Haji Rasul: Ulama Modernis Pembela Pakaian Barat
Sejarah | 2023-12-02 06:39:41
Fikrul Hanif Sufyan- periset, pemerhati, pengajar sejarah., dan penulis Gejolak Sosial di Sumatra Barat.
Haji Abdul Karim Amrullah, atau yang akrab disapa Haji Rasul adalah satu dari ratusan murid terbaiknya, yang mengusung konsep modernisasi Islam–yang jauh berbeda dengan gerakan Padri (1803-1837).
Meskipun gerakan yang kerap dituding ‘wahabi’ ini berujung gagal dan dipadamkan pemerintah Kolonial Belanda, Padri pada dasarnya telah meletakkan pondasi kuat puritanisme, sehingga memuluskan langkahKaum Muda melanjutkan gerakan Islam modernis jilid dua.
Uniknya,murid-murid Syekh Ahmad Khatib itu, juga membangun identitas mereka masing-masing. Mereka menamakan dirinya Kaum Muda. Haji Rasul–ayah kandung dari ulama besar HAMKA menampilkan identitasnya yang unik –terutama dalam penampilan luarnya. Ia memelihara kumis yang tebal dan lentik, dan berbusana ala Barat dan dipadu dengan Mesir.
Dalam setiap penampilannya di foto, Haji Rasul selalu memakai jas, pantalon, dasi, baju kerah kaku, dan kerap memakai tarbus. ulama Kaum Tua dituduh tasyabbuh dan berperilaku kafir. Kaum Tua mencela pilihan busana Kaum Muda yang menyimpang dari tuntunan Islam dan menjurus pada kafir.
Haji Rasul atau yang juga dikenal dengan julukan Inyik De eR itu tidak bergeming. Haji Rasul kerap menandai dirinya dalam busana jas, celana panjang, dasi, tarbus ala Turki. Besar dugaan busana ala Turki—diadopsiHaji Rasul berdasar pengalaman empirisnya selama bermukim di Mekah, ataupun ketika membaca pers al-Munir dan al-Manar.
Hamka (1958: 66-67) dalam Ayahku beberapa kali mengisahkan gaya berbusana Haji Rasul, yang dianggap aneh, sekaligus unik pada masa itu. Kisahnya bermula tahun 1911, dimana Kampung Kubu yang terletak di tepian Maninjau, hendak menyelenggarakan salat Jumat.
Sudah beberapa kali 40 orang pemuda, meminta persetujuan kepada kepala nagari, namun ditolak ninik mamak. Mereka tidak membolehkan murid-murid Haji Rasul menyelenggarakan shalat Jumat.
Datuk Makhudum—seorang penghulu kepala mencium gelagat, Haji Rasul berada dibalik tuntutan anak nagari Kubu. Ia pun marah besar. Ia harus berhadapan dengan otoritas adat, sekaligus anak Tuanku Laras.
Ketika pelaksanakan salat Jumat tiba, ia menunjukkan identitas modernisnya. Anak Tuanku Kisai itu, tidak lagi memakai jubah kebesaran ulama Naqsyabandiyah. Malah ia memakai jubah anggur hijau ala Syekh Muhammad Abduh, kain serban Halabi, dan berkaca mata hitam. Benar-benar identitas yang sama sekali baru di kampung halamannya.
Seluruh murid pengajiannya mengiring dibelakang laki-laki berkumis lebat itu. Dan pada Jumat berikutnya,Haji Rasul tetap dengan stylish yang sama—berjubah, bertongkat, dan berkaca mata hitam.
Sanggahan Haji Rasul terhadap fatwa haram memakai pakaian Barat, diungkap dalam Qati’ Riqb al-Mulhidin fi ‘Aqaid al-Mufsidin. Haji Rasul dalam pemaparannya menegaskan, bahwa Islam tidak pernah memberatkan umatnya berbusana (Amrullah, 1914: 103).
Bahkan, bila seorang laki-laki ketika umrah dan berhaji seharusnya berpakaian ihram, sambung Haji Rasul, malah berpakaian yang lain—maka dia tidak keluar dari Islam atau menyalahi imannya. Ia hanya tidak mengikuti salah satu kewajiban dari rukun haji yang telah ditentukan, sehingga ia harus membayar fidiah.
Haji Rasul juga menyayangkan fatwa gegabah Kaum Tua, bahwa orang yang berpakaian ala Eropa dan Turki langsung dituduh kafir dan telah merusak imannya.
Dan juga tidak masuk akal, sambung Haji Rasul, apabila persoalan pakaian itu dianggap melanggar adat istiadat, karena tidak satu pun dalam aturan adat Minang yang melarang memakai pakaian di luar adat dan tidak disebutkan sanksi apa yang harus diterima si pemakai busana.
Tentunya, pena tajam Haji Rasul ini “menampar” Kaum Tua yang serampangan mengkafirkan, ataupun para penghulu yang menuduh tidak memakai kain sesamping, sama saja melanggar adat Minangkabau.
Dalam Qati’ Riqb al-Mulhidin fi ‘Aqaid al-Mufsidin, Haji Rasul menegaskan, tuduhan-tuduhan jahat Kaum Tua yang dialamatkan kepada ratusan juta orang Turki, Arab, Mesir, dan Suriah merupakan bentuk kebencian dan tidak beralasan. Ia pun merujuk pada riwayat Bukhari, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memakai jubah dari bangsa Roma.
Haji Rasul kemudian menyanggah, apa yang menjadi dasar dari Kaum Tua untuk mengkafirkan muslim yang memakai pakaian ala Barat.
”Jangan-jangan mereka itu lebih dulu jatuh pada larangan agama dengan mengada-adakan atas agama akan barang yang tiada kurang apa-apa. Sekalipun demikian itu dibenci oleh orang-orang yang mempunyai muru’ah (tertib, sopan), tiadalah harus dengan sebab demikian itu mengada-adakan barang yang tiada dari agama.”– demikian tulis ayah HAMKA itu.
Fatwa Haji Rasul membela cepiau dan pantalon dalam al-Munir dan Qati’ Riqb al-Mulhidin fi ‘Aqaid al-Mufsidin, rupanya tidak meredakan ketegangan. Bukannya respon negatif yang diterimanya dari kalangan masyarakat, malah jas, pantalon, dasi, cepiau, dan topi Panama segera mewabah di Sumatera Barat (Hamka, 1958: 85-86).
Busana modern ala Eropa oleh sebagian masyarakat, dianggap lebih maju, bernilai estetika, teknologi, dan menunjukkan identitas sosial. Dalam perspektif Haji Rasul, busana jenis ini boleh dipakai ketika bekerja, berceramah, dan acara-acara resmi lainnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.