Eufonia Makna dalam Sajak Hang Tuah: Penggambaran Perjuangan Pahlawan Melalui Kata-kata Indah Amir H
Sastra | 2023-12-31 12:53:59Amir Hamzah dengan kepiawaiannya mampu menyusun keterpautan kata yang satu dengan yang lain dalam eufoni yang indah mampu membentuk imaji visual sebagai sarana pengonkretan makna. Pengonkretan makna akan membentuk jalinan cerita yang akan mengungkap karakter tokoh secara bulat. Hal tersebut nampaknya dilakukan dalam penciptaan sajaknya yang berjudul “Hang Tuah”
Bayu berpuput alun digulung
Banyu direbut buih dibubung.
Selat Malaka ombaknya memecah
Pukul-memukul, belah membelah.
Impresi pertama yang muncul adalah puisi yang didominasi dengan unsur kelautan. Gambaran alam ini merupakan kebudayaan yang membentuk sosok Hang Tuah yang berkelana jauh dari kampung halamannya melalui lautan bersama teman sepermainannya mereka berlima pergi tidak terlalu jauh dengan perahu kecil. Pada saat sudah cukup umur, mereka merantau ke Majapahit yang merupakan salah satu kerajaan terbesar di Indonesia yang mampu menyatukan Nusantara untuk menuntut ilmu. Obsesi Hang Tuah tentang penguasaan atas kelautan sudah ada sejak mereka masih di Malaka.
Bahtera ditepuk buritan dilanda
Penjajah dihantuk haluan ditunda
Pemilihan kata ditepuk lazim digunakan oleh seseorang kepada sahabatnya. Pemanfaatan majas personifikasi mengungkapkan laut yang mampu menepuk bahtera dan menghantuk penjajah sekaligus permainan bunyi pada kata tepuk, landa, hantuk, dan tunda. Gelombang yang kuat di Selat Malaka menjadi simbol perlawanan Malaka terhadap penjajah Portugis.
Camar terbang riuh suara
Alkamar hilang menyelam segera.
Armada Perenggi lari bersusun
Melaka negeri hendak diruntun.
Galyas dan pusta tinggi dan kukuh
Pantas dan angkara ranggi dan angkuh.
Dahsyatnya iring-iringan kapal perang Portugis yang tinggi dan kokoh ingin meluluhlantakkan Melaka. Bukan hanya laut Selat Malaka yang bergolak dan bergemuruh melainkan juga burung camar dan ikan alkamar yang mana keduanya merupakan satwa yang biasanya riang dalam gulungan ombak. Penyebutan galyas dan pusta yang merupakan bahasa Portugis mengisyaratkan bahwa benda asing telah masuk dan merusak adat dan tatanan tradisi Melayu. Amir Hamzah melalui kepiawaiannya memilih kata-kata bersusun, hendak diruntun, tinggi dan kukuh, dan angkara ranggi dan angkuh dalam menggambarkan kekuatan armada kapal Portugis.
Melaka! Laksana kehilangan bapa
Randa! Sibuk mencari cendera mata!
Ayah entah pergi kemana sedangkan ibu asyik berbelanja. Dapat dibayangkan kekacauan yang terjadi dalam suasana “rumah” Melaka tanpa adanya kendali dari orang tua.
“Hang Tuah! Hang Tuah! Di mana dia
Panggilkan aku kesuma Parwira”
Kedudukan Hang Tuah sebagai tokoh penting sebab namanya disebutkan tiga kali sekaligus julukannya sebagai kesuma Perwira.
Tuanku, Sultan Melaka, Maharaja Bintan!
Dengarkan kata bentara Kanan.
“Tun Tuah, di Majapahit nama termasyhur
Badannya sakit rasakan hancur!”
Pada bait ini, terjadi paradoks yang menyatakan ketidakberdayaan Hang Tuah, meskipun sebagai khalifatul Allah, dia juga rentan terhadap penyakit parah, menunjukkan bahwa hukum alam juga berlaku bagi dirinya sebagai manusia.
Wah, alahlah rupanya Negara Melaka
Karena laksamana ditimpa mara.
Kepemimpinan seolah putus sebab mundurnya Hang Tuah dari pemerintahan.
Tetapi engkau wahai Kesturi
Kujadikan suluh, mampukah diri?
Meski dilanda keraguan, tak ada pilihan lain bagi Raja Melaka selain mengangkat panglima lain sebagai ganti Hang Tuah yakni Hang Kesturi.
Hujan rintik membasahi bumi
Guruh mendayu menyedihkan hati.
Kabar bahwa kejayaan negeri Melaka telah pudar disampaikan alam melalui tangisan gemuruhnya yang dahsyat menggelegar sebagai tanda kesedihan. Melalui majas personifikasi hal tersebut digambarkan oleh Amir Hamzah.
Keluarlah suluh menyusun pantai
Angkatan Portugal hajat diintai.
Cucuk diserang ditikam seligi
Sauh terbang dilempari sekali.
Lela dipasang gemuruh suara
Rasakan terbang ruh dan nyawa.
Suluh Melaka jumlahnya kecil
Undur segera mana yang tampil.
Perahu kecil milik armada Melaka menjadi bulan-bulanan armada Portugis yang perkasa menyebabkan satu persatu armada Melaka habis ditelan gelombang.
“Tuanku, armada Peringgi sudahlah dekat
Kita keluar denganlah cepat.
Hang Tuah coba lihati
Apakah ‘afiat rasanya diri?
Laksamana, Hang Tuah mendengar berita
Armada Peringgi duduk di kuala.
Mintak dirikan dengan segera
Hendak berjalan ke hadapan raja.
Hang Tuah melalui kecintaannya kepada raja memberikan kekuatan baru untuk menghadap raja.
Negeri Melaka hidup kembali
Bukankah itu laksamana sendiri.
Sebagai bagian dari Melaka Hang Tuah menyatu dengan citra Melaka secara keseluruhan. Melaka adalah Hang Tuah, pun sebaliknya.
Laksamana, cahaya Melaka, bunga Pahlawan
Kemala setia marahlah Tuan.
Tuanku, jadikan patik tolak bala
Turunkan angkatan dengan segera.
Tolak bala dapat diartikan sebagai jimat yang diyakini sebagai alat untuk melawan marabahaya. Hang Tuah merelakan dirinya menjadi tumbal untuk raja dan rakyatnya. Ia maju ke medan perang dengan begitu berani dan gagah.
Genderang perang disuruhnya palu
Memanggil imbang iramanya tentu.
Keluarlah Laksamana mahkota ratu
Tinggalah Melaka di dalam ragu
Kondisi Hang Tuah yang lusuh tidak membuat ragu Melaka untuk menang dalam medan perang.
Marya! Marya! Tempik Peringgi
Lela pun meletup berganti-ganti.
Terang cuaca berganti kelam
Bujang Melaka menjadi geram.
Meriam armada Portugis membuat cuaca siang berubah menjadi malam. Semangat Hang Tuah semakin membara.
Galyas dilanda pusta dirampat
Sabas Melaka sukma di Selat!
Amuk-beramuk buru-memburu
Tusuk-menusuk laru-melaru.
Lela rentaka berputar-putar
Cahya senjata bersinar-sinar.
Laksamana mengamuk di atas pusta
Yu menyambar umpamanya nyata...
Hijau segara bertukar warna
Sinau senjata pengantar nyawa
Hang Tuah empat berkawan S
erangannya hebat tiada tertahan.
Hang Tuah mampu menggetarkan musuh. Bagaikan burung camar, Ia menyambar dan menusukkan senjata kepada musuh. Laut menjadi merah warna darah. Kemenangan mulai nampak namun kekuatan armada Portugis bagai gelombang yang susul-menyusul, semakin lama semakin besar.
Cucuk Peringgi menarik layar
Induk dicari tempat berhindar.
Angkatan besar maju segera
Mendapatkan payar ratu Melaka.
Perang ramai berlipat ganda
Pencalang berai tempat ke segala.
Hang Tuah gugur sebagai kusuma bangsa.
Dang Gubernur memasang lela
Umpama guntur di terang cuaca
Peluru terbang menuju bahtera
Laksamana dijulang ke dalam segara.
Hang Tuah kembali ke laut sesuai dengan gelarnya sebagai laksamana laut. Kematian Hang Tuah dalam konteks pembelaan terhadap negara merupakan suatu kehormatan. Tiada yang bisa menandingi kepahlawanannya. Sultan Melaka tak berdaya tanpa Hang Tuah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.