Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ardhienus

Menyeimbangkan Kredit Perbankan

Bisnis | Tuesday, 31 Oct 2023, 08:13 WIB

Salah satu fokus Bank Indonesia (BI) beberapa tahun belakangan ini adalah bagaimana mendorong kucuran kredit perbankan agar mengalir deras. Apabila ditengok ke belakang, setidaknya hampir satu dekade terakhir, pertumbuhan kredit sudah tidak pernah lagi menembus 15%. Padahal kucuran kredit memiliki hubungan garis lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin besar kredit tersalurkan, ekonomi pun akan tumbuh melambung tinggi.

Upaya BI untuk menggapai itu dilakukan melalui kebijakan pro pertumbuhan terutama dalam bentuk kebijakan makroprudensial. Beberapa instrumen kebijakan makroprudensial telah dikeluarkan, terakhir Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM). Kebijakan ini intinya memberikan insentif berupa pelonggaran giro wajib minumum (GWM) bagi bank yang menyalurkan kredit untuk hilirisasi, inklusif, hijau dan properti.

Meskipun ditujukan untuk mendorong pertumbuhan kredit tinggi, namun penyaluran kredit tetap dijaga dalam koridor keseimbangan sesuai yang diamanahkan Undang-Undang No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan kepada BI. Penyaluran kredit yang berlebihan atau eksesif dapat menjauhkan perbankan dari krisis. Pada level makro akan mengoptimalkan pembangunan. Sementara bank juga mendapatkan manfaat dalam bentuk kesinambungan laba dan usaha.

Banyak penelitian empiris membuktikan penyaluran kredit yang berlebihan mengandung risiko tinggi. Studi Reinhart dan Rogoff (2009) dan Altumbas et al (2011) membuktikan krisis perbankan yang sistemik diawali dengan periode pertumbuhan kredit yang berlebihan. Pada periode itu tanpa disadari terjadi proses pembangunan risiko (risk buildup) yang akan muncul tatkala ekonomi kontraksi.

Selain itu, dibalik pertumbuhan kredit yang berlebihan biasanya diikuti praktek-praktek tidak sehat seperti pelonggaran standar kredit, pemberian kredit pada nasabah yang kurang berkualitas yang cenderung berisiko tinggi, dan ketidakhati-hatian dalam proses penyaluran kredit. Akibatnya, dalam beberapa periode ke depan setelah kredit dikucurkan, kredit tersebut biasanya bakal bermasalah.

Sebaliknya, penyaluran kredit yang rendah juga dihindari karena dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi kurang optimal. Pasalnya, sumber pembiayaan untuk mendongkrak ekonomi masih sangat bergantung pada kredit perbankan. Ekonomi yang tidak tumbuh optimal berujung pada rendahnya tingkat kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Lalu apa indikator kredit seimbang itu? Ukuran keseimbangan kredit dapat dilihat dari dua sisi, industri dan individu bank. Secara industri, keseimbangan dapat mengacu pada peraturan BI tentang besaran modal dalam bentuk countercyclical capital buffer. Di aturan itu, kredit yang seimbang apabila rasio Credit to GDP Gap tidak melewati tren jangka panjangnya.

Apabila terlewati, maka penyaluran kredit bank tergolong eksesif. Konsekuensinya bank wajib menambah modal sebesar persentase tertentu. Tambahan modal itu berfungsi sebagai penyangga untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Sementara dari kacamata individu, kredit yang seimbang setidaknya dapat mengacu Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Rasio ini memberikan batasan keseimbangan antara 84-94% dari penempatan bank di kredit dan obligasi korporasi terhadap sumber dana berupa dana pihak ketiga (DPK), obligasi yang diterbitkan dan pinjaman yang diterima. Bila RIM di bawah 84% (tidak optimal) atau di atas 94% (berlebihan), bank diwajibkan memelihara GWM RIM sebesar persentase tertentu dari DPK.

Penyaluran kredit juga harus memperhatikan kesimbangan dari sisi maturitas. Sumber dana jangka panjang paling ideal ditempatkan di kredit yang umumnya jangka panjang. Sementara sumber dana jangka pendek dalam besaran tertentu ditempatkan di kredit dan sisanya ditempatkan di alat likuid. Keseimbangan ini akan meminimalkan bank terpapar risiko likuiditas.

Selanjutnya, keseimbangan dari sisi valuta. Dana yang didapat dalam bentuk valuta asing sebaiknya disalurkan ke kredit valuta asing. Dana rupiah untuk kredit rupiah. Bila dana valuta asing untuk kredit rupiah, bank harus menjaga agar porsinya tidak terlalu besar untuk menghindari bank terimbas risiko penurunan nilai tukar rupiah.

Terakhir, keseimbangan sisi sektor ekonomi. Bank hendaknya mengucurkan kredit tersebar ke banyak sektor ekonomi agar tidak terkonsentrasi pada sektor tertentu. Petuah lama yang mengatakan untuk tidak menempatkan telur dalam satu basket masih valid hingga kini.

Namun keberhasilan penyaluran kredit yang seimbang membutuhkan kerjasama erat dengan berbagai pihak kepentingan. Sinergi dan kolaborasi BI dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan, termasuk juga dengan industri dan masyarakat. Keguyuban itu menguntungkan semua pihak. Industri perbankan memperoleh laba dan ekonomi nasional juga akan tumbuh tinggi. Implikasi positifnya, kehidupan masyarakat akan kian makmur dan sejahtera.

*Artikel telah dimuat dalam kolom opini harian Bisnis Indonesia, Selasa 10 Oktober 2023

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image