Rohingya dan Palestina: Dua Tragedi Kemanusiaan, Dua Strategi Bertahan Hidup
Politik | 2024-01-02 07:40:06Pengungsi Rohingya dan rakyat Palestina sama-sama merupakan kelompok yang mengalami penderitaan akibat diusir paksa dari tanah kelahiran mereka. Namun jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya kedua kelompok ini menghadapi situasi yang cukup berbeda. Perbedaan situasi ini kemudian berdampak pada strategi perjuangan yang ditempuh oleh masing-masing kelompok.
Rohingya adalah minoritas Muslim di Myanmar yang selama beberapa dekade terakhir mengalami diskriminasi dan kekerasan oleh mayoritas Buddha di negara itu. Sejak 2017, serangan besar-besaran militer Myanmar terhadap desa-desa Rohingya di Rakhine State mengakibatkan ratusan ribu orang melarikan diri ke negara tetangga, terutama Bangladesh. Mereka hidup dalam kondisi memprihatinkan di kamp-kamp pengungsi.
Sementara rakyat Palestina, sejak 1948 telah kehilangan tanah air mereka akibat pendirian negara Israel. Sejak saat itu, jutaan orang Palestina hidup sebagai pengungsi, baik di Tepi Barat, Jalur Gaza, maupun berbagai negara di kawasan Timur Tengah. Mereka tetap gigih memperjuangkan hak atas tanah leluhur mereka yang kini menjadi wilayah Israel.
Meski sama-sama mengalami nasib tragis, sebenarnya pengungsi Rohingya dan rakyat Palestina menghadapi situasi yang cukup berbeda. Perbedaan situasi inilah yang kemudian membentuk strategi perjuangan yang berbeda pula di antara kedua kelompok ini.
Pertama, rakyat Palestina mendapatkan dukungan internasional yang jauh lebih besar dibandingkan Rohingya dalam memperjuangkan nasib mereka. Setiap tahun, mayoritas anggota PBB mengecam kebijakan Israel dan mendukung hak rakyat Palestina atas tanah leluhurnya. Sebaliknya, penderitaan etnis Rohingya kurang mendapat simpati dunia internasional, bahkan beberapa negara masih enggan menyebut mereka sebagai 'Rohingya'.
Kedua, kelompok bersenjata Palestina seperti Hamas dan Fatah secara militer lebih kuat dibandingkan Rohingya. Meski kalah mutlak dari Israel, mereka masih sanggup melakukan perlawanan seperti melalui roket dan aksi demonstrasi. Sementara Rohingya adalah minoritas kecil yang tidak memiliki kekuatan bersenjata untuk melawan tentara Myanmar yang jauh lebih superior.
Ketiga, orang Palestina merupakan mayoritas di wilayah Palestina. Ini membuat mereka lebih mudah mengorganisir perlawanan massa. Sebaliknya Rohingya hanyalah minoritas kecil di Myanmar yang sulit membangun kekuatan kolektif untuk memberontak. Mereka hidup tersebar dan terisolasi akibat segregasi selama beberapa dekade oleh pemerintah Myanmar.
Keempat, banyak pengungsi Rohingya dilanda trauma berat akibat brutalnya serangan militer Myanmar terhadap desa-desa mereka. Mereka hidup dalam ketakutan yang luar biasa, khawatir pembalasan serupa atau lebih buruk akan terjadi jika mereka memberontak. Sementara rakyat Palestina, meski mengalami tragedi kemanusiaan, tetap gigih bangkit karena tekad nasionalisme yang tinggi.
Kelima, banyak pengungsi Rohingya sudah kehilangan harapan untuk kembali ke Myanmar. Mereka lebih memilih untuk memulai hidup baru yang lebih baik dan aman di negara ketiga yang bersedia memberi suaka. Sebaliknya bagi sebagian besar rakyat Palestina, perjuangan pembebasan tanah air adalah suatu keniscayaan, meski prosesnya amat panjang dan berliku.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan situasi ini, wajar jika strategi perjuangan Rohingya dan rakyat Palestina berbeda. Diplomasi dan upaya mencari suaka di negara ketiga menjadi pilihan logis bagi sebagian besar pengungsi Rohingya saat ini. Hal ini terlihat dari banyaknya pengungsi Rohingya yang berusaha mencari perlindungan ke negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia melalui jalur darat maupun laut.
Di sisi lain, banyak pula upaya diplomasi yang digencarkan oleh para aktivis Rohingya di berbagai forum internasional. Mereka berusaha menarik simpati dan dukungan masyarakat internasional agar tekanan politik dan sanksi diberlakukan terhadap Myanmar. Meski belum membuahkan hasil signifikan, upaya diplomasi ini tetap menjadi salah satu harapan pengungsi Rohingya untuk mendapatkan pengakuan dan perlakuan yang lebih adil dari pemerintah Myanmar.
Sementara bagi rakyat Palestina, perlawanan secara militer dan diplomasi global tetap menjadi pilihan utama dalam memperjuangkan nasib mereka. Berbagai kelompok perlawanan seperti Hamas dan Fatah tetap konsisten melakukan perlawanan bersenjata melawan Israel. Sementara di tingkat global, diplomat Palestina aktif menggalang dukungan negara-negara dan simpati masyarakat internasional untuk memberikan tekanan pada Israel.
Kombinasi perlawanan militer dan diplomasi global ini dipandang sebagai satu-satunya cara efektif untuk memperjuangkan hak rakyat Palestina atas tanah leluhurnya. Karena itu, strategi ini akan terus digunakan hingga tercapai kemerdekaan Palestina yang sesungguhnya dari pendudukan Israel.
Kedua kelompok ini sama-sama layak mendapatkan keadilan dan hak asasi manusia. Dunia internasional semestinya memberikan perhatian dan dukungan yang setara, tanpa harus memihak kepada salah satunya. Pengakuan penderitaan masa lalu dan hak atas tanah leluhur merupakan bentuk keadilan mendasar yang pantas diperjuangkan, baik oleh pengungsi Rohingya maupun rakyat Palestina.
Sayangnya pada kenyataannya, dukungan dunia internasional terhadap perjuangan Palestina dan Rohingya sangat timpang. Palestina mendapat perhatian dan simpati global jauh lebih besar dibandingkan tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Setiap tahun, mayoritas negara anggota PBB mengecam kebijakan Israel terhadap Palestina. Sementara penderitaan Rohingya masih dianggap sebagai masalah internal Myanmar.
Ketimpangan dukungan ini perlu diakhiri. PBB dan negara-negara besar harus memberikan tekanan yang seimbang kepada pemerintah Israel dan Myanmar untuk mengakhiri pendudukan dan penindasan terhadap rakyat Palestina dan etnis Rohingya. Bantuan kemanusiaan yang memadai juga harus mengalir deras baik ke Jalur Gaza maupun kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Lebih dari itu, pengakuan atas hak rakyat Palestina dan Rohingya atas tanah leluhur mereka perlu terus digaungkan. Resolusi PBB yang mengecam Israel maupun yang mendukung kemerdekaan Palestina perlu diimbangi dengan resolusi serupa untuk mendesak junta militer Myanmar mengakhiri kekerasan dan memulangkan kembali para pengungsi Rohingya dengan aman ke kampung halaman mereka. Hanya dengan langkah tegas inilah, harapan keadilan bagi Rohingya dan Palestina dapat terwujud.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.