Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ardhienus

Mengawal Aset Kripto

Bisnis | Monday, 30 Oct 2023, 08:26 WIB

Penetrasi aset kripto di pasar keuangan Indonesia tidak dapat dibendung. Meski pamor sedang meredup (crypto winter) imbas dari pengetatan kebijakan moneter global dan merebaknya berbagai skandal bursa kripto dunia, namun semua itu tidak menyurutkan animo masyarakat untuk berinvenstasi di aset kripto. Bahkan, investor aset kripto terus saja bertambah hingga melampaui investor di pasar saham.

Menurut catatan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), pada September 2023, terdapat penambahan pelanggan aset kripto sebanyak 119.410 pelanggan dengan nilai transaksi perdagangan fisik aset kripto mencapai Rp10,64 triliun. Nilai ini meningkat 13,5 persen bila dibandingkan bulan sebelumnya.

Sementara hingga Agustus 2023 jumlah pelanggan aset kripto terdaftar telah menyentuh angka 17,54 juta pelanggan dengan total nilai transaksi Rp86,45 triliun atau anjlok 65,32 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp249,3 triliun. Adapun jenis aset kripto yang banyak ditransaksikan yaitu Tether, Bitcoin, Ethereum, Ripple dan Binance Coin.

Apabila dilihat dari sisi payung hukum, Undang-Undang No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) telah mengakomodir dan mengakui adanya aset digital, termasuk aset kripto. Pasal 6 dalam UU tersebut telah memberikan kewenangan penuh kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengatur dan mengawasi aset digital, termasuk aset kripto. Dengan UU itu, kewenangan pengaturan dan pengawasan aset kripto beralih dari Babeppti kepada OJK hingga paling lambat Januari 2025.

OJK sendiri nampak terus bersiap diri dan saat ini telah membentuk kompartemen yang akan mengawasi aset kripto. Begitu pula dengan anggota dewan komisioner yang membawahi kompartemen itu. Ini menandai transisi pengawasan aset kripto dari Bappebti ke OJK sudah dimulai.

Sementara dilihat dari level global, umumnya aset kripto diakui sebagai instrumen investasi. Bahkan, beberapa negara membolehkan perbankan untuk memiliki eksposur aset kripto atau memfasilitasi aktivitas yang berkaitan dengan aset kripto, diantaranya Singapura dan Amerika Serikat. Namun dengan persyaratan yang ketat dan harus menegakkan prinsip kehati-hatian. Hal ini tidak lepas dari tingginya risiko aset kripto, seperti harus mendapatkan ijin dari pengawas, memiliki bobot risiko tinggi mencapai 1.250%, dan hanya melayani investor non ritel.

Pada sisi regulator global, induk regulator perbankan dunia, yaitu Bank for International Settlement (BIS) melalui Komite Basel pada Juni 2022 telah menyusun standar kehati-hatian atas eksposur bank terhadap aset kripto. Standar tersebut telah disetujui Komite Basel untuk diterapkan pada 1 Januari 2025.

Bursa kripto

Setelah menanti beberapa waktu dan sempat tertunda, akhirnya Bappebti mendirikan bursa kripto. Keputusan Bappebti itu dikeluarkan pada 17 Juli 2023 dengan menyetujui PT Bursa Komoditi Nusantara sebagai bursa berjangka aset kripto. Untuk melengkapi infrastruktur pasar aset kripto, pada tanggal yang sama Bappebti juga mendirikan dua lembaga lainnya. Pertama, lembaga kliring berjangka untuk penjaminan dan penyelesaian perdagangan pasar fisiki aset kripto dengan menunjuk PT Kliring Berjangka Indonesia. Kedua, lembaga pengelola tempat penyimpanan aset kripto dengan menunjuk PT Tennet Depository Indonesia.

Kehadiran bursa kripto berikut infrastruktur pasar pelengkapnya menunjukkan upaya pemerintah dalam menciptakan ekosistem perdagangan aset kripto sehingga terjamin kepastian hukum dan perlindungan konsumen. Dengan begitu berbagai skandal di luar negeri seperti FTX tidak terjadi di Indonesia. Pembentukan bursa kripto yang merupakan pasar terpusat dan diawasi otoritas akan menggantikan transaksi aset kripto yang selama ini menggunakan platform pedagang kripto.

Bursa kripto juga akan menjadi wadah yang aman untuk berinvestasi kripto sehingga transaksi aset kripto dan jumlah investor kian ramai dan berujung pada likuiditas yang lebih tinggi. Pada sisi lain, ramainya transaksi kripto dapat menyumbang pundi-pundi penerimaan negara. Sebagai catatan, sejak diberlakukannya pajak kripto pada 1 Mei 2022, pajak kripto yang diperoleh pemerintah hingga Juli 2023 telah mencapai Rp383,42 miliar.

Risiko

Meski aset kripto telah diterima sebagai salah satu instrumen investasi, namun aspek risiko tetap harus menjadi perhatian, tidak hanya bagi investor namun juga otoritas. Aset kripto sejatinya telah ada selama lebih dari satu dekade dan telah menunjukkan volatilitas yang begitu tinggi dan berkembang dengan sangat kompleks. Nilai aset kripto bisa melonjak atau menyusut secara drastis dalam waktu yang cepat. Sebagai misal, aset kripto Terra Classic yang valuasinya amblas hingga nyaris mendekati nol pada 20 Mei 2022 setelah sebelumnya menyentuh angka US$ 116 pada 4 Mei 2021. Penurunan nilai secara drastis pada aset kripto tersebut membawa kerugian yang amat dalam pada banyak investor.

Sementara bagi otoritas, aset kripto mengandung beberapa risiko yang perlu diwaspadai. Risiko pertama terkait dengan integritas keuangan. Aset kripto dapat digunakan untuk menfasilitasi pencucian uang dan pembiayaan illegal, termasuk pendanaan terorisme. Hal ini karena terbatasnya transparansi pada beberapa aset kripto menyebabkan sulitnya mengidentifikasi dan melacak kepemilikan aset kripto.

Risiko kedua, terkait dengan perlindungan konsumen. Aset kripto menimbulkan risiko yang terkait dengan volatilitas harga, kesalahan informasi, penipuan, pencurian atau kehilangan aset. Risiko ketiga, aset kripto dapat memicu risiko sistemik yang berujung pada instabilitas sistem keuangan, terutama bila perkembangan aset kripto melibatkan lembaga dan pasar keuangan tradisional, seperti perbankan.

Untuk itulah, perkembangan aset kripto perlu terus dikawal melalui regulasi dan pengawasan oleh seluruh pemangku kebijakan. Otoritas dapat mengacu pada hasil makalah Dana Moneter Internasioanal (IMF) dan Dewan Stabilitas Keuangan (FSB) yang dikeluarkan pada saat Presidensi G20 India 2023 beberapa waktu yang lalu. IMF dan FSB telah mengembangkan makalah yang berisi mengenai rekomendasi dan standar kebijakan. Rekomendasi dan standar kebijakan itu memberikan panduan komprehensif untuk membantu otoritas mengatasi risiko stabilitas makroekonomi dan keuangan yang ditimbulkan oleh aktivitas dan pasar aset kripto.

Sementara UU P2SK telah menetapkan dua otoritas yang melakukan pengawasan aset kripto yaitu Bank Indonesia dan OJK sesuai dengan kewenangan masing-masing. Bank Indonesia mengawasi dari sisi sistem pembayaran, sementara OJK dari sisi kehati-hatian perbankan dan institusi keuangan nonbank dalam berinvestasi ataupun memfasilitasi perdagangan aset kripto. Tak ketinggalan pula, masyarakat sebagai investor perlu terus menguatkan literasinya yang mencakup manfaat, potensi, dan risiko dari perdagangan aset kripto.

*Artikel telah dimuat dalam kolom opini harian Kompas tgl 24 Oktober 2023

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image