Wabah Hedonisme di Kalangan Mahasiswa Masa Kini
Gaya Hidup | 2023-12-19 11:46:18Tahukah kamu? Semakin jelas terlihat sebuah tren yang mewarnai kehidupan mahasiswa gen z saat ini, yaitu dengan munculnya wabah ‘hedonisme’. Hal ini seakan menjadi pandemi tak terlihat yang merambah ke dalam kehidupan sehari-hari para mahasiswa di perguruan tinggi. Namun, hal apakah yang menjadi alasan dibalik semua perilaku negatif yang dilakukan para mahasiswa masa kini?
Gaya hidup hedonisme dapat diartikan sebagai pola hidup yang mengarahkan aktivitasnya terhadap kesenangan hidup. Umumnya, aktivitas tersebut berupa menghabiskan banyak waktu di luar rumah, senang membeli barang yang kurang diperlukan, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian (Susianto, 1993).
Sedangkan, menurut Sarlito Wirawan Sarwono (1989) Pengertian hedonisme adalah konsep diri, di mana gaya hidup seseorang dijalani sesuai dengan gambaran yang ada dipikirannya. Sebagai contoh pengertian hedonisme adalah seorang olahragawan, biasanya gaya hidup sehat merupakan prinsip hidup dan menjadi kesenangan tersendiri bagi mereka.
Menurut ahli dari aliran behavioris B.F. Skinner menuturkan bahwa semua perilaku dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan dan bukan oleh kekuatan internal. Perilaku hedonisme bisa saja terbentuk karena faktor eksternal dari lingkungan yang memainkan peran penting dalam memengaruhi keputusan atau respons terhadap suatu situasi yang terjadi.
Lalu, apakah yang menjadi faktor internal dalam terbentuknya kehidupan hedonisme pada mahasiswa masa kini?
A. Kelas Sosial
Mahasiswa dengan strata sosial tinggi terkadang memiliki prinsip hidup yaitu dengan menjalani sebebas-bebasnya kehidupan duniawi mereka demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dalam perjalanan mereka untuk memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas, mahasiswa dengan strata sosial tinggi terkadang cenderung merangkul gaya hidup hedonistik yang mengejar kesenangan secepat mungkin.
Fokus pada kepuasan seketika ini sering kali mengabaikan konsekuensi jangka panjang, seperti dampak negatif pada keseimbangan hidup, hubungan interpersonal, dan pencapaian jangka panjang. Terlebih lagi, orientasi ini juga dapat mengaburkan pentingnya membangun keterampilan hidup yang krusial, seperti pengelolaan keuangan, etika kerja, dan tanggung jawab sosial.
B. Referensi Media Sosial
Mahasiswa yang menganut gaya hidup hedonistik cenderung mencontoh perilaku dari media sosial, terutama dari influencer Instagram yang sering kali memperlihatkan gaya hidup glamor dan kemewahan diri mereka. Influencer sering membagikan momen-momen yang terlihat menyenangkan, mewah, dan bebas dari kekhawatiran.
Mahasiswa yang tertarik pada hedonisme mungkin merasa tertarik untuk meniru gaya hidup ini dan berharap mendapatkan pengalaman serupa. Influencer sendiri memiliki pengaruh besar dalam membentuk pandangan diri dan popularitas dikalangan mahasiswa. Mahasiswa yang hidup secara hedonistik mungkin melihat influencer sebagai simbol keberhasilan, kecantikan, dan kesenangan. Dengan meniru gaya hidup ini mungkin bisa menjadi salah satu cara mereka untuk meningkatkan citra diri dan meraih popularitas di kalangan teman-teman mahasiswa.
Selain itu Influencer sering mendapatkan pengakuan dan popularitas berkat gaya hidup mereka yang terlihat menarik. Mahasiswa yang menganut hedonisme mungkin percaya bahwa dengan meniru gaya hidup tersebut, mereka dapat mencapai prestasi dan pengakuan serupa.
C. Shopping Addiction
Mahasiswa yang menganut gaya hidup hedonistik sering kali cenderung mengembangkan sifat shopping addiction sebagai bentuk pelarian dari stres dan kecemasan.
Dalam situasi ini, berbelanja menjadi coping mechanism yang dipilih untuk meredakan tekanan hidup mereka. Berbelanja dianggap dapat memberikan kepuasan dan kesenangan segera. Mahasiswa yang merasa tertekan mungkin mencari pengalaman positif secara cepat, dan berbelanja untuk memberikan kepuasan instan yang dapat mengurangi stres sejenak.
Selain itu proses berbelanja dan memikirkan barang-barang baru dapat menjadi distraksi efektif dari masalah-masalah yang menyebabkan stres. Mahasiswa mungkin merasa bahwa fokus pada pembelian dan kepemilikan barang baru memberikan perasaan sementara untuk melupakan kecemasan atau tekanan yang sedang mereka alami.
Memiliki barang-barang baru atau mahal dapat memberikan kenyamanan psikologis bagi mahasiswa, terutama ketika mereka mengalami stres atau kecemasan. Barang-barang tersebut bisa dianggap sebagai bentuk "penghiburan" atau "hadiah" yang memberikan kelegaan. Mahasiswa yang hidup secara hedonistik mungkin memandang belanja sebagai cara untuk meningkatkan citra diri mereka. Pemilikan barang-barang mewah atau tren dapat memberikan perasaan prestise dan meningkatkan rasa diri, terlepas dari masalah stres yang mungkin ada.
D. FOMO (Fear Of Missing Out)
Ketakutan akan ketertinggalan akan suatu hal merupakan salah satu faktor dari sifat hedonisme yang seringkali terjadi pada mahasiswa. Mahasiswa hedonistik sering terpapar pada gaya hidup mewah, peristiwa sosial yang menarik, dan aktivitas seru melalui media sosial. Melihat teman-teman atau tokoh publik mengalami momen-momen seru ini dapat memicu mereka memiliki rasa FOMO.
Budaya pergaulan dan kompetisi sosial di kalangan mahasiswa juga dapat menciptakan tekanan untuk selalu terlibat dalam aktivitas sosial atau memiliki pengalaman yang unik dan sesuai tren.
Mahasiswa mungkin khawatir bahwa mereka akan ketinggalan momen-momen penting atau tren yang sedang terjadi sehingga mereka memiliki fokus yang berlebihan pada kesenangan dan pengalaman segera yang dapat membuat mahasiswa terlihat terlalu terlibat dalam berbagai kegiatan tanpa pertimbangan yang matang terhadap prioritas akademis atau tanggung jawab lainnya.
Selain itu mahasiswa hedonistik juga cenderung mencari pengalaman baru dan unik. Bisa saja rasa FOMO ini muncul ketika mereka merasa tidak dapat mengikuti semua kegiatan atau peristiwa yang dianggap menarik atau mengikuti trendi yang sedang berkembang pada teman sebaya masa kini.
Vania Rabiola Putri – Universitas Pembangunan Jaya
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.