Relevansi Praktik Perjodohan di Indonesia: Perspektif Kultur dan Religi
Agama | 2023-11-22 15:10:43Secara bahasa, praktik perjodohan atau "arranged marriage" adalah istilah yang merujuk pada pernikahan yang diatur atau dijodohkan oleh pihak ketiga, seperti orang tua, keluarga besar, ataupun komunitas tertentu, daripada dipilih secara bebas oleh kedua pasangan yang akan menikah. Dalam konteks ini, "arranged" memiliki makna bahwa pernikahan tersebut diatur atau disusun oleh pihak lain, biasanya berdasarkan pertimbangan budaya, agama, nasab atau faktor-faktor lainnya, dan tidak murni berdasarkan cinta ataupun keinginan individu. Praktik perjodohan masih berlangsung di berbagai budaya di seluruh dunia, dan di Indonesia sendiri, praktik ini telah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya.
Kisah Siti Nurbaya, yang ditulis oleh Marah Rusli pada awal abad ke-20, adalah salah satu contoh yang identik tentang praktik perjodohan di Indonesia. Dalam kisahnya, Siti Nurbaya dijodohkan dengan Datuk Maringgih sebagai bagian dari perjanjian antara keluarga mereka. Pernikahan ini mencerminkan nilai-nilai budaya dan sosial masyarakat Minangkabau pada waktu itu. Walaupun Siti Nurbaya awalnya menentang pernikahan ini karena cintanya pada Samsul Bahri, dia akhirnya menurut demi menjalankan kewajiban keluarganya. Kisah ini menggambarkan bagaimana perjodohan telah menjadi bagian penting dalam kultur Minangkabau dan mencerminkan aspek budaya yang sudah mengakar kuat.
Di Indonesia sendiri, praktik perjodohan masih eksis hingga saat ini dan mencerminkan perspektif budaya yang sangat kental. Setiap daerah memiliki tradisi perjodohan yang berbeda-beda. Misalnya, dalam budaya Jawa, perjodohan sering kali melibatkan prosesi adat yang kaya akan simbolisme. Di Minangkabau, tradisi matrilineal mereka mempengaruhi cara pemilihan pasangan hidup. Di Bali, pertimbangan religius juga menjadi salah satu faktor utama dalam praktik perjodohan.
Dalam banyak kasus, perjodohan di Indonesia juga mencerminkan pentingnya menjaga warisan budaya keluarga. Pernikahan ini sering kali digunakan sebagai jalan untuk memelihara tradisi adat dan nilai-nilai yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Hal ini mencakup pemeliharaan harta keluarga, penghormatan terhadap leluhur, dan memastikan keberlangsungan tradisi tertentu, seperti garis keturuna dan pertemuan antar keluarga.
Contoh nyata untuk hal tersebut di Indonesia adalah pernikahan nasbiyyah, pernikahan yang didasari oleh kafa'ah atau kesetaraan dalam nasab (garis keturunan). Mengutip perkataan al-Alim al-Allamah as-Sayyid Utsman bin Abdullah bin Agil bin Yahya (Mufti Betawi) dalam kitabnya Qawanin Syar'iyyah wa Al-Ifta'iyyah,
Berkata : “Dalam perkara kafa'ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu' apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah, namun para ulama Ahlul Bait mempunyai ijtihad ikhtiar dalam syara' yang tiada didapati oleh para fakih lain. Jika mereka berpendapat bahwa nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara umum, dan tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid.”
Sebenarnya, di dalam Islam sendiri, pandangan terhadap praktik perjodohan dapat bervariasi tergantung pada interpretasi agama dan budaya yang berlaku di berbagai komunitas Muslim tertentu. Namun, mari kita ambil salah satu contoh dari novel karangan seorang muslimah asal Inggris bernama Shelina Janmohamed yang berjudul "Love in a headscarf", setidaknya ada beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi di perjodohan dalam Islam :
1. Persetujuan dan Kesepakatan: Prinsip utama dalam Islam adalah bahwa pernikahan harus berdasarkan persetujuan dan kesepakatan kedua calon pengantin. Dalam konteks perjodohan, walaupun pernikahan diatur oleh pihak ketiga atau keluarga, persetujuan dan kesepakatan dari kedua calon pengantin masih dianggap penting.
2. Peran Wali Nikah: Dalam Islam, sebuah pernikahan memerlukan seorang wali nikah, yang merupakan pelindung maupun penasehat yang menjaga kepentingan sang calon pengantin perempuan. Dalam perjodohan, wali nikah umumnya terlibat dalam proses tersebut dan diharapkan memastikan bahwa pernikahan dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak.
3. Kepatuhan Agama dan Moral: Dalam praktik perjodohan, diharapkan bahwa pihak yang menjodohkan akan memilih pasangan yang sesuai dari segi agama, karakter moral, ataupun alasan-alasan lainnya selagi tidak menyimpang dari norma agama.
4. Kesejahteraan Pasangan: Islam menekankan pentingnya kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kedua pasangan yang menikah. Oleh karena itu, praktik perjodohan harus didasari pada pertimbangan yang matang, seperti kecocokan karakter, kesiapan secara finansial, mental dan juga nilai-nilai fundamental lainnya .
Adapun, secara administrasi, praktik perjodohan di Indonesia tetap menjadi cara yang sah untuk menikah. Karena tidak melanggar maupun melewatkan satu hal pun dalam proses pernikahan. Dari perspektif administrasi, pernikahan yang diatur secara tradisional juga diakui secara hukum di Indonesia, asalkan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah setempat. Hal ini berarti bahwa meskipun perjodohan dilakukan oleh pihak ketiga, seperti keluarga, secara resmi pernikahan tersebut sah dan diakui oleh pemerintah.
Meskipun praktik perjodohan masih sering diyakini sebagai salah satu cara terbaik atau "teraman" untuk memilih pasangan, akan tetapi tidak sedikit juga para generasi muda hari ini yang lebih terbuka terhadap pernikahan yang murni didasari oleh perasaan dan tidak ingin urusan jodohnya diintervensi oleh faktor-faktor selain cinta. Karenanya, dengan seiring bermunculan pergeseran nilai-nilai masyarakat modern, praktik perjodohan mulai menghadapi tantangan dalam menjaga relevansinya. Para muda mudi seringkali lebih memilih untuk memahami dan mencari pasangan hidup mereka sendiri, mengutamakan faktor cinta dan kesesuaian dengan kepribadian mereka.
Tantangan lainnya adalah munculnya istilah "Independent women" atau perempuan mandiri di era modern ini. Perempuan yang mandiri sering kali memiliki pendidikan, karier, dan kebebasan finansial yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan tentang pasangan hidup mereka sendiri. Ini telah mengubah dinamika dalam praktik pernikahan teratur, dengan lebih banyak perempuan yang memegang kendali dalam proses pemilihan pasangan hidup mereka. Mereka tidak lagi terbatas pada perjodohan yang diatur oleh orang lain. Fenomena ini mencerminkan perkembangan peran gender yang signifikan dalam masyarakat saat ini.
Sebagai penutup, marilah kita kutip salah satu ungkapan dalam bahasa Arab yang berbunyi:
"بالغ فيما تحب لا توجد قوانين للشعور"
"kejarlah apa yang kamu cintai, karena perasaan tidak memiliki aturan baku"
Kutipan ini menegaskan, pentingnya menghormati hak individu dalam proses mengikuti perasaan dan cinta mereka sendiri. Ini berarti bahwa dalam hal perjodohan, perasaan cinta seharusnya tidak bisa diintervensi atau dipaksa oleh pihak lain, seperti keluarga, tradisi, atau norma sosial. Praktik perjodohan yang mempertimbangkan hak individu untuk mengejar perasaan cinta mereka sendiri menjadi lebih relevan dalam kehidupan modern yang sering kali mendorong kesetaraan, kemerdekaan, dan kebebasan dalam memilih pasangan hidup.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.