Wajib atau Tidak? Polemik Qadha' Shalat bagi Orang Pingsan
Agama | 2024-01-04 18:56:25Shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang telah baligh. Shalat lima waktu sehari semalam menjadi rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan. Akan tetapi, terkadang ada saja halangan yang membuat seseorang tidak bisa menunaikan shalat tepat waktu. Misalnya tertidur terlalu pulas hingga shalat terlewatkan atau pingsan sehingga tidak sadarkan diri untuk beberapa saat. Apa yang harus dilakukan jika hal itu terjadi? Apakah shalat yang terlewatkan tersebut harus ditunaikan kembali atau tidak?
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila salah seorang dari kalian tertidur hingga tertinggal shalat, atau ia lengah dari shalat, maka hendaknya ia melakukan shalat tersebut ketika telah ingat.” (HR. Muslim). Sabda Rasulullah tersebut menunjukkan bahwa umat Islam yang lalai dari mengerjakan shalat karena tertidur atau sebab lainnya, tetap berkewajiban untuk mengqadha’ shalat yang tertinggal tersebut begitu ia sadar dan ingat.
Menurut jumhur ulama, hukumnya adalah wajib bagi orang yang tertidur pulas hingga melewatkan waktu shalat untuk mengqadha’ shalat tersebut. Apabila sengaja ditinggalkan tanpa uzur syar’i, maka berdosa besar dan wajib membayar kaffarat. Adapun orang yang tertidur lalu bangun spontan sebelum habis waktu shalat, maka wajib segera mengerjakan shalat sekalipun waktu shalat sudah berakhir saat ia bangun.
Sementara itu, terkait hukum mengqadha’ shalat bagi orang yang pingsan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa orang yang pingsan tidak wajib untuk melakukan qadha’ shalat. Menurut mereka, mengkiaskan orang yang pingsan dengan orang yang tidur itu merupakan kias yang tidak benar.
Karena orang yang tidur, bila dibangunkan, ia akan bangun dan sadar. Berbeda dengan orang yang pingsan. Ia tidak bisa membangunkan dirinya sendiri, pun tidak ada seorang pun yang bisa membangunkannya. Jadi ada perbedaan antara keduanya. Dengan adanya perbedaan tersebut, maka kiasnya pun menjadi tidak sah (tidak benar).
Pendapat ini didasarkan pada kaidah fikih yang menyatakan bahwa setiap kiasan yang tidak sepadan, hukumnya menjadi batal. Orang yang pingsan dianggap tidak sadarkan diri, tidak dapat mengendalikan dirinya, dan tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu, kewajiban shalat otomatis gugur darinya. Ia tidak berdosa karena meninggalkan shalat dalam kondisi pingsan.
Meski demikian, jumhur ulama lainnya berpendapat bahwa orang yang pingsan tetap wajib mengqadha’ shalat yang tertinggal selama masa pingsannya. Menurut mereka, kondisi pingsan yang dialami seseorang tidaklah berbeda dengan kondisi tertidur yang pulas. Keduanya sama-sama dalam keadaan tidak sadar sehingga tidak mampu menunaikan kewajiban shalat. Oleh karena itu, keduanya disamakan hukumnya, yaitu wajib mengqadha’ shalat yang tertinggal setelah sadar kembali.
Adanya perbedaan pendapat ini menunjukkan adanya keluasan dan keringanan dalam agama Islam. Bagi yang berpendapat qadha’ shalat tidak wajib bagi orang pingsan, hal itu merupakan keringanan baginya. Sementara bagi yang mewajibkan qadha’, itu bertujuan untuk berhati-hati dan mengambil jalan yang lebih utama demi membersihkan tanggung jawab kewajiban shalatnya.
Hanya saja sebagai bentuk kehati-hatian dan mengambil yang lebih utama, agar orang yang pingsan tersebut mengqadha’ shalatnya, sebagai bentuk melepaskan diri dari tanggungan kewajibannya. Kalaupun itu tidak menjadi hal yang wajib atasnya, namun hal tersebut menjadi amalan tathawwu’ (suka rela) di mana ia akan mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Demikian pembahasan singkat mengenai hukum qadha’ shalat bagi orang yang tertidur pulas atau pingsan sehingga tertinggal shalat fardhu. Semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang fleksibilitas syariat Islam dalam berbagai kondisi yang dialami manusia. Wallahu a’lam bisshawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.