” sebagai calon pemimpin.
Money politics yang seharusnya menjadi hal tabu dilakukan seorang pemimpin, kini malah sering dilakukan seseorang yang haus dan tak sabar ingin segera duduk di kursi empuk kepemimpinan. Padahal, menjadi pemimpin itu penderitaan.
H. Agus Salim, pahlawan nasional kita pernah mengatakan, “hakikat memimpin adalah menderita”. Seorang pemimpin harus siap menderita memikirkan dan berjuang menyejahterakan rakyatnya. Pada saat ini yang terjadi adalah, jadilah Anda seorang pemimpin, maka Anda akan bahagia dengan berbagai jaminan penghasilan dan fasilitas yang memikat dan minim penderitaan.
Kesulitan dan penderitaan yang menimpa kita sebenarnya merupakan proses meluluh dan menyepuh diri agar benar-benar “mengkilat” dihiasi kedewasaan dan kesabaran. Orang-orang yang rela melewati penderitaan dan kesulitan adalah orang-orang yang sedang menabung kesuksesan dan kebahagiaan agar dapat bertahan lama bersemayam pada dirinya.
Sebaliknya orang-orang yang menginginkan meraih ilmu, gelar, jabatan, kebahagiaan, dan kesuksesan lainnya dengan cara mudah, instan, merupakan orang-orang yang sedang merelakan dirinya menjadi tempat persinggahan kebahagiaan dan kesuksesan semu, dan akan segera cepat berlalu.
Orang yang tiba-tiba mendapatkan kemudahan meraih kesuksesan dan kebahagiaan secara instan, tanpa mengalami penderitaan, pada umumnya kehidupan mereka berakhir dengan penderitaan. Sementara orang-orang yang mendapatkan kesulitan dan penderitaan ketika meraih kesuksesan dan kebahagiaan, pada umumnya kehidupan mereka berakhir dengan kebahagiaan.
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (Q. S. Al-Insyirah : 5-8)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.