Darurat! Indonesia Perlu Disrupsi Pendidikan, Bukan Cuma Reformasi
Pendidikan dan Literasi | 2023-12-13 12:28:13Indonesia memang butuh revolusi dan disrupsi pada sektor pendidikan, bukan sekadar reformasi setengah hati. Benar adanya bahwa pendidikan merupakan tombak utama dalam kemajuan peradaban suatu bangsa. Namun, mirisnya Indonesia merupakan salah satu negara yang masih memiliki banyak pr dalam sektor pendidikannya. Salah satu data terbaru yang dirilis oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam asesmen kualitas pendidikan global yang dikenal sebagai Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan bahwa Indonesia naik 5 dan 6 peringkat untuk masing-masing subjek (literasi, numerasi, dan sains).
“Lho bagus dong?! Harus bangga nih sama pendidikan di Indonesia!”
Eitssss! Jangan seneng dulu. Meskipun keliatannya cukup keren nih ya, tetapi nyatanya kenaikan peringkat ini bukan berarti skor kemampuan membaca/literasi, numerasi, dan sains siswa Indonesia meningkat. Penilaian yang dilakukan pada tahun 2022 ini menunjukkan bahwa setidaknya siswa Indonesia mengalami penurunan sebesar 12 poin dari edisi PISA 2018, dengan skor rata-rata 359 poin, terpaut 117 poin dari skor rata-rata global di angka 476.
Selanjutnya pada subjek kemampuan numerasi atau matematika, skor rata-rata siswa Indonesia turun sebanyak 13 poin menjadi 366 dari edisi sebelumnya yakni 379 poin. Angka ini masih terpaut jauh dari rata-rata global, yakni selisih sebesar 106 poin. Sedangkan pada subjek sains, siswa Indonesia juga mengalami penurunan rata-rata sebesar 13 poin. Perolehan skor masih berada pada angka 383 untuk subjek ini, terpaut sekitar 102 poin dari skor rata-rata global.
OECD membagi kemampuan siswa ke dalam 6 tingkatan. Tingkat 2 dianggap sebagai standar kompetensi minimum yang harus dicapai siswa berusia 15 tahun yang sedang berada di akhir tahap pendidikan formal tingkat menengah pertama. Pada tingkat 2, siswa digolongkan memiliki kemampuan dasar untuk secara praktis menafsirkan teks sederhana, menggunakan algoritma perhitungan dasar, serta pengetahuan ilmiah sederhana.
Di Indonesia, persentase siswa yang telah mencapai setidaknya tingkat 2 pada tes kemampuan membaca adalah 25,46 persen, jauh di bawah rata-rata negara OECD sebesar 73,75 persen. Pada tes kemampuan matematika, persentasenya hanya 18,35 persen, terendah di antara ketiga subjek penilaian. Angka ini berjarak 50 persen di bawah rata-rata OECD sebesar 68,91 persen. Sementara persentase siswa yang telah mencapai tingkat 2 pada tes kemampuan sains menjadi yang tertinggi di antara mata tes lainnya dengan angka 34,16 persen. Namun, angka ini juga masih jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 75,51 persen.
“Waduh Kalau dilihat-lihat, parah banget dong kualitas pendidikan kita di Indonesia? ”
Yep, exactly! That’s why kita semua perlu untuk berbenah, saling bahu-membahu dan berkontribusi bersama dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, di era yang serba maju dengan teknologi, sektor pendidikan kita ternyata masih belum dapat memanfaatkan perkembangan ini secara optimal. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia di tahun 2021 menyatakan bahwa setidaknya sekitar 60% guru masih terbatas menguasai teknologi informasi. Kurikulum merdeka menuntut guru untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengajar, termasuk memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran. Guru benar-benar dituntut untuk melek teknologi informasi agar bisa menciptakan pembelajaran yang interaktif. Integrasi teknologi dalam kurikulum merdeka diperlukan agar pembelajaran lebih interaktif, fleksibel, dan berpusat pada siswa.
Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence sudah hadir di tengah-tengah kita, salah satu di antaranya adalah ChatGPT. AI dapat membantu guru melakukan penilaian hasil belajar siswa secara lebih objektif dan massif melalui analisis pola jawaban. AI juga dapat menghasilkan umpan balik pembelajaran yang adaptif sesuai kebutuhan individu siswa untuk mengatasi kesenjangan pemahaman materi. Selain itu, penerapan AI berpotensi mengurangi beban administrasi guru sehingga mereka dapat lebih fokus pada pengembangan metode mengajar yang inovatif dan interaktif.
Teknologi ini seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh tenaga pengajar atau guru dalam membuat pembelajaran yang lebih inovatif dan interaktif. Hal ini sangat diperlukan mengingat rendahnya kemampuan fundamental siswa Indonesia seperti literasi, numerasi, dan sains yang menjadi simbol buruk bagi kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Rendahnya kualitas pendidikan ini menjadi hambatan bagi Indonesia untuk menggapai berbagai target penting di masa mendatang, seperti tujuan nasional Indonesia Emas 2045 serta tujuan global Sustainable Development Goals 2030. Di mana berbagai target ini mengandung banyak substansi penting yang berkaitan dengan kemanusiaan hingga lingkungan hidup. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan dalam pendidikan menjadi keniscayaan untuk meningkatkan kualitas SDM sekaligus mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
“Pendidikan Mulu, Seberapa Besar Sih Korelasinya ke Pencapaian Target SDGs 2030?”
Melalui transformasi pendidikan yang berorientasi untuk meningkatkan kemampuan literasi, numerasi, dan sains pada siswa, diharapkan dapat melahirkan generasi yang lebih melek teknologi dan peduli terhadap isu lingkungan hidup. Kemampuan literasi dan sains yang semakin baik akan membuat siswa semakin mudah memahami dan mengembangkan berbagai inovasi yang ramah lingkungan. Penguasaan sains yang baik menjadi pondasi mereka untuk dapat mengindentifikasi masalah lingkungan, memahami dampaknya, dan merancang solusi yang inovatif berupa teknologi hijau. Beberapa penelitian menujukkan bahwa peningkatan kemampuan sains dan literasi berkorelasi positif dengan minat untuk mengembangkan dan mengadopsi teknologi ramah lingkungan.
Literasi yang baik, terutama literasi digital dan teknologi, akan memudahkan siswa dalam memahami konsep-konsep dasar sains dan rekayasa yang diperlukan untuk mengembangkan teknologi hijau. Sementara numerasi yang baik berperan dalam kemampuan mengolah data dan tren untuk identifikasi masalah serta pemodelan solusi teknologi hijau yang inovatif. Adapun penguasaan konsep sains yang kokoh, seperti biologi, kimia, fisika, akan menjadi bekal penting bagi siswa ketika merancang teknologi seperti panel surya, kendaraan listrik, atau material daur ulang. Dengan literasi, numerasi dan sains yang memadai, siswa Indonesia diharapkan dapat berinovasi menciptakan beragam teknologi hijau untuk mendukung industri dan infrastruktur yang berkelanjutan, sejalan dengan target SDGs nomor 9.
Sebagai contoh nyata, melalui pendidikan STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika), siswa Indonesia berpotensi menciptakan teknologi yang ramah lingkungan seperti energi terbarukan, transportasi listrik, atau sistem cerdas hemat energi. Inovasi-inovasi tersebut sangat penting dalam mendukung target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs yang terkait dengan energi bersih dan terjangkau serta tindakan mengatasi perubahan iklim.
“Kembali ke Laptop!”
Dengan demikian, penerapan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) pada sektor pendidikan menjadi solusi strategis untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar mampu mencapai berbagai target pembangunan nasional maupun global. Melalui AI, evaluasi dan umpan balik pembelajaran dapat dilakukan secara adaptif guna meningkatkan penguasaan literasi, numerasi dan sains sejak dini.
Selain itu, beban administrasi guru yang berkurang berkat AI dapat mendorong pengembangan metode mengajar yang lebih inovatif dan interaktif. Pendidikan yang semakin berkualitas ini pada akhirnya akan melahirkan sumber daya manusia unggul yang mampu menciptakan inovasi strategis, termasuk teknologi hijau yang sangat dibutuhkan Indonesia untuk mewujudkan berbagai sasaran SDGs 2030 serta target pembangunan berkelanjutan lainnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.