Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dhevy Hakim

Budaya Antikorupsi Serasa Jadi Mimpi

Politik | 2023-11-20 23:28:36

Budaya Antikorupsi Serasa Jadi Mimpi

Oleh: Dhevy Hakim

Ada pernyataan mencengangkan dari KPK baru-baru ini. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Firli Bahuri menyatakan bahwa lembaga antirasuah itu sudah menangkap sebanyak 1.600 koruptor dalam kurun waktu 20 tahun terakhir yakni sejak 2003-2023. Jumlah koruptor 1.600 bukanlah jumlah yang sedikit. Jika dibuat rata-rata maka ada 80 koruptor yang ditangkap setiap tahunnya. (antaranews.com, 09/11/2023)

Berdasarkan data KPK, khusus tiga tahun terakhir KPK RI sudah menangkap dan menahan tersangka korupsi lebih kurang sebanyak 513 orang. Artinya jumlah koruptor dalam tiga tahun terakhir semakin banyak. Hal ini senada dengan data terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bahwasanya nilai Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia 2023 mengalami penurunan dibandingkan dengan IPAK tahun 2022 menjadi sebesar 3,92. Sedangkan di tahun lalu, nilai IPAK di angka 3,93.

Data tersebut menunjukkan keinginan mewujudkan budaya anti korupsi bagai mimpi di siang bolong. Indeks perilaku antikorupsi di tahun 2023 jeblok. Adanya lembaga antikorupsi belum mampu mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Berbagai cara pemberantasan korupsi rupanya juga tidak mempan. Lantas kenapa hal ini bisa terjadi?

Jika ditelusuri pelaku korupsi yang ditangkap kebanyakan adalah para penguasa baik sekelas gubernur, bupati, camat bahkan sampai level penguasa di tingkat desa. Selain penguasa kebanyakan yang terseret kasus korupsi adalah para wakil rakyat dan politikus partai.

Lalu kenapa mereka yang semestinya memberikan teladan justru melakukan tindak pidana? Ya, tidak menutup mata bahwa mereka sampai pada titik kedudukan dan kekuasaan yang diinginkan biayanya tidak murah. Biaya pemilu yang tidak sedikit inilah yang menghantarkan pada timbulnya berbagai macam persoalan, termasuk korupsi. Sebab, dengan gaji yang diterima jika dikalikan dengan masa kerjanya tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai menuju pemilu hingga menang. Walhasil, untuk mengembalikan biaya tersebut yang paling mudah adalah melalui pengadaan proyek-proyek tertentu ataupun menerima suap jabatan.

Inilah buah daripada demokrasi dengan konsep dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang jelas-jelas membawa kesengsaraan. Berawal dari pelaksanaan pesta demokrasi yang biayanya sangat mahal berbuntut pada penggunaan uang negara. Sedangkan uang negara, bukankah semestinya dikelola untuk mengurusi kebutuhan rakyat?! Kalau sudah begini, bukankah rakyat yang dikorbankan?!

Oleh karenanya selama sistem politik yang dipakai adalah demokrasi, maka selama itu pula keinginan untuk mewujudkan budaya antikorupsi serasa hanya mimpi saja. Wallahu a’am.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image