Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nada Nurina

Bersatu Melawan Kekerasan di Sekolah: Peran Orang Tua, Guru, dan Masyarakat

Edukasi | Sunday, 31 Dec 2023, 05:50 WIB
say no to bullying

Kekerasan yang terjadi di sekolah sudah semakin marak terjadi. Pada tahun 2023, banyak kasus kekerasan yang muncul di berbagai sosial media. Bukan hanya tahun ini saja, sejak tahun-tahun sebelumnya kasus kekerasan yang terjadi di sekolah memang sudah sering terjadi. mungkin karena sekarang sudah banyak orang yang membuka mata mengenai kasus kekerasan di sekolah sehingga banyak kasus-kasus yang muncul di sosial media untuk mendapatkan keadilan. Banyak kasus kekerasan yang sudah lama terjadi namun baru terungkap setelah korban mengalami trauma berat ataupun baru memiliki keberanian untuk mengungkapkan.

KPAI mengungkapkan sebanyak 2.355 kasus kekerasan di sekolah yang terjadi pada tahun 2023. Kasus yang semakin naik dari tahun-tahun sebelumnya menimbulkan kekhawatiran untuk masa depan dunia pendidikan di Indonesia. Kasus yang semakin meningkat harus diberikan alarm bagi pemerintah untuk mencari solusi agar angka kasus kekerasan tidak semakin meningkat. Walaupun sebenarnya, kekerasan itu sendiri terjadi dikarenakan banyak anak-anak yang terpengaruh oleh sosial media dan pergaulan bebas. Selain pemerintah, peran orang tua juga sangat penting dalam mendidik anak dan memberikan arahan tentang bahayanya pergaulan bebas.

Sebagai contoh, kasus yang terjadi di Lamongan yang belum lama ini terjadi. Dalam kasus tersebut, seorang siswa menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh tujuh siswa MTs di Lamongan. Korban dari kekerasan itu mengalami kecacatan sehingga tidak bisa berjalan seperti biasanya. Selain itu, siswa mungkin juga merasa trauma secara psikis akibat kekerasan yang pernah dia rasakan. Dampak-dampak itulah yang menyebabkan trauma mendalam untuk korban sehingga butuh pertolongan dan dukungan langsung dari orang-orang terdekatnya.

Dari kasus tersebut, ada beberapa pertanyaan yang ingin ditanyakan kepada para pelaku. Mengapa mereka melakukan hal tersebut hingga menyebabkan kecacatan? Apakah dengan melakukan tersebut mereka menganggap diri mereka keren? Pertanyaan yang ditanyakan tersebut juga pasti menjadi tanda tanya untuk para orang tua korban. Mereka tidak terima kalau anak mereka harus menjadi korban dari “kejahilan”para pelaku.

Jika diusut lebih lanjut, banyak pelaku kekerasan yang melakukan hal-hal tersebut atas dasar “bercanda” semata. Mereka hanya menganggap apa yang mereka lakukan adalah sebuah percandaan antara teman. Namun, hal tersebut berbeda dengan korban. Korban pasti akan berpikir kalau dirinya hanya dipermainkan dan menjadi “alat” kesenangan mereka saja tanpa tau apa dampak dari si korban. Walaupun korban melawan sedikitpun, tidak jarang pelaku malah melakukan yang “lebih” kepada korban.

Pada tahun 2023 sudah lebih dari 20 korban meninggal akibat kekerasan di sekolah. Angka tersebut sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan. korban yang meninggal akibat kekerasan biasanya telah mengalami kekerasan secara fisik. Namun, ada kasus di mana korban sampai menghilangkan nyawanya karena terus di ejek akibat tidak memiliki ayah. Kita yang mendengar pasti merasa bingung, mengapa anak tersebut harus diejek hanya karena dia tidak memiliki ayah? Apa salah anak tersebut sehingga harus menerima ejekan-ejekan tersebut? Memang jika di tanyakan lebih jelas kita juga tidak memahami alasan apa anak tersebut sampai harus diejek dan memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Korban kekerasan yang terus bertambah amat sangat memprihatinkan. Tahun ini seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, korban yang mengalami kasus kekerasan semakin bertambah banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya apa alasan pelaku melakukan hal-hal tersebut? Apa memang mereka hanya menganggap sebagai “bercanda” saja? Atau memang mereka ingin dianggap lebih keren dengan melakukan hal-hal tersebut? Apakah ada alasan lain para pelaku melakukan hal-hal tersebut?

Dalam segi psikologi, pelaku kekerasan biasanya melakukan hal-hal tersebut karena rasa iri, dendam, dan keinginan untuk terlihat lebih menonjol dari yang lain. Rasa iri yang tidak bisa mereka hilangkan dan rasa dendam yang semakin tinggi menyebkan para pelaku kekerasan melakukan hal-hal tersebut. Terkadang permusuhan antar teman juga menjadi penyebab kekerasan di sekolah terjadi. Namun, alasan-alasan tersebut tetap tidak bisa di terima karena apa yang mereka lakukan adalah hal yang sangat buruk. Mungkin mereka tidak akan mengira kalau apa yang mereka lakukan akan berdampak kepada kecacatan bahkan sampai kehilangan nyawa. Mereka tetap pada pemikiran kalau mereka melakukan hal tersebut dengan alasan “bercanda” saja.

Dari banyaknya kasus yang terungkap, masih banyak kasus yang belum mendapat keadilan untuk korban. Banyak kasus kekerasan yang diselesaikan dengan jalur damai Padahal korban ingin meminta keadilan untuk pelaku. Banyak pelaku yang menggunakan “kekuasaan” agar kasus tersebut lebih mudah selesai dan tidak perlu sampai kepada pihak berwajib. Banyak pula kasus di mana orang tua pelaku malah membela anaknya dengan dalih “masih kecil” atau “hanya bercanda saja”. Hal-hal tersebut yang membuat korban kekerasan lebih memilih diam atau meminta bantuan lewat media sosial untuk mendapat keadilan mereka sendiri. Seharusnya memang sudah sepantasnya pelaku diberikan hukuman setimpal dan bukan malah dilindungi oleh orang tua maupun sekolah.

Kasus kekerasan yang sudah muncul di sosial media biasanya langsung mendapatkan simpati dari banyak orang. Banyak yang turut prihatin dan ingin membantu korban dari segi hukum ataupun bantuan dalam hal psikis. Namun, apakah pernah terpikirkan mengapa korban harus sampai mengekspos kasus tersebut ke media sosial? Mengapa mereka tidak melapor kepada sekolah atau pihak berwajib? Nyatanya banyak kasus kekerasan yang tidak mendapat perlindungan dari sekolah ataupun pihak berwajib. Banyak kasus-kasus yang masih butuh pertolongan hukum ataupun massa untuk mendapatkan keadilan. Selain itu, banyak pula korban yang membutuhkan dukungan psikis agar rasa trauma bisa perlahan menghilang. Walau nyatanya rasa trauma yang sudah tertanam di dalam diri sulit untuk hilang dan akan selamanya teringat. Oleh karena itu, dukungan dalam segi psikis sangat dibutuhkan korban kekerasan.

Selain dukungan psikis, dukungan lainnya juga sangat dibutuhkan oleh korban. Terkadang banyak korban yang takut untuk bertemu dengan banyak orang atau bahkan terlalu takut untuk berinteraksi. Dalam hal itu, peran orang tua dan lingkungan sekolah harus memberikan dukungan penuh kepada korban. Walaupun mungkin korban berpikir kalau harus pindah dari sekolah lama agar tidak terus teringat selama menimba ilmu nantinya. Peran orang tua dalam memilih sekolah yang terbaik dan dukungan kepada sang anak juga sangat dibutuhkan. Pada masa-masa tersebut orang terdekatlah yang membantu agar bisa bangkit dan melanjutkan hidup. Orang tua harus terus mendampingi setiap pengobatan ataupun hal lainnya. Selain itu, Orang tua juga harus lebih peka terhadap sikap anak yang mungkin berubah secara tiba-tiba. biasanya anak yang mengalami kekerasan akan lebih pendiam dan tidak menunjukkan perasaannya.

Penyebaran sosial media yang sangat cepat membantu para korban untuk mendapatkan keadilan yang setimpal. Kasus-kasus yang banyak muncul di sosial media hingga diliput dalam berita membuat korban mendapatkan dukungan penuh. Selain itu, dengan diliput melalui berita nasional para pelaku dapat segera ditangani oleh pihak berwajib dan mendapatkan hukuman yang sesuai. Hal ini membuktikan bahwa selain mencari informasi, sosial media juga dapat menjadi suatu media yang membantu hal-hal tentang kemanusian ataupun lainnya. Penyebaran kasus kekerasan yang di sebar membuat setiap korban kekerasan merasa banyak yang memberikan dukungan penuh kepada mereka dan mendoakan mereka semua. Kita harus terus menggunakan sosial media untuk hal-hal positif dan memberikan dukungan kepada para korban kekerasan yang berani untuk mengungkapkan hal tersebut. kita juga harus mendesak pihak berwajib dan pemerintah agar setiap korban bisa mendapat keadilan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image