Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Erla Adi Saputra

Perlukah PPh Diganti Zakat Penghasilan

Ekonomi Syariah | Wednesday, 22 Nov 2023, 10:53 WIB

Tidak dapat disangkal bahwa pajak merupakan jantung bagi kehidupan sebuah negara. Sangat berpengaruh fatal jika organ penting dalam kehidupan dinyatakan dalam sebuah situasi. Seorang polimatik Amerika Serikat, Benjamin Franklin, mengatakan “Di dunia ini tidak ada yang dikatakan pasti, kecuali kematian dan pajak”. Namun kepastian yang pasti adalah Zakat.

Dalam buku Adam Smith Wealth of Nation, Salah satu ajarannya yang terkenal mengenai perpajakan The four Maxims. Terdapat empat asas pemungutan pajak dalam buku Adam Smith, salah satunya yaitu asas equality (Keadilan). Keadilan yang dimaksud adalah dalam kontribusi dan pendistribusian sangat dipertimbangkan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Nomor Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ada perubahan dalam pasal 17 ayat (1) UU HPP pada besarnya tarif bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri (PPh 21). Lantas bagaimana cara menjadi tolak ukur berkewajiban dengan presentase berdasarkan penghasilan dan perbedaan penghasilan yang mungkin akan berubah? Namun berbeda dengan zakat dengan presentase pengeluaran untuk zakat penghasilan diukur berdasarkan nisab yang ditentukan ketetapan pada nilai emas.

Dalam UU Pajak penghasilan nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat (2) atas PPh final langsung dikenakan dengan tarif dasar penggenaan pajak atas jenis penghasilan yang diperoleh wajib pajak selama satu tahun berjalan. Dengan pertimbangan keputusan diadakannya PPh untuk memudahkan serta mengurangi beban administrasi bagi wajib pajak. Namun sebagaimana fatwa MUI “Semua bentuk penghasilan halal dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mecapai nisab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Kadar zakat penghasilan adalah 2,5 persen” (Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan).

Kebijakan fiskal dalam pajak sangat berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi pada Indonesia. Namun perlu diperhatikan dalam faktor utama yang mempengaruhi dalam pertumbuhan ekonomi yaitu sumber daya manusia yang berkualitas dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang tinggi. Sehingga harus menjamin dalam permasalahan infrastruktur dan kegiatan sosial masyrakat seperti sekolah, rumah sakit, posyandu, bantuan sosial, dan lain-lain.

Apakah pajak penghasilan (PPh) perlu diganti dengan zakat penghasilan? Maka diperlukan beberapa pertimbangan untuk memberlakukan pergantian kebijakan sistem pajak dirubah ke zakat. Seperti pertama, Melihat sudut pandang toleransi beragama mewujudkan kemandirian ekonomi nasional. Kedua, Sasaran distribusi menciptakan keadilan dalam ekonomi sosial yang beradab.

Pertama, Melihat sudut pandang toleransi beragama mewujudkan kemandirian ekonomi nasional. Di negara Indonesia memiliki enam agama yang diakui secara sah menurut UUD 1945. Pajak merupakan kontribusi wajib bagi sebagai warga negara bersifat memaksa yang diatur oleh undang-undang perpajakan. Indonesia mayoritas umat muslim yang mempunyai wajib untuk berzakat, salah satu yang dibahas adalah zakat penghasilan. Namun tidak semua umat muslim wajib untuk berzakat akan tetapi ada nisab yang disyaratkan untuk membayar zakat dan diatur oleh UU 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat.

Melihat dari latar belakang agama yang berbeda maka harus mempertimbangkan untuk mewujudkan stabilitas ekonomi mandiri. Jika dibedakan atau dirubah antara pajak dan zakat akan adanya diskriminasi kontribusi wajib membayar zakat terutama dalam topik penghasilan. Sehingga kalau diimplementasikan maka belum terpenuhinya prinsip-prinsip berkeadilan dan netralitas dalam pembayaran pajak dan zakat.

Kedua, Sasaran distribusi menciptakan keadilan dalam ekonomi sosial yang beradab. Pengumpulan akumulasi pajak terkumpul jadi satu tanpa ada klasifikasi pemasukan dan tujuan untuk pengeluaran. Seperti contoh, pajak penghasilan akan disalurkan untuk kegiatan sosial serta pendukung infrastruktur sehingga adanya pengklasfikasian hal tersebut masyarakat akan percaya untuk membayar pajak serta pajak yang terdistribusikan.

Berbeda akan halnya pada zakat, sudah jelas zakat yang terkumpul akan distribusikan untuk kepentingan kemasalahatan umat manusia. Pendistribusian zakat akan disalurkan untuk kegiatan sosial dengan syarat tertarget pada orang yang membutuhkan pada 8 asnaf. Secara langsung masyarakat mendapatkan dampak nyata dengan adanya zakat, sehingga stabilitas ekonomi berjalan dengan semestinya dan mengurangi beban pada masyarakat menengah kebawah.

Maka Indonesia mengeluarkan penerapan kebijakan zakat bisa menjadi salah satu pengurangan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) dan tidak perlu diganti. Zakat dapat dikatakan sebagai pengurang PPh (Pajak Penghasilan) sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2010 tentang zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Terlepas dari pengurangan pajak ada syarat yang berlaku yaitu zakat yang bersifat wajib dan zakat dikontribusikan melalui Baznas atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

Pelaksanaan pajak dan zakat dapat membantu dalam stabilitas ekonomi pada suatu negara, dengan bersyarat dengan terselenggara dan dikelola dengan baik berdasarkan pada kepada kesadaran masyarakat. Kebijakan fiskal pada pajak dan zakat tidak dapat disatukan apalagi diganti. Namun, pajak dan zakat harus bersinergi untuk mewujudkan perkembangkan perekonomian Indonesia. Secara garis besar zakat mempunyai kekhususan bagi umat islam, berbeda halnya dengan pajak yang mempunyai ruang lingkup dan jangkauan yang luas. Pendapat segaian besar ulama menyatakan bahwa zakat tidak bisa dipajakkan, begitu pula pajak tidak bisa dipajakan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image