Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dyasfitri Fatiha Rahma

Sastra Suara Cacat dan Derita: Potret Pembangunan Dalam Puisi Oleh Rendra

Sastra | Tuesday, 02 Jan 2024, 21:56 WIB
https://webadmin-ipusnas.perpusnas.go.id/ipusnas/publications/books/119578" />
sumber: https://webadmin-ipusnas.perpusnas.go.id/ipusnas/publications/books/119578

Siapa yang tak kenal dengan Rendra. Rendra atau dikenal juga dengan nama W.S. Rendra, sebagai tokoh penting di Indonesia yang selalu terkenang namanya dalam dunia sastra, banyak menyumbangkan karya-karyanya ke dalam khazanah sastra Indonesia. Seorang penyair dan sastrawan ini sering menciptakan karya-karya sastra yang menyuarakan problematika nyata yang ada di dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang juga disampaikannya di dalam salah satu buku kumpulan puisi miliknya, Potret Pembangunan Dalam Puisi. Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat dengan negara yang dianggap masih merupakan negara berkembang, banyak memiliki permasalahan yang tersebar dari segi sosial, budaya, politik, ekonomi hingga pendidikan. Potret Pembangunan Dalam Puisi seakan merangkum dan berusaha memperingatkan kepada dunia untuk memperhatikan keberadaan beberapa permasalahan tersebut, terutama terkait masalah sosial, pendidikan, dan politik.

Problematika Terkait Pendidikan

Rendra dalam beberapa puisinya pada Potret Pembangunan Dalam Puisi, mengangkat kecacatan dalam dunia pendidikan yang masih relevan hingga saat ini. Pendidikan memang pada dasarnya merupakan suatu hal yang utama untuk membentuk kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Pengetahuan yang diperoleh dari program pendidikan perlu diamalkan dalam rangka menciptakan ketertiban dan kebijaksanaan dalam bersikap. Namun, tampaknya hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Puisi “Sajak Seonggok Jagung” menangkap terkait permasalahan tersebut. Banyak siswa-siswi terpelajar yang ketika bersekolah dihadapkan pada teori dan materi. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak anak yang bukannya memahami dan berpikir kritis terhadap materi yang diajarkan, mereka justru hanya menghafalkan materi-materi yang diberikan. Ujian hanya kegiatan menyalin jawaban dari buku. Semua permasalahan yang disuguhkan diselesaikan dengan teori demi teori. Pada akhirnya, pembelajaran yang tidak menyentuh lingkungan masyarakat secara langsung seakan-akan membuat mereka merasa jauh dari kehidupan nyata.

“...Seonggok jagung di kamar

Tak akan menolong seorang pemuda

Yang pandangan hidupnya hanya dari buku,

dan tidak dari kehidupan

Yang tidak terlatih dalam metode

Dan hanya penuh hafalan kesimpulan

Yang hanya terlatih sebagai pemakai

Tetapi kurang latihan bebas berkarya

Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan ”

Puisi ini menjadi pertanyaan reflektif tentang apa yang salah pada kaum terpelajar di Indonesia. Memang, masih cukup banyak masyarakat yang tidak mengenal bangku pendidikan tinggi, namun tidak sedikit pula orang-orang yang pendidikannya hingga telah meraih kedudukan sarjana. Meskipun terukir fakta tersebut, perlu ditilik ulang mengapa hadir ungkapan yang beredar di kalangan masyarakat bahwa sarjana sekarang kurang ilmunya atau sarjana sekarang menurun kualitasnya. Hal inilah yang menjadi salah satu dari problematika yang perlu mendapat perhatian dari semua orang khususnya para pelajar dan mahasiswa.

Tak berhenti di situ, kritikan Renda juga diutarakannya melalui “Sajak Anak Muda”. Kali ini, Kritikan tidak hanya ditujukan pada masalah pendidikan namun juga pemerintahan. Puisi tersebut masih sangat relevan dengan masa kini, saat pendidikan hanya melatih anak-anak muda menjadi alat-alat yang siap digunakan untuk kepentingan industri. Mereka tidak benar-benar diajarkan tentang keadilan, dasar pendidikan yang dibentuk hanyalah kepatuhan. Kemudian ketika sudah turun ke lingkungan masyarakat, yang dilakukan hanya bekerja dan bekerja, menjadi alat birokrasi yang patuh terhadap segalanya. Maka tak heran apabila masih ada banyak kejahatan korupsi dan pengingkaran terhadap hukum yang merajalela, meskipun banyak sarjana dalam bidang tersebut yang berhasil diproduksi setiap tahunnya. Maka, Rendra melalui puisi tersebut mengajukan pertanyaan-pertanyaan retoris yang menekankan pada seruan untuk melahirkan perubahan. Kita jangan mau menjadi angkatan gagap yang masa bodoh dan diam saja terhadap kesalahan-kesalahan di depan mata.

Problematika Terkait Perekonomian

Permasalahan sosial-ekonomi yang sampai saat ini masih selalu berkutat dalam lapisan masyarakat kita utamanya adalah terkait kesenjangan ekonomi. Rendra mengangkat persoalan ini ke dalam beberapa puisinya yang salah satunya dalam puisi bertajuk “Orang-Orang Miskin”. Negara Indonesia yang dikenal dengan kekayaan alamnya yang berlimpah, pada kenyataannya, wujud kemakmuran belum bisa tersebar dengan adil kepada seluruh rakyat. Terjadi kemiskinan di sini dan di sana, kemiskinan kultural hingga kemiskinan struktural. Maka seperti yang puisi ini ungkapkan, “Jangan kamu bilang negara ini kaya, karena orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa”. Kemiskinan pada masyarakat menjadi persoalan yang tak dapat diabaikan. Tidak peduli betapa kita mencoba menutup mata atas kabar buruk tersebut, tak akan bisa dilakukan, karena keberadaan mereka yang selalu menghiasi tiap sudut jalanan akan terus membayang-bayangi sepanjang kita memandang.

Sementara itu, pada puisi “Sajak Pulau Bali”, Rendra mencoba menggambarkan kemiskinan dengan ironi dalam mencari nafkah. Indonesia memiliki begitu banyak pulau yang indah. Keindahan alam dan budayanya memiliki nilai-nilai luhur dan estetika yang tinggi yang tidak bisa dibandingkan dengan harga apapun. Namun sejak beberapa dekade terakhir, pulau-pulau yang menjadi harta karun bagi masyarakat lokal tersebut, seakan-akan dijual kepada turis asing sebagai objek pariwisata untuk menjadi sumber penghasilan. Kebudayaan dan kesenian yang sejak dahulu berkembang serta dianggap sakral oleh masyarakat sekitar, sekarang menjadi bahan tontonan hiburan biasa dan ladang industri. “Kebudayaan rakyat ternoda, digencet standar dagang internasional”, begitu yang diungkapkan. Rendra menyebut kemajuan yang dialami saat ini hanyalah kemajuan semu belaka. Kita kehilangan jati diri yang penuh nilai dan makna demi mengejar penghasilan dan pengakuan orang lain yang tak dikenal. Kenyataan tersebut menjadi suatu ironi yang perlu disadari agar masyarakat dapat lebih mempertimbangkan setiap pilihan yang dijalaninya.

Problematika Terkait Politik dan Kekuasaan

Rendra dalam Potret Pembangunan Dalam Puisi juga banyak menyinggung mengenai persoalan politik. Melalui sebuah puisi berjudul, “Sajak Pertemuan Mahasiswa”, Rendra mengungkapkan kebimbangannya pada kebijakan pemerintah. Selama ini, tidak sekali dua kali kebijakan hingga peraturan perundang-undangan ditetapkan oleh para penguasa negara dibungkus dengan kalimat bahwa peraturan yang dibentuk membawa maksud yang baik. Namun, dibalik pernyataan tersebut, masih ada rakyat yang merasakan ketidakadilan atas peraturan yang diciptakan. Ketidakadilan yang dirasakan berujung pada demonstrasi di depan gedung-gedung para penguasa. Demonstrasi yang kadang tidak sampai terdengar kepada para pembuat wewenang, sehingga hanya menjadi sebuah angin lalu. Maka, berulang kali makna tentang maksud baik dipertanyakan, “Lantas maksud baik Saudara untuk siapa?”. Rakyat semakin tertindas, oleh sikap beberapa penguasa negara yang diam-diam bertindak dengan mementingkan dirinya sendiri di atas kepentingan rakyat. Penggambaran akan realita rakyat yang berkebalikan dengan narasi ‘maksud baik’ yang diciptakan, diungkapkan pada sajak, “Tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya. Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota. Perkebunan yang luas, hanya menguntungkan segolongan kecil saja”.

Di atas segala kekacauan yang terjadi, para mahasiswa menjadi sebuah keberadaan yang penting untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. “Kita ini dididik untuk memihak yang mana. Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini, akan menjadi alat pembebasan, ataukah alat penindasan?”. Rendra mencoba membuat kita merenungkan bahwa kita tidak bisa hanya diam melihat kenyataan dan penderitaan yang ada di depan mata. Mahasiswa sebagai agen perubahan dan harapan rakyat, harus mampu bergerak dan berpihak pada sesuatu yang benar. Maka muncul pertanyaan reflektif, bahwa pendidikan yang diperoleh selama hidup mereka apakah akan bermanfaat pada kehidupan masyarakat, ataukah justru menyumbang pada aksi penindasan. Nasib dan perubahan ada di tangan orang-orang yang berkuasa. Mahasiswa sebagai golongan yang terpelajar, dianggap menyandang pendapat yang layak untuk di dengarkan. Karena itu, mahasiswa diharapkan dapat menjadi suatu perantara komunikasi antara rakyat dengan pemerintah dalam menyuarakan aspirasi rakyat untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

Topik-topik di atas menunjukkan bahwa beberapa puisi Rendra mengekspresikan suara realita pada masyarakat yang perlu didengarkan. Lewat keberadaan puisi dan sastra, berbagai permasalahan, kritikan, dan sindiran mulai dari aspek sosial hingga politik dapat disampaikan kepada publik dengan bahasa yang indah namun membekas di pikiran. Inilah seperti yang diungkapkan Rendra melalui salah satu sajaknya, “Inilah sajakku! Pamplet masa darurat. Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan”. Peran sastra tidak hanya sebatas sebuah seni yang dapat dinikmati sebagai hiburan, namun juga mampu menjadi media dalam menyampaikan pikiran dan permasalahan yang perlu mendapat perhatian. Rendra melalui antologi puisi Potret Pembangunan Dalam Puisi, mencurahkan segala perasaannya terkait berbagai masalah yang selama ini ada di tengah kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, para generasi penerus bangsa diharapkan dapat melakukan hal yang sama, yaitu memanfaatkan sastra untuk menyuarakan hal-hal penting yang selalu hadir namun seringkali terlupakan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image