Menelisik Alam Baduy, Sejarah, Kepercayaan, dan Adat Istiadat
Sejarah | 2023-12-13 15:23:50
Suku Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang terletak di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suku Baduy dibagi menjadi dua jenis, yaitu Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar yang keduanya memiliki keunikan tersendiri. Kehidupan masyarakat Suku Baduy menarik untuk dibahas terutama karena kemampuan mereka dalam mempertahankan warisan adat istiadat di tengah arus modernisasi yang kian meluas saat ini.
Asal Usul Suku Baduy
Asal usul nama “Baduy” sendiri hingga kini masih simpang siur dan banyak perdebatan. Ada beberapa teori mengenai asal usul nama Baduy. Pertama, nama “Baduy” diambil dari kata “Baduwi” yang diberikan oleh para peneliti Belanda terhadap masyarakat tersebut. Para peneliti dari Belanda menganggap bahwa suku ini memiliki kebiasaan yang hampir serupa dengan masyarakat Suku Bedouin di Jazirah Arab yang sering berpindah-pindah atau nomaden.
Kedua, versi lain dari asal-usul nama Baduy diambil oleh nama sungai di utara Desa Kenekes, yaitu Sungai Cibaduy. Oleh karena masyarakat tersebut tinggal di sekitar sungai, maka orang-orang luar menyebut mereka sebagai masyarakat Suku Baduy.
Akan tetapi, menariknya masyarakat tersebut tidak pernah menyebut dirinya sebagai Suku Baduy, melainkan sebagai Urang Kanekes alias Orang Kanekes. Ketiga, versi lain menyebutkan bahwa Suku Baduy adalah keturunan Kerajaan Padjajaran yang memilih untuk mengasingkan diri ke Pegunungan Kendeng di Banten Tengah pada abad ke-12.
Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam
Suku Baduy dibagi menjadi dua jenis, yaitu Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan diantara masyarakat Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Perbedaan antara Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar dapat diidentifikasi melalui perbedaan dalam tradisi dan norma adat yang dipegang teguh di dalam masing-masing kelompok tersebut.
Masyarakat Suku Baduy Dalam cenderung lebih mengisolasikan diri dari pengaruh luar. Mereka memegang erat konsep pikukuh, sebuah aturan adat yang intinya menekankan nilai-nilai yang mendukung keadaan tanpa perubahan apapun atau sesedikit mungkin. Dalam kehidupan sehari-hari, konsep ini diterapkan secara mutlak, menyebabkan penerapan pantangan yang ketat untuk memastikan keberlangsungan nilai-nilai dan tradisi mereka.
Sementara, Masyarakat Suku Baduy Luar umumnya lebih terbuka. Merka mulai membiasakan diri dengan adanya pengaruh luar, seperti penggunaan sabun dan barang-barang elektronik. Serta mengizinkan masyarakat lain diluar sukunya untuk berkunjung ke kampung mereka.
Beberapa kebiasaan antara Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam juga cukup berbeda. Masyarakat Suku Baduy Luar seringkali memakai pakaian serba hitam atau biru tua, sementara masyarakat Suku Baduy Dalam cenderung terbiasa memakai pakaian berwarna putih.
Penggunaan warna pakaian tersebut melambangkan makna tersendiri. Pakaian serba hitam atau biru tua masyarakat Baduy Luar melambangkan kesederhanaan, sementara pakaian berwarna putih masyarakat Baduy Dalam melambangkan kesucian masyarakat bahwa mereka masih berpegang teguh terhadap adat istiadat warisan nenek moyang dan menolak adanya pengaruh luar, seperti kehadiraan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
Lokasi tempat tinggal Suku Baduy Luar tersebar di 50 kampung wilayah Kaki Gunung Kendeng, sementara Suku Baduy Dalam tersebar di 3 kampung dan dipimpin oleh satu orang ketua adat yang dikenal dengan sebutan Pu’un. Kampung tersebut diantaranya Bernama Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Kepercayaan Suku Baduy
Masyarakat Suku Baduy menganut kepercayaan nenek moyang. Mereka memuja kekuatan alam dan ajaran nenek moyang terdahulu yang dikenal dengan sebutan Sunda Wiwitan.
Ada tiga alam dalam ajaran Sunda Wiwitan, dua diantaranya merupakan alam yang dihuni oleh manusia. Pertama disebut sebagai Alam Buana Nyungcung yang diyakini sebagai alam tempat bersemayam Sang Hyang Kersa.
Kedua disebut Alam Buana Panca Tengah yang merupakan alam tempat tinggal manusia yang masih hidup. Ketiga disebut sebagai Alam Buana Larang yang diyakini sebagai tempat orang-orang jahat disiksa setelah mereka meninggal dunia.
Meskipun Masyarakat Suku Baduy tidak menganut agama resmi dari pemerintah, mereka juga memiliki kitab, tempat peribadatan, dan lantunan doa-doa sebagaimana agama-agama resmi yang lain. Masyarakat Suku Baduy beribadah ke Pamunjungan yang berada di wilayah perbukitan.
Mereka melantunkan kidung atau nyanyian disertai dengan Gerakan tari-tarian. Sementara, kitab yang mereka pakai dikenal sebagai Kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Kitab ini berisi ajaran keagamaan, pedoman hidup, dan doa-doa agama Sunda Wiwitan yang telah dianut oleh nenek moyang mereka terdahulu sejak ratusan tahun yang lalu.
Adat Istiadat Suku Baduy
Masyarakat Suku Baduy memiliki beragam adat istiadat turun temurun dari nenek moyang mereka. Salah satu adat unik yang masih dijalankan oleh masyarakat, yaitu terkait perjodohan. Para orangtua dalam adat perjodohan Suku Baduy memberikan kuasa penuh pada pemimpin suku atau pu’un.
Pu’un ini nantinya yang akan mencarikan jodoh bagi para anak-anak mereka dengan menyesuaikan terhadap perhitungan-perhitungan tertentu untuk menghindari celaka. Suku Baduy juga memiliki adat terkait masa tanam dan masa panen.
Sama seperti adat perjodohan, adat ini juga mengharuskan untuk mengikuti serangkaian prosesi adat yang ditentukan oleh pu’un. Hasil bumi biasanya mereka persembahkan sebagai bentuk mengungkapkan rasa syukur terhadap nenek moyang.
Mereka percaya bahwa alam dan kekayaannya merupakan hadiah dari nenek moyang. Selain itu adat Suku Baduy tidak boleh sembarangan dalam membunuh hewan. Hewan hanya dipotong Ketika terdapat acara adat ataupun pesta pernikahan.
Sosial Ekonomi Suku Baduy
Mata pencaharian masyarakat Suku Baduy terbagi menjadi dua, yaitu mata pencaharian utama dan mata peencaharian sampingan. Mata pencaharian utama masyarakat Suku Baduy, yaitu sebagai petani di lahan kering atau disebut sebagai ngahuma. Adapun mata pencaharian sampingan Suku Baduy, di antaranya membuat kerajinan anyaman, menyadap nira, menenun kain khas Baduy, membuat gula aren, menjual madu, dan lain-lain.
Sistem pemerintahan di Suku Baduy digunakan untuk mengatur dan mengelola berbagai aspek kehidupan. Sistem pemerintahan ini terbagi atas dua aspek, yaitu sistem pemerintahan formal dan sistem pemerintahan informal.
Sistem pemerintahan formal Suku Baduy berlandaskan pada sistem pemerintahan yang ada di negara Republik Indonesia. Sementara sistem pemerintahan informal Suku Baduy berupa sistem pemerintahan adat kapuunan. Pemimpin adat tertinggi disebut pu’un yang menentukan hukum adat bagi masyarakat Suku Baduy.
Marliah, S. (n.d.). Mengenal Suku Baduy, Suku Asli Sunda yang Bersahabat dengan Alam. Gramedia.Com. Retrieved December 9, 2023, from https://www.gramedia.com/literasi/suku-baduy/
Muhid, H. K. (2022). Perbedaan Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar, Bagaimana Cirinya? Tempo.Co. https://nasional.tempo.co/read/1589980/perbedaan-suku-baduy-dalam-dan-baduy-luar-bagaimana-cirinya
Somantri, R. A. (2020). Kehidupan Masyarakat Baduy. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/kehidupan-masyarakat-baduy/
Vannisa. (2020). Suku Baduy. Perpustakaan.Id.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.