Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Phobia Matematika

Eduaksi | 2022-01-02 18:35:30

Kita sering mendengar ada orang yang dalam memilih jurusan sekolah atau kuliahnya menghindari jurusan yang ada hubunganya dengan matematika. Misalnya, mengapa seorang anak lebih memilih jurusan IPS daripada IPA saat di SMA, ini tak lain karena anak tersebut takut dengan pelajaran yang banyak menggunakan hitung menghitung seperti matematika, fisika, dan kimia.

Dan biasanya ini berlanjut saat dia memilih jurusan untuk kuliah, maka dia cenderung memilih jurusan yang tidak atau kurang berhubungan dengan matematika. Banyak orang yang mengaku buruk dalam matematika, alias lemah dalam hitung-menghitung angka. Mengapa seseorang bisa mudah melakukan soal matematika dan beberapa lainnya lagi lemah dalam penambahan, pengurangan bahkan perkalian angka?

Melansir dari The Conversation, faktor mengapa seseorang bisa buruk dalam hitung- hitungan karena adanya trauma yang biasa disebut trauma matematika. Berbeda dengan kecerdasan secara umum yang dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan, kemampuan hitung menghitung ini tidak berkaitan dengan genetik seseorang. Karena kemampuan matematika itu dalam tiap diri manusia belumlah lama.

Mengutip dari laman Big Think, insting matematika pada masing-masing orang baru diterapkan dan dikenalkan ketika seorang anak mulai memasuki jenjang sekolah. Inting awal inilah yang akhirnya berguna ketika nantinya seseorang menjadi dewasa dan menyelesaikan soal-soal geometri, aritmatika, dan lain sebagainya. Beberapa anak berasal dari rumah di mana orang tua mengajari mereka matematika sejak usia dini, sementara yang lain pertama kali diperkenalkan matematika di sekolah. Anak-anak yang dipersiapkan melakukannya dengan baik karena mereka sudah terbiasa dengan materi pelajaran. Anak-anak yang tidak siap berjuang karena mereka tidak siap.

Saat nilai ujian dan pekerjaan rumah menumpuk, anak-anak yang sudah siap mulai mengenali keberhasilan mereka. Mereka menganggap bahwa mereka adalah "orang matematika", bangga dengan pencapaian mereka, belajar menikmati pelajaran, dan mendorong diri mereka sendiri untuk bekerja lebih keras. Anak-anak yang tidak siap, bagaimanapun, tidak menyadari bahwa anak-anak yang dipersiapkan memiliki permulaan.

Mereka berasumsi bahwa mereka tidak dilahirkan sebagai "orang matematika", merasa bahwa pelajaran tersebut membuat frustasi, dan tidak memaksakan diri, percaya bahwa pencapaian akan tetap berada di luar jangkauan karena beberapa kekurangan yang tidak dapat diperbaiki.

Jadi hal yang normal dan wajar, jika anak yang belum mendapatkan "bekal" sama sekali akan mengalami perkembangan lebih lambat dibanding anak yang sudah mengenal insting dasar matematika. Dalam beberapa soal ujian yang diberikan gurunya, anak yang sudah membawa "bekal" ini lebih bisa menguasai soal dan menemukan jawaban dengan cepat. Sehingga tanpa disadari, mereka melabeli dirinya sebagai seseorang yang ahli berhitung, atau ahli matematika. Pelabelan yang tanpa disadari ini akan memicu semangat dan membuat mereka lebih senang belajar matematika dalam berbagai level.

Nah anak yang belum diberi bekal matematika sama sekali, tak pernah mengetahui jika teman-temannya yang lain sudah mencuri start dengan belajar insting hitung-hitungan sedari dini. Yang mereka tahu, mereka buruk dalam soal hitung- hitungan, dan pemahaman diri ini akan membuat mereka semakin takut menghadapi berbagai soal matematika.

Dokumen pribadi

Trauma matematika biasanya dimanifestasikan ke dalam rasa cemas dan takut jika melakukan kesalahan dalam hal menghitung angka. Selain karena faktor kurangnya pembekalan insting hitung-hitungan sedari dini, trauma akan matematika juga bisa disebabkan oleh sistem pengajaran yang kurang tepat.

Menurut Randy Palisoc, pengajar dari James Jordan Middle School, jika saja semua guru bisa menunjukkan bahwa matematika adalah salah satu bahasa berkomunikasi layaknya bahasa inggris dan bahasa-bahasa lainnya, maka anak-anak akan lebih bisa mengenal talenta alaminya dalam berlogika. Pemberian batas maksimal waktu pengerjaan soal hitung-hitungan kepada seseorang yang lemah dalam berhitung juga akan memicu ketakutan, dan mematikan memori otak mereka. Hal ini juga akan menyebabkan trauma matematika.

Jadi bagaimana agar semua anak tak mengalami trauma matematika? Kenalkan matematika sedari dini dengan pendekatan yang menyenangkan, seperti lewat permainan. Ketika anak melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal hitungan, jangan pernah memberi anak pesan bahwa mereka lemah dalam angka.Mengutip dari Big Think, Steven Pinker mencatat bahwa kita memang dilengkapi dengan beberapa intuisi matematika bawaan. Misalnya, balita dapat memilih gambar mana yang memiliki titik lebih sedikit, anak-anak dapat membagi makanan ringan untuk dibagikan, dan semua budaya memiliki kata-kata untuk angka.

Intuisi ini tidak sama dengan sistem aturan yang sangat formal yang kita mulai pelajari di sekolah dasar. Dia menjelaskan perbedaannya sebagai berikut: Siapa pun dapat memberi tahu Anda bahwa memotong bidang lebih pendek daripada berjalan di tepinya, tetapi dibutuhkan ahli matematika untuk menunjukkan bahwa "sisi miring sama dengan jumlah kuadrat di dua sisi lainnya."Tetapi jika matematika tidak tertanam dalam diri kita, mengapa beberapa orang menjadi ahli matematika sementara yang lain terus-menerus gagal?

Menurut hasil penelitian Lisa Blackwell, Kali Trześniewski, dan Carol Dweck, para siswa yang belajar bahwa kecerdasan dapat ditempa melalui kerja keras menerima nilai lebih tinggi, dan mereka yang beralih dari pola pikir tetap ke pola pikir berkembang menunjukkan peningkatan yang paling besar.Dengan mengganti mitos “orang matematika” dengan etos kerja keras dan mengembangkan mindset, kita dapat mengajari anak-anak untuk menjadi individu yang terbaik.

Bagi sebagian besar siswa, khususnya yang duduk di sekolah menengah, akan membantu mereka melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk meningkat, bukan menjadikan matematika sebagai sumber kecemasan yang melemahkan. Mungkin kita semua tidak bisa menjadi orang matematika, tapi kita semua bisa belajar untuk mencintai dan menghargai Ratu Ilmu Pengetahuan dalam hidup kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image