Ingatan Hamka untuk Seorang Zainuddin Labay, Penolak Subsidi Pemerintah Belanda
Sejarah | 2023-12-24 21:34:05Labay demikian panggilan akrabnya adalah guru Sumatra Thawalib Padang Panjang yang paling dihormati, sejak dia diangkat sampai akhir hayatnya. Padahal, ia hanya menikmati pendidikan surau di Sumatera Barat, dan tidak pernah berguru ke Mekah atau pun ke Kairo.
Ia terlahir sebagai anak pertama dari pasangan Syekh Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafi'ah. Labay dilahirkan di Bukit Surungan Padang Panjang pada tahun 1890 (Bruinssen, 1992).
Ayahnya adalah seorang qadhi di Nagari Pandai Sikek, sekaligus ulama tarekat Naqsyabandiyah. Kakak kandung Rahmah el Yunusiah (1900-1969), Labay, memiliki kisah pendidikan yang unik.
Strata pendidikannya, dimulai ketika menginjak usia 8 tahun. Karena ayahnya seorang yang terpandang, ia pun disekolahkan di Holland Inlandsche School (HIS) Padang Panjang. Labay hanya bertahan sampai kelas 4 saja. Sebabnya, ia terus bersilang pendapat dengan guru-gurunya karena ketiadaan pelajaran agama.
Lantas, ia pun memilih untuk berguru pada ayahnya dan belajar secara autodidak. Hanya dua tahun belajar intensif dengan ayahnya, Syekh Muhammad Yunus wafat pada tahun 1904.
Labay yang berusia 14 tahun, benar-benar terguncang dan beralih menjadi parewa–sebutan bagi anak muda di Minangkabau yang suka pergi hilir-mudik, suka berpetualang, dan biasanya punya kemampuan ilmu silat.
Enam tahun berselang, tepatnya tahun 1910 Zainuddin Labay diizinkan oleh ibunya untuk mendalami Islam dengan Haji Abdullah Ahmad di Padang (Musri, 2008). Periode berikutnya, ia kembali mengaji pada Syekh Abdullah Abbas di Darul Funun Padang Japang (1911-1913).
Setelah menyelesaikan kajinya, ia menuntut ilmu pada Haji Abdul Karim Amrullah (1914) di Surau Jemabatan Besi. Karena kemampuan intelegensia yang tinggi, Haji Rasul meminta Labay ikut membantunya berdakwah di Sumatra Thawalib.
Setahun setelah menamatkan kajinya, pada 10 Oktober 1915 Labay merintis Al-Madrasatu Diniyah atau Diniyah School. Labay memang terinspirasi dengan sistem pendidikan Adabiah School, hingga ia membuat konsep sistem pendidikan sendiri, yang berbeda sama sekali dengan surau, yakni sistem klasikal.
Sistem ini memakai bangku, meja, dan guru mengajar di depan kelas dengan papan tulis. Konsep ini terbilang baru. Haji Rasul sendiri belum menemukan metode pendidikan yang tepat untuk Surau Jembatan Besi.
Cara belajarnya yang autodidak, akhirnya membuktikan kualitas Labay. Pada tahun 1922 ia sudah menyebarkan sistem klasikal untuk 15 sekolah berbasis modernis di Sumatera Barat. Selain itu, ia menambahkan ilmu umum yang belum pernah ada dalam kurikulum berbasis surau, seperti mata pelajaran sejarah, bahasa Inggris, matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan, ilmu tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain.
Ketika Diniyah School resmi berdiri, ia pun membuka pendaftaran untuk murid perempuan. Kebijakannya mengundang cemoohan dari otoritas adat. Mereka beranggapan, perempuan tidak perlu diberi pendidikan, karena hanya akan kembali ke siklus sumur, dapur, dan kasur.
Meskipun, posisi perempuan dalam adat Minangkabau, pada masa itu diagungkan. Perempuan disimbolkan sebagai limpapeh rumah nan gadang dan akan menjadi pemilik harta pusaka yang diturunkan dalam matrilineal.
Murid perempuan Diniyah termasuk adik Labay, Rahmah el-Yunusiah tidak luput dari cemoohan. Di tengah perjalanan mereka sering disindir,”Manapula ada perempuan akan mengajar, akan jadi guru, mengepit buku, tidak ke dapur? Daripada mengepit buku, membuang waktu, akhirnya akan ke dapur juga.”. Meskipun suara nyinyir dan sindiran kerap terdengar, namun perempuan-perempuan Diniyah itu tidak surut langkahnya (Sufyan, 2021).
Hamka dalam Boekoe Peringatan 15 Tahoen Dinijjah Shool Poetri Padang Panjang menegaskan, dirinya adalah murid Diniyah School sejak 1916. Masa itu, usianya menginjak delapan tahun.
Lokasi pertama yang dipakai Diniyah adalah Mesjid Pasar Usang yang dibagi dalam dua kelas, sisi sebelah kiri untuk laki-laki, sedangkan perempuan berada di sisi sebelah kanan. Dan guru yang pertama mengajarinya adalah Haji Saleh, sedangkan untuk perempuan diajar Labay (Boekoe Peringatan 15 Tahoen Dinijjah Shool Poetri Padang Panjang. Padang Panjang: Dinijah School Poeteri, 1938).
Meskipun Haji Rasul adalah guru Labay, Hamka kecil segan dan takut bila bertemu di jalan raya, di Surau Jembatan Besi, ataupun tatkala Labay menuju ke kantor redaksi al-Moenir.
“Kami anak-anak sangat cinta kepada Beliau, tetapi sangat takut kalau bertemu di jalan raya, bila dia berjalan dari Jembatan Besi ke kantor al-Moenir, perjalanannya tetap, warna mukanya serupa orang marah saja.”. kenang Hamka dalam Boekoe Peringatan 15 Tahoen Dinijjah Shool Poetri Padang Panjang.
Wajah Labay yang serius akan berubah ceria, ketika sudah berkumpul dengan murid-murid, atau kawannya yang menuntut ilmu agama. Sehingga semua peserta yang berada dalam ruangan redaksi al-Munir al-Manar pun berderai gelak tawanya, karena Labay memang pandai bercanda.
Kelebihan Labay lainnya adalah lancar berbahasa Arab dan Inggris. Sehingga tidak mengherankan, bila Labay sering menulis buku pelajaran yang nantinya dipakai guru dan murid-murid Diniyah School, termasuk tiap-tiap sekolah modernis untuk kelas rendahan.
Ketika pemerintah Kolonial Belanda gencar memberi bantuan subsidi pendidikan, untuk sekolah-sekolah partikelir Islam, seperti yang pernah diterima Adabiah School. Pada tahun 1917, Labay diundang Asisten Residen Padang Panjang, agar bersedia menerima bantuan subsidi. Asisten Residen tentunya berharap, Diniyah School mau mengikuti aturan pemerintah. Namun, Labay tegas menolaknya.
Alasannya, logis. Ia tidak mau dikungkung dengan aturan-aturan yang mengikat dari pemerintah. Labay juga tidak ingin institusi pendidikan yang dirintisnya berada di bawah pengawasan dan tekanan dari penguasa. Penolakan ini tetap ia lakukan dan ia pesankan kepada adik kandungnya, yang bernama Rahmah El-Yunussiah.
Labay yang diharapkan menjadi penerus Kaum Muda itu wafat tahun 1924, ketika menginjak usia 34 tahun. Kabar wafatnya Labay memang memukul psikis Haji Rasul, sehingga berita ‘kemalangan’ itu disampaikan pada Hamka yang sedang berada di Sungai Batang Maninjau.
Haji Rasul menungkap kehilangannya atas orang yang berjasa besar dalam gerakan Islam reformis dan Sumatra Thawalib. “Moga-moga kematiannya hendaklah sebagai sebatang pisang yang ditebang, setelah diambil buahnya yang lezat, dikiri kanannya akan tumbuh anak-anak pisang yang lain, menyiarkan buah yang lezat pula.” Demikian tulis Haji Rasul dalam suratnya.
Fikrul Hanif Sufyan adalah periset, penulis, dan pengajar sejarah. Aktif menulis di Republika, Kompas, & Rakyat Merdeka. Tahun 2024 diundang untuk visting scholar di University of Melbourne Australia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.