Nikah Mutah di Indonesia dan UU No 1 Tahun 1974
Edukasi | 2023-11-08 17:18:55Nikah mut’ah adalah pernikahan antara laki-laki dengan perempuan dalam jangka waktu yang telah disepakati oleh keduanya. A. Syarafuddin al-Musawiy berpendapat bahwa kata mut’ah berasal dari bahasa arab yang artinya sesuatu yang dinikmati. Nikah mut’ah akan terhenti apabila masa yang telah disepakati sudah jatuh tempo, bahkan tanpa ucapan talak dari suami sekalipun.
Sejarah nikah mut’ah terjadi pada masa awal munculnya Islam. Tatkala para sahabat meninggalkan kampung halaman untuk berperang dalam jangka waktu yang lama mereka diizinkan oleh Rasulullah untuk menikah dengan waktu yang ditentukan. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya perzinaan diantara para sahabat yang berperang. Akan tetapi, tidak lama dari itu Rasulullah mengharamkan nikah mut’ah.
Mardani mengatakan bahwa ciri-ciri nikah mut’ah adalah sebagai berikut:
1. Adanya kata mut’ah dalam prosesi ijab Kabul
2. Pernikahan dilakukan tanpa wali
3. Pernikahan dilakukan tanpa 2 saksi
4. Adanya pembatasan waktu dalam pernikahan
5. Tidak ada talak dalam pernikahan tersebut
6. Tidak ada pembagian warisan antara suami dan istri.
Pernikahan di Indonesia telah diatur oleh UU. No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pada pasal 1 Undang-Undang Perkawinan tertulis bahwa ” Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa.” Dan pada Pasal 2 ayat (1) tertulis bahwa ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dapat diketahui bahwa pernikahan yang sah secara hukum negara adalah pernikahan yang dilakukan sesuai syariat agama. MUI bahkan sudah mengeluarkan fatwa keharaman nikah mut’ah dan fatwa tersebut sudah ditandatangani oleh KH Hasan Basri selaku Ketua Umum MUI, Drs HA Nazriadlani selaku Sekretaris Umum MUI, dan Prof KH Ibrahim Hosen selaku Ketua Komisi Fatwa pada tanggal 25 Oktober 1997. MUI mengharamkan nikah mut’ah dengan dalil surat Al-mu’minun ayat 5-6.
(Dan orang-orang yang terhadap kemaluannya mereka selalu memeliharanya) dari yang diharamkan. (Kecuali terhadap istri-istri mereka) (atau terhadap budak yang mereka miliki) yakni hamba sahaya wanita yang mereka tawan dari peperangan (maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela) bila mereka mendatanginya.
Dalam agama Islam, rukun nikah meliputi:
1. Terdapat mempelai pria
2. Terdapat mempelai wanita
3. Wali
4. Adanya 2 saksi
5. Shighat ijab dan qabul
Lalu disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa pernikahan tanpa pencatatan dari negara itu dianggap tidak sah, nikah mut’ah bukan hanya tidak melalui proses pencatatan dari negara, akan tetapi juga dilakukan secara diam-diam, tentunya ini akan berdampak pada hak-hak istri setelah terjadi perceraian dan status anak yang dilahirkan hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa nikah mut’ah tidak bisa diterapkan di Indonesia karena tidak sesuai dengan dengan Pasal 2 ayat (1). Karena dalam agama Islam, nikah mut’ah itu dilarang, dan nikah mut’ah tidak sesuai juga dengan pasal 2 ayat (2). Karena nikah mut’ah tidak ada pencatatannya.
A. Syarafuddin al-Musawiy, Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah Syi’ah,
terj. (Bandung: Mizan, 1993), h. 87.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Mardani, Hukum Perkawinan Islam. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011)
https://mirror.mui.or.id/produk/fatwa/953/nikah-mutah/
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.