Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

Kebangkitan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Agama | Wednesday, 08 Nov 2023, 11:53 WIB

Oleh: Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

(Founder Edu Sufistik)

Saat ini kita tidak bisa memungkiri ilmu pengetahuan modern masih didominasi wajah Barat. Celakanya, terkadang kita mengadopsinya tanpa mencermati sejarah lahirnya ilmu pengetahuan modern di Barat. Ilmu pengetahuan modern di Barat lahir sebagai sebuah pemberontakan atas dominasi gereja di Barat.

Fondasi paling mendasar dalam pemikiran ilmu pengetahuan modern di Barat dibangun oleh para filusuf materialis, semisal Comte, Hegel, Durkheim, Nietzsche, Freud, Marx, dan Darwin. Konsekuensinya, aspek spiritualisme (dalam Islam keimanan) sengaja dihilangkan dalam ilmu pengetahuan. Maka, berkembanglah ilmu pengetahuan modern versi Barat yang sekuler, bahkan mengarah atheis.

Model pengembangan ilmu pengetahuan versi Barat ini, sudah pasti banyak menimbulkan masalah kemanusiaan. Kini, Barat mulai menyadari kekeringan jiwa dan spiritual mereka akibat sekularisme ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan di dunia pendidikan Barat. Barat mulai mencari-cari dan mengkaji aspek aksiologi ilmu pengetahuan. Dari sini Barat berharap bisa menemukan spiritualitas dalam ilmu pengetahuan.

Bagaimana dengan muslimin? Pemikiran tentang Islamisasi sains telah lama digaungkan oleh para pemikir muslim, seperti Syed Hossen Nashr, Islamil Raji al-Faruqi, dan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Hossen Nashr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran ini, menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam. Karena itulah, Hossen meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976).

Sementara al-Faruqi, selain berlatar belakang pendidikan dari Al-Azhar University, ia menempuh pendidikan master dan doctoral di Indiana University Amerika Serikat dan kemudian menjadi Guru Besar di Temple University, Philadelpia, Amerika Serikat, paham betul model ilmu pengetahuan yang dikembangkan Barat yang sekuler dan cenderung atheis. Karena itu, al-Faruqi sangat terobsesi untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan.

Dalam mewujudkan gagasannya, pada mulanya al-Faruqi menuangkannya dalam berbagai buku dan artikel antara lain Islamization of Knowledge: Problem and Principles; Prospective Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan; The Essence of Islamic Civilization; Toward Islamic English; Islamization Sosial Science; Science and Traditional Values in Islamic Society; Social and Natural Science: The Islamic Perspective; Devine Transendence and Its Expression on the Nature of Work of Art in Islam; Urufah and Religion; Misconceptions of the Nature of the Work of Art in Islam; Islam and Art; Jauhar al-Hadharah al-Islamiyah.

Kemudian, untuk mengakselerasi gagasannya, al-Faruqi juga mendirikan organisasi keilmuan, yaitu The Association of Muslim Social Scientists pada 1972 dan menjadi presidennya yang pertama selama dua periode (periode kedua; 1978-1982).

Gagasan Islamisasi Sains selanjutnya dikembangkan oleh Syed M. Naquib Al-Attas sebagai proyek “Islamisasi” yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang Pertama di Makkah pada tahun 1977. Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu.

Dalam pertemuan itu, beliau menyampaikan makalah yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”. Ide ini kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam and Secularism (1978) dan The Concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980). Konferensi inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangkit proses Islamisasi pengetahuan selanjutnya.

Selain itu, secara konsisten dari setiap yang dibicarakannya, al-Attas menekankan akan tantangan besar yang dihadapi zaman pada saat ini, yaitu ilmu pengetahuan yang telah kehilangan tujuannya. Menurut al-Attas, “ilmu pengetahuan” yang ada saat ini adalah produk dari kebingungan skeptisme yang meletakkan keraguan dan spekulasi sederajat dengan metodologi “ilmiah” dan menjadikannya sebagai alat epistemologi yang valid dalam mencari kebenaran.

Selain itu, ilmu pengetahuan masa kini dan modern, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan, dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual, dan persepsi psikologis dari kebudayaan dan peradaban Barat. Oleh karena itulah, sebagai bentuk keprihatinannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, ia mengajukan gagasan tentang “Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini” serta memberikan formulasi awal yang sistematis yang merupakan prestasi inovatif dalam pemikiran Islam modern.

Intinya, Hossen, al-Faruqi, dan al-Attas khawatir dengan paradigma ilmu pengetahuan versi Barat yang sekuler dan bahkan atheis bisa merusak akidah umat dan mencerabut umat dari khazanah keilmuan Islam. Karena, konsekuensi turunannya adalah disain pendidikan dan pengembangan kurikulum yang dijalankan di sekolah-sekolah. Maka, tak heran gagasan Islamisasi ilmu menjadi misi dan tujuan terpenting (raison d’etre) bagi beberapa institusi Islam, seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT), Washington DC., International Islamic University Malaysia (IIUM), Kuala Lumpur, Akademi Islam di Cambridge.

Bagaimana dengan Indonesia? Gagasan dan wacana Islamisasi ilmu pengetahuan juga menggeliat di Indonesia. Pertama-tama yang menggulirkan gagasan ini adalah almarhum Prof. Dr. AM Saefudin. Kemudian, dilanjutkan oleh para intelektual muda muslim alumni ISTAC Malaysia, seperti Hamid Fahmy Zarkasyi, Syamsuddin Arif, dan Adian Husaini lewat lembaga Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS).

Bagaimana dengan pendidikan di sekolah-sekolah kita? Semestinya setiap sekolah (khususnya sekolah Islam) memiliki tim Litbang yang khusus melakukan kajian-kajian keilmuan untuk mengembangkan model Islamisasi ilmu pengetahuan. Dari sinilah fondasi kebangkitan peradaban Islam dibangun. Karena, membangun peradaban mesti selalu diawali dari pendidikan dan tradisi keilmuan yang kuat. Wallahu A’lam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image