Fiksi Mini: Dunia yang Tak Menerima Jomblo
Sastra | 2023-11-29 21:26:47Mblo adalah pemuda kota yang kesepian. Ia seperti orang kota kebanyakan yang tak mempunyai sahabat. Ditambah lagi prinsipnya yang mengagung-agungkan kebebasan membuatnya tidak mempunyai pacar.
Mblo sendiri bukanlah lelaki yang berwajah jelek. Tapi kalau dibilang ganteng, ia juga tidak ganteng, setidaknya ’enak dipandang’ seperti bahasa orang kebanyakan. Ditambah ia juga penghasilan yang lumayan banyak di setiap bulannya.
Oleh karena itu, teman-teman sering melemparkan candaan bahwa Mblo adalah lelaki homo. Dan, kata ’homo’ tersebut membuat dirinya tak mau terlalu dekat berteman dengan sesama jenis.
Sore ini, dengan hati kusut dan wajah ringsut, Mblo memutuskan mendaki gunung berapi tertinggi di Pulau seberang. Namun, penjaga tiket melarang untuk mendaki gunung sendirian dan malam hari.
Mblo mencoba menyakinkan penjaga bahwa memang ia jomblo, makanya ia hanya sendiri. Lalu dengan wajah melas ia mengakui tak punya teman. Namun, penjaga tiket tetap tidak mengizinkannya karena tidak ingin melanggar aturan.
”Di kota saya sendirian. Ketika saya ke kedai kopi atau restoran, saya melihat orang berpacaran. Kalau tidak dengan pacarnya, setidaknya mereka dengan teman-temannya. Rasa saya seperti dikucilkan oleh keadaan,” keluh Mblo kepada penjaga tiket.
”Lalu, apa hubungannya dengan kamu mendaki gunung ini?” tanya penjaga tanpa melihat muka Mblo.
”Hubungannya adalah mau di gunung atau perkotaan aku selalu dikucilkan karena kesendirianku ini,” jawabnya sambil berjalan mencari home stay.
Kemudian di tengah jalan, Mblo melihat jalan setapak. Karena penasaran ia menuju jalan tersebut. Ketika memasuki jalan tersebut, ia bertemu warga sekitar yang membawa kayu bakar.
”Mau ke mana, Dik, sudah sore begini?” tanya warga yang membawa kayu bakar.
”Mau mampir ke surau sebentar, Pak, soalnya saya belum salat Ashar,” jawab Mblo sambil menunjuk bangunan kayu yang terhampar di hadapannya.
”Iya sudah. Masya Allah. Saya kira mau masuk hutan,” jawabnya dengan muka cemas dan berlalu.
Sesampainya di surau, ia langsung mengambil air wudhu dan memutuskan salat Asar. Ketika selesai melakukan salam, ia dikejutkan oleh kehadiran seorang kakek tua. Ia berpikir mungkin kakek tua itu adalah penjaga surau ini.
Karena merasa tidak enak, ia mencium tangan kakek tua. Namun setelah mencium kakek tua ia malah jatuh tertidur dan bermimpi.
Dalam mimpinya, ia mengalir ke dalam sungai Darah yang menjadi biru muda cerah, seperti langit di pagi hari. Lalu matanya menyatu dengan matahari dan menciptakan terang yang memukau langit.
Ketika menjelma matahari dan langit cerah. Ia melihat hanya dirinyalah yang masih jomblo di antara teman-temannya, meskipun ia sudah berkepala tiga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.