Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Susianah Affandy

Politik Akal Sehat, Jaga Persatuan dan Kesatuan

Politik | Thursday, 26 Oct 2023, 22:39 WIB

Di tengah merebaknya hoaks satire yang menyerang Presiden RI dan keluarganya pasca putusan Mahkamah Konstitusi, ternyata masih banyak publik yang saling mengingatkan untuk jaga persatuan dan kesatuan dalam banyak platform media sosial.

Sumber foto : KBBI lektur

Merefer dari pesan berantai di media sosial, kita bisa mengetahui akun siapa saja yang senang menyebar pesan-pesan hoaks dan ujaran kebencian. Sebagian besar mereka berlatar belakang pendukung dan simpatisan Capres. Yang lebih ironi lagi, akun-akun penyebar hoaks dan ujaran kebencian juga didominasi para buzzer bayaran. Artinya mereka menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian karena ada tendensi bayaran atas apa yang mereka lakukan di media sosial. Lalu bagaimana dengan kita sebagian besar warga negara yang bukan bagian tim relawan, juga bukan buzzer apakah akan ikut-ikutan menjadi bagian yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa?

Di antara pesan-pesan menjaga persatuan dan kesatuan yang tersebar di media sosial khususnya saluran WhatsApps adalah ajakan untuk menjaga akal sehat tetap waras di tahun politik saat ini. Menurut KBBI akal memiliki arti daya pikir memahami sesuatu. Pertanyaannya mengapa kita harus menjaga akal sehat?

Belajar dari pengalaman Pilpres tahun 2019, persaingan yang tajam antar pendukung pasangan Capres-Cawapres telah membentuk polarisasi yang mengancam pada persatuan dan kesatuan bangsa. Mari sejenak kita merenung dan melihat apapun yang lewat di beranda medsos terkait politik dapat disikapi dengan bijak, tetap tenang, tidak mudah tersulut apalagi menjadi bagian kurir gratis dengan turut menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian.

Sebagai insan yang memiliki budi pekerti dan akhlak yang baik, di manakah nilai diri kita jika menjadi bagian dari orang yang mencaci maki pemimpin yang kemarin ikut membesarkan kita. Pemimpin yang kita percaya, kini tiba-tiba banyak dimaki-maki hanya karena perbedaan pilihan politik. Apakah kita akan menjadi bagian dari orang yang makan dari piring yang kita ludahi atau meminum air sumur yang kita ludahi. Itulah gambaran dari para elit yang kini sibuk melakukan agitasi kebencian di tahun politik. Mereka kemarin (hitungan bulan) adalah bagian dari tim inti Pemerintahan tapi kini paling keras menghujat.

Akal sehat kita tentu masih mengingat dengan baik bagaimana diplomasi politik yang digunakan para elit dan politisi di negeri ini dalam meraih kekuasaan. Pertama, Prabowo Subianto Ketua Umum Partai Gerindra merupakan lawan politik Presiden RI Jokowi Widodo dalam Piplres tahun 2014 dan 2019. Saat ini Prabowo Subianto adalah Menteri Pertahanan RI di bawah Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin oleh Jokowi yang dulu menjadi rivalnya. Pada Pilpres 2024 nanti, Prabowo akan didampingi oleh Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Jokowi.

Kedua, pada pelaksanaan Pilpres 2014 silam, Mahfud MD adalah Ketua Tim Pemenangan Prabowo bersaing dengan Jokowi yang diusung oleh PDI Perjuangan. Saat ini Mahfud MD adalah Cawapres Ganjar yang akan berkompetisi dengan Prabowo pada Pilpres Tahun 2024. Ketiga, hadirnya Anies Rasyid Bawesdan juga menjadi bagian dari hadirnya pemimpin di Indonesia. Ia pernah mengikuti Konvensi Capres Partai Demokrat. Anies juga pernah menjadi bagian Tim Pemenangan Joko Widodo dan menjadi Menteri Pendidikan dalam Kabinet Kerja. Anis juga tercatat dalam sejarah menjadi bagian dalam Kubu yang diusung Gerindra pimpinan Prabowo saat Pilkada DKI Tahun 2017 silam. Saat ini posisi Anis menjadi rival ketiga tokoh yang membesarkannya (SBY, Jokowi dan Prabowo).

Keempat, munculnya Sandiaga Uno sebagai Wakil Gubernur memimpin DKI Jakarta bersama Anis. Pada Pilpres 2019 menjadi Cawapres Prabowo. Dua moment perebutan kekuasaan tersebut diusung oleh Partai Gerindra pimpinan Prabowo. Kini Sandiaga Uno berhadapan dengan dua orang yang membesarkannya. Sandiaga Uno berada dalam kubu PDI Perjuangan yang dulu merupakan lawan politik.

Dari rekam jejak sejarah perpolitikan di atas, akal sehat kita tentu akan memiliki kesimpulan yang sama bahwa dalam politik tak ada kawan sejati, yang ada kepentingan abadi. Para elit politik secara regulasi tidak ada larangan bergonta-ganti pasangan calon dan koalisi parpol di mana yang awalnya merupakan lawan kemudian berubah menjadi kawan. Istilah Jawa, pagi kedelei-sore tempe.

Lalu bagaimana dengan kita sebagai warga negara. Kita seharusnya tetap berpolitik dengan akal sehat yakni tetap menjaga persatuan dan kesatuan. Kita tidak perlu memusuhi kawan, kerabat apalagi orang-orang yang tidak kita kenal hanya karena perbedaan pilihan Capres.

Jika anda bukan simpatisan dan buzzer, seyogyanya menjaga diri untuk turut menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. Apa yang kita share akan dibaca public dan rekam jejaknya menjadi acuan bagi dunia usaha dalam rekrutmen SDM. Selain itu, sementara anda terlanjur memutus persahabatan bahkan persaudaraan demi Capres, pada saat yang sama para elit yang berkompetisi sudah menjalin kerjasama satu sama lain. Elit politik meraih kekuasaan sedangkan anda kehilangan persahabatan. Pesan yang menggelitik di media sosial adalah : Ingatlah, jika hidupmu susah, yang akan menolong bukanlah para elit politik, tapi kawanmu, tetanggamu, dan saudaramu. Mari jaga persatuan dan kesatuan. Pilihan boleh beda, NKRI tetap satu.

Susianah Affandy

Penulis adalah Wakil Ketua Umum DPP Pencinta Tanah Air Indonesia

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image