Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Zakia Hafshah

Pengaruh Konten Mental Health Terhadap Self Diagnosis di Kalangan Remaja

Edukasi | 2023-10-28 22:13:56
Ilustrasi seorang remaja yang terpengaruh maraknya fenomena self diagnose

Hadirnya perkembangan teknologi yang pesat berlanjut pada kemudahan akses informasi dari seluruh penjuru dunia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena di mana konten media sosial anak muda penuh dengan self-diagnosis terkait gangguan kesehatan mental. Self-diagnosis adalah proses dimana individu mendiagnosa diri atau mengidentifikasi gangguan yang ada pada dirinya.

Isu terkait kesehatan mental (mental health) ramai dibincangkan masyarakat sekarang ini, terutama di kalangan remaja. Maraknya isu kesehatan mental tersebut mendorong pihak-pihak tertentu untuk memberikan infomasi/penjelasan terkait kesehatan mental, ataupun mencoba untuk memberikan solusi terhadap mental seseorang yang sedang dalam keadaan buruk. Kesadaran terhadap kesehatan mental adalah langkah penting seseorang untuk mencari pertolongan/perhatian khusus (Schomerus dkk, 2019).

Bagaimana bisa mengetahui hal tersebut termasuk dalam kategori self diagnose?

Berdasarkan pengertian umum, situasi tersebut termasuk dalam self diagnose apabila seseorang sudah menarik kesimpulan akan kondisi kesehatan mentalnya tanpa bantuan ataupun konfirmasi dari profesional pada bidang tersebut. Dengan meningkatnya intensitas penggunaan platform seperti Twitter, Tiktok, Instagram, dan sebagainya, hal ini dapat menjadi sumber awal konten pembagian pengalaman orang lain yang dirasa "relate" atau mudah dipahami. Adanya label sosial sangat berpengaruh karena membuat situasi dimana beberapa orang merasa lebih dapat diterima dalam suatu lingkungan karena dianggap berbagi pengalaman yang serupa.

Aktivitas yang paling umum dilakukan adalah dengan mengerjakan kuis dan asesmen secara online yang sumbernya bahkan tidak kredibel dan bisa meruntun pada terjadinya misinformasi hingga memperparah kondisi yang sesungguhnya. Contoh gangguan kesehatan mental yang paling sering diklaim oleh para remaja di Indonesia adalah Anxiety Disorder, Bipolar, Depresi, maupun ADHD.

Apa alasan yang menyebabkan kalangan remaja cenderung memilih metode yang mudah?

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kalangan muda enggan untuk berkonsultasi dengan pihak profesional dan hanya memilih mengikuti kuis dan asesmen di sosial media. Menyadari bahwa sebagian remaja terutama kalangan menengah kebawah saat ini tidak memiliki akses yang mumpuni terhadap layanan kesehatan mental. Hal ini dipengaruhi faktor keuangan maupun pengetahuan yang terbatas sehingga menjadikan sosial media sebagai satu-satunya jalan dan akses utama bagi remaja yang tidak dapat menjangkau secara langsung bantuan dari profesional.

Dari fenomena tersebut, terlihat bahwa kemudahan dalam mengakses informasi tentang mental health menjadi 2 mata pisau bagi masyarakat saat ini. Di satu sisi timbulnya kesadaran (awareness) sekaligus tindak pencegahan menjadi salah satu hasil positif yang berasal dari mulai maraknya konten akan mental health di Indonesia. Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya membawa dampak baik mengingat kualitas literasi remaja di Indonesia yang masih belum bisa dibilang merata, muncul masalah-masalah baru dan menjadi "tren" tersendiri untuk meromantisasi gangguan kesehatan atau ajang pamer akan adanya kondisi gangguan kesehatan tersebut. Konten layanan masyarakat akan pentingnya sadar mengenai kesehatan mental diputar balik menjadi situasi di mana seorang remaja merasa tidak tertinggal dan merasakan hal yang dialami seperti remaja pada umumnya.

Jika fenomena seperti ini terus berlanjut, hal ini dapat menjadi justifikasi atas perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain (spreading misinformation) sehingga pada akhirnya dapat memperparah stigma mengenai gangguan mental yang sebenarnya. Gary dalam Pamungkas (2016) menyebutkan bahwa stigma merupakan kumpulan dari sikap, keyakinan, pikiran, dan perilaku negatif yang berpengaruh pada individu atau masyarakat umum untuk takut, menolak, menghindar, berprasangka, dan membedakan seseorang. Stigma tersebut memiliki berbagai dampak seperti berkurangnya harga diri penyintas, terhentinya pengobatan yang dilakukan penyintas, hingga glorifikasi. Hadirnya label atau stereotipe negatif akan cepat menyebar di kalangan remaja karena adanya fleksibilitas dalam mengakses informasi.

Bagaimana tindak lanjut untuk meminimalisir hal tersebut terus terjadi?

Penting untuk disadari bahwa tanda atau gejala yang dialami dapat dirasakan oleh semua orang tanpa otomatis terindikasi memiliki gangguan kesehatan mental. Saat ini masih banyak tanggapan yang menyebutkan bahwa gejala seperti mudah tersinggung, kurang konsentrasi, cepatnya perubahan suasana hati, kelakuan impulsif, dan sejenisnya sudah dikategorikan bahwa individu tersebut memiliki gangguan. Banyak yang melupakan fakta bahwa justru faktor penting akan indikasi gangguan tersebut adalah durasi, frekuensi, dan intensitas mengenai seberapa sering gejala tersebut dialami.

Perlu adanya tindak lanjut serta edukasi pemahaman yang membutuhkan partisipasi dari berbagai pihak mulai dari guru sebagai pendidik, orangtua sebagai fasilitator utama, maupun lingkungan sekitar yang turut serta mempengaruhi persepsi akan pentingnya melek kesehatan mental. Hal ini dapat dicegah dan diminimalisir apabila masyarakat Indonesia terutama kalangan remaja memiliki kemampuan literasi yang baik. Literasi sendiri tidak terpaku pada literasi baca tulis, berkaitan dengan topik mental health kali ini, maka perlu adanya edukasi dan bimbingan agar remaja di Indonesia dapat lebih melek akan literasi kesehatan. Kita sebagai calon pendidik, perlu paham dan menyadari betapa fatalnya kredibilitas informasi yang telah kita sampaikan.

Peran seseorang yang paham akan cara mengeksekusi konten edukasi dari segi kebahasaan dapat berperan penting dalam fenomena ini, dibandingkan membuat konten akan kesehatan mental berdasarkan pengalaman dari mayoritas remaja, akan jauh lebih efektif apabila konten dapat dikemas secara persuasif dengan niat untuk mengajak agar para remaja berkeinginan untuk langsung berkonsultasi pada ahli di bidang tersebut. Mulai dari tata cara mengakses aplikasi layanan kesehatan online, cara menghubungi dan mencari informasi mengenai tempat konsultasi yang terpercaya, ataupun mengedukasi para remaja agar semakin giat untuk mencari sumber layanan yang jauh lebih terjangkau dan dekat dengan lingkungan tempat ia menuntut ilmu.

Kunci utama sekaligus tindakan preventif yang berpengaruh besar bagi para remaja saat ini ialah adanya kemauan untuk “memilah dan memilih” informasi yang kredibel. Mengingat sebenarnya pada saat ini sudah banyak layanan kesehatan mental secara gratis, maka yang perlu dilakukan adalah memanfaatkan fasilitas tersebut semampu kita. Tidak terbatas kepada layanan kesehatan mental secara online, saat ini banyak sekolah dan kampus di Indonesia yang peduli akan pentingnya edukasi mengenai kesehatan mental.

Berbagai institusi bersedia memfasilitasi layanan tersebut dan membuka lebar akses untuk memberikan bantuan, kembali lagi kepada kesadaran dari diri setiap remaja, perlu niat serta kemauan yang kuat untuk dapat mendatangi tempat yang berhubungan dengan konseling akan kesehatan mental. Saat inilah peran pendidik turut dipertanggungjawabkan mulai dari melakukan observasi, turut membantu dalam proses mencari informasi, hingga melakukan pendekatan yang efektif agar individu di kelasnya menemukan jalan keluar dari permasalahan tersebut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image