Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ammar hilmi

Stres dalam Pandangan Sains

Sinau | Wednesday, 06 Dec 2023, 14:30 WIB
ilustrasi aktivitas kelistrikan otak. Foto: https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fmed.stanford.edu%2Fnews%2Fall-news%2F2016%2F12%2Fstudy-establishes-extent-of-human-brain-excited-by-electricty-doses.html&psig=AOvVaw0ACy30aXVIkar34wwiUO1g&ust=1701883969764000&source=images&cd=vfe&opi=89978449&ved=0CBMQjhxqFwoTCLiB6Pvp-IIDFQAAAAAdAAAAABAE

Setiap individu tentu pernah menghadapi stres, apakah itu disebabkan oleh masalah akademis, hubungan sosial, dinamika keluarga, atau faktor lainnya. Bahkan, situasi sepele seperti kebisingan lingkungan juga dapat menjadi pemicu stres.

Semua faktor yang memicu munculnya stres disebut sebagai 'stresor'. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2019, ada tiga jenis stresor dalam kehidupan manusia, yaitu:

 

  1. Stresor fisik atau jasmaniah, dapat berupa rasa nyeri dan kelelahan fisik
  2. Stresor psikologi, dapat berupa kesepian, patah hati, serta iri hati.
  3. Stresor sosial budaya, dapat berupa PHK, perceraian, konflik, dan lain-lain.

Stresor-stresor tersebut akan menyebabkan sejumlah perubahan pada otak kita. Salah satu struktur otak yang berperan dalam proses ini adalah 'Sistem Limbik', yang melibatkan berbagai organ seperti amigdala, hipokampus, korteks limbik, hipotalamus, serta talamus.

Ketika kita terpapar oleh stresor, seperti contohnya ketika dimarahi oleh seseorang, amigdala, organ yang bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan emosi dan perilaku terutama dalam situasi ancaman atau ketakutan, akan teraktivasi. Aktivasi amigdala akan mengirimkan sinyal ke hipotalamus. Selanjutnya, hipotalamus akan merespons dengan menghasilkan dua tanggapan secara bersamaan.

Respon pertama, hipotalamus akan mengaktifkan sistem saraf simpatis yang berperan dalam respons fight-or-flight (melawan atau lari) pada tubuh kita. Aktivasi sistem saraf simpatis ini memicu pelepasan hormon adrenalin dari kelenjar adrenal. Adrenalin kemudian menyebabkan percepatan denyut jantung, pernapasan yang terengah-engah, pelebaran pupil, dan respon tubuh lainnya. Oleh karena itu, dalam situasi stres seperti ketakutan atau ancaman, seringkali kita mengalami detak jantung yang cepat. Ini merupakan respons tubuh yang normal.

Respon kedua, hipotalamus akan mengirimkan sinyal ke kelenjar pituitari untuk menghasilkan hormon adrenokortikotropik. Hormon ini kemudian memberikan instruksi kepada kelenjar adrenal untuk meningkatkan produksi hormon kortisol. Kortisol, pada gilirannya, bergerak ke berbagai organ untuk menyediakan lebih banyak energi bagi tubuh, khususnya bagi jantung dan paru-paru. Hal ini karena dalam situasi stres yang mengancam, jantung dan paru-paru bekerja lebih keras, seperti yang terjadi dalam detak jantung yang cepat dan pernapasan yang terengah-engah.

Selanjutnya, ketika stresor mulai berkurang dan tingkat stres menurun, tubuh akan merespon dengan mekanisme umpan balik negatif, yang melibatkan peningkatan aktivitas sistem saraf parasimpatis dan penurunan kadar kortisol. Hal ini membantu tubuh kembali ke keadaan yang tenang.

Namun, dalam kondisi stres kronis, di mana stresor terus-menerus muncul secara berulang, amigdala dapat terus-menerus teraktivasi, menyebabkan disregulasi dan menghambat terbentuknya mekanisme umpan balik negatif. Ini dapat mengarah pada kondisi depresi pada seseorang.

Ketika seseorang mengalami depresi, kadar kortisol dalam tubuhnya dapat terus meningkat. Peningkatan kadar kortisol ini dapat mengakibatkan penurunan hormon dopamin dan serotonin yang berperan dalam mengatur emosi positif dan perasaan bahagia. Kondisi ini dapat memengaruhi berbagai bagian otak, termasuk bagian depan otak yang mengontrol motivasi dan pemikiran. Ini mungkin menjelaskan mengapa orang yang mengalami depresi cenderung merasa sedih, kehilangan minat, dan bahkan memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup.

Terdapat pembahasan menarik mengenai alasan mengapa beberapa individu merasa sensitif terhadap suatu stresor, bahkan jika stresor tersebut dianggap sepele. Sensitivitas ini dapat disebabkan oleh mudahnya aktivasi amigdala pada orang tersebut, mungkin sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman masa lalu yang menyebabkan amigdala sering kali terstimulasi. Oleh karena itu, pada individu yang sensitif, amigdala lebih rentan untuk teraktivasi, menghasilkan reaksi stres sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Salah satu cara yang dapat diambil untuk mengatasi stres adalah dengan melakukan relaksasi, seperti melibatkan diri dalam aromaterapi dengan mencium aroma yang dapat memberikan rasa rileks. Ternyata, rangsangan bau yang diterima, seperti aroma dari aromaterapi, dapat mengaktifkan reseptor penghidu di dalam hidung. Aroma ini kemudian akan melalui saraf-saraf penghidu, merangsang amigdala untuk mengirimkan sinyal ke hipotalamus. Proses ini akan memicu pelepasan hormon kebahagiaan, seperti dopamin, yang pada akhirnya menyebabkan perasaan rileks dan senang ketika terpapar aroma dari aromaterapi.

Tidak hanya itu, meskipun kita mengalami kondisi stres, kita masih memiliki kemampuan untuk mengendalikan otak bagian depan, yang berperan sebagai pusat berpikir. Ini dapat menjadi strategi dalam mengatasi dan mengelola stres, di antaranya dengan mencoba untuk memfokuskan pikiran pada hal-hal positif, mengalihkan perhatian kepada hal-hal yang memberikan kebahagiaan, serta berupaya untuk terhubung dengan dimensi spiritualitas seperti melalui doa dan kegiatan lainnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image