Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Denny Sulaksono

Perutku dan Donasi Mereka

Agama | Friday, 17 Nov 2023, 09:48 WIB

Sama seperti malam-malam sebelumnya, aku biasa menikmati sebatang rokok sisa sore tadi ditemani segelas kopi setengah encer di teras rumah.

Beranda depan rumah yang tak beratap, berlantai acian semen seadanya yang mulai retak-retak, dilengkapi dengan kursi lama yang lumayan bagus untuk diduduki plus sebidang meja besi dengan beberapa bagian yang menampakkan korosi, adalah tempat favoritku. Saban malam, usai Isya, atau setidaknya setelah anak-anakku terlelap, di situlah tempat di mana aku tidak melakukan dan memikirkan apa-apa.

Istritu tahu kebiasaan itu. Sesekali ia menemani. Sekadar berdiskusi tentang apa saja. Tagihan sekolah anak, cicilan jelang jatuh tempo, dan beban hidup rutin bulanan lainnya, kami diskusikan meski tanpa ada solusi.

Kehidupan kami berubah total. Khususnya secara ekonomi. Gegara Covid-19 sialan itu, aku dikondisikan agar berhenti dari tempat kerjaku. Padahal, posisiku lumayan strategis, dimana menjadi incaran dan impian semua karyawan berada di situ. Entah, atas dasar penilaian suka atau tidak kepada produktivitasku, pimpinanku bersikeras agar aku mengundurkan diri dengan alasan targetku tak tercapai, sementara semua divisi mengalami kondisi sama. Tapi hanya aku yang diminta berhenti dengan berbagai alasan banyak kesalahanku yang sebenarnya bisa aku bantah.

Tapi sudahlah. Aku memang bukan tipikal orang yang mau berdebat. Apalagi dengan atasan. Aku terima semua perintahnya. Termasuk membalik piring nasiku sendiri. Alibi aku masih mempunyai bayi, tetap ditolak pimpinanku.

Satu hal itu yang menguatkan tekadku untuk keluar. Bagiku, buat apa aku terus-terusan mengikuti dan bergabung di bawah seorang bos yang tidak mempunyai hati. Pantang bagiku mengemis iba.

Tahun pertama, masih aman. Uang pesangon cukup untuk makan dan biaya rutin bulanan. Tahun kedua, kegelisahan mendera. Satu persatu barang di rumah, terpaksa kami jual untuk sekadar membeli sebungkus nasi lalapan. Hingga akhirnya rumah pun kami jual untuk kami bangun kembali rumah seadanya. Yang penting, kami tidak mengontrak.

Berbagai lamaran pun sudah ku lempar ke sana-sini. Tak ada yang nyangkut. Mungkin karena faktor usiaku yang dinilai sudah masuk kurang produktif.

Bersyukur, aku hidup ditemani istri dan anak yang luar biasa. Mereka memahami kondisi. Hanya, satu si putriku bayi yang beranjak menjadi anak kecil, yang belum tahu. Ia tak peduli, begitu susunya habis, langsung merengek.

Kepulan asap terakhir ku hembuskan. Heningnya malam dipecah suara-suara binatang. Dentingan token listrik mulai terdengar pelan.

“Pa ,”

Suara kecil mengagetkan ku. Rupanya, putri sulungku yang memanggil seraya duduk di sampingku.

“Kakak mau beli barang untuk tugas sekolah,” ujarnya lirih. “Masih adakah sisa uangnya,Pa”

Aku terdiam sejenak. Sebenarnya, ia tahu apa jawabanku. Sabar dan sabar adalah kata yang kerap terlontar menjawab pertanyaannya.

Tapi entah kenapa malam itu, tak seperti biasa ia menemaniku. Jam segitu, ia biasanya terpulas. Kelelahan oleh aktivitas sekolah dengan tugas yang membeludak.

“Penting ini, Pa”

Aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Ia pun tahu Bahasa gerak tubuhku itu.

“Oiya Pa, kakak barusan lihat berita di televise dan di sosmed. Ini, tentang donasi untuk Palestina. Rupanya nilai donasi yang terkumpul, begitu besar,”

“Maksudmu bagaimana, kak?”

“Seandainya saja, perhatian dan kepedulian mereka ditujukan ke kita juga ya Pa. Kan, masih banyak orang di negeri kita yang perlu dibantu juga,” tuturnya pelan.

“Hus, sudahlah. Tak perlu kau banding-bandingkan seperti itu. Di sana, mereka sangat memerlukan. Kondisi di sana sedang perang. Untuk sekadar makan sesuap nasi saja masih susah. Mestinya kita bersyukur, negara kita baik-baik saja,” sahutku.

Putri sulungku ini memang kerap berdiskusi apa saja. Tema apa saja. Apa-apa yang menurutnya tidak masuk akal dan melawan logika berpikirnya, ia curahkan. Dan aku menjadi teman diskusinya.

“Apa bedanya Pa dengan kita. Kita memang tidak sedang berperang dengan negara lain. Kondisi negara kita memang sedang baik-baik saja, tapi keluarga kita kan tidak,”

Kita, menurut anakku, langsung tanggap begitu ada peristiwa di Palestina. Semangat mereka berdonasi, menggebu-gebu. Sementara, di sekitar kita masih banyak yang memerlukan bantuan. Meski terlihat baik-baik saja, tidak semua keluarga mau menunjukkan bahwa kondisi sebenarnya tidak sedang baik-baik saja. Terutama soal ekonomi.

“Kakak kadang miris Pa. Begitu besar nilainya. Sampai miliaran. Ah, seandainya saja beberapa lembar itu melayang ke keluarga kita. Kan lumayan buat beli susu adik, dan sangu kakak sehari-hari,”

“Kakak tidak boleh begitu,” ujarku menenangkan emosinya yang mulai naik.

Kita memang sedang kesusahan, lanjutku. Tapi, dengan peristiwa ini, kita semestinya banyak bersyukur dan menjadi hamba yang pandai bersyukur. Bahkan kepada hal-hal yang terkecil sekalipun, kita wajib bersyukur.

“Coba ya Pa, kita kebagian dana zakat juga atau uang hasil infak masjid depan gang rumah. Kakak sering dengar laporan keuangan tiap Jumat, uang kas masjid nilainya puluhan juta rupiah. Tapi sepeserpun kita tidak dikasih,”

“Sudah kak. Mungkin pengurus masjid masih banyak keperluan. Dan para pengurus zakat masih menilai kita orang mampu. Makanya kita tidak dapat santunan,” ucapku.

“Satu yang paling penting Kak. Jangan sekali-sekali kita bergantung dan berharap kepada manusia. Satu lagi, kakak tak perlu risau soal kebutuhan kakak. Besok papa carikan uangnya,”

Ya, sebenarnya apa yang putriku sampaikan perihal donasi, zakat, infak, ada benarnya. Betapa kita kebagian dengar saja tentang nilainya.

Seandainya saja penyaluran zakat dan infak tersebut benar-benar kepada yang berhak menerima, mungkin apa yang ada dipikiran putriku dan anak-anak lainnya tidak akan pernah ada.

Tidak semua orang memang yang mampu dan bisa untuk tidak menunjukkan bahwa kondisinya sedang memprihatinkan. Semua kembali kepada mental. Dan itu aku tanamkan benar ke anak-anakku. Satu yang paling penting aku tekankan ke mereka adalah aku tak bangga engkau berbagi karena engkau memang mampu. Tapi aku akan acungkan semua jempol ketika anak-anakku berbagi ketika ia dalam kondisi kesusahan.

Orang yang paling kaya bukan terletak pada menumpuknya rupiah. Melainkan orang yang bisa memberi dan berbagi ketika di kondisi susah. Itulah orang yang berpangkat kaya dan mengkayakan orang lain. (***)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image