Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Pentingnya Pendidikan Politik bagi Kaum Perempuan Perdesaan

Politik | 2023-10-20 12:54:41

PENTINGNYA PENDIDIKAN POLITIK BAGI KAUM PEREMPUAN PERDESAAN

Obyek dari pekerjaan saya adalah perempuan. Sebagai seorang Pendamping Sosial, setiap hari saya berurusan dengan ibu-ibu dari Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Bantuan Sosial dari Kementerian Sosial RI. Tugas utama saya adalah melakukan pemberdayaan terhadap mereka agar terjadi perubahan pola pikir dan perilaku sehingga dapat meningkatkan taraf ekonomi keluarga.

Dalam pengamatan saya menjelang Pemilu 2024, pengetahuan dan pemahaman mereka tentang politik masih sangatlah minim. Apa itu pemilu, tujuan diadakannya pemilu, mengapa harus memilih partai dan caleg, termasuk pemahaman mengenai demokrasi, mereka belum memahaminya secara baik dan benar.

Sejauh ini, mereka mendapatkan informasi soal pemilu dari televisi, media sosial, atau mendengar apa kata orang. Sekalipun ada sosialisasi yang dilakukan oleh perangkat desa atau Panitia Pemungutan Suara (PPS) tingkat desa, itu pun hanya sebatas hal-hal teknis, seperti surat suara, nama partai dan nama caleg, cara mencoblos, cara melipat dan memasukkan ke kotak suara, dll.

sumber: https://jurnalpost.com

Sasaran Empuk Politik Uang

Saya melihat, para caleg dan kader partai cukup aktif turun ke desa-desa, door to door untuk melakukan pendekatan dan mengajak mereka untuk bersedia memilih partai dan caleg tertentu. Pendekatan yang selama ini mereka lakukan adalah pemberian reward (baca=money politic) apabila mereka bersedia memilih. Dan sasaran utamanya adalah kaum perempuan. Pertimbangannya, mereka lebih mudah “dibeli” daripada kaum laki-laki.

Apa yang dilakukan oleh para caleg dan kader lebih bersifat jangka pendek. Mereka ingin mendapatkan suara yang cukup dan bisa terpilih menjadi anggota legislatif. Setelah itu, urusan selesai. Mereka ditinggalkan dan tidak diingat-ingat lagi. Bahkan, janji-janji manis yang semula mereka obral, kini menjadi sepahit batang brotowali, sirna diterpa angin kekuasaan.

Sebagian perempuan perdesaan menilai bahwa pemilu tak ada hubungannya dengan kehidupan mereka sehari-hari. Itu urusan wong dhuwuran (orang atas). Mereka menyamakan pemilu dengan bagi-bagi amplop. Siapa yang datang terlebih dahulu atau berani memberinya lebih daripada yang lain, maka itulah yang akan dipilihnya. Tak peduli dari partai apa dan siapa calegnya.

Dari cerita ibu-ibu yang sering saya temui, setiap ada momen pemilu maupun pilkada, mereka berharap akan mendapatkan uang seperti biasanya. Mereka merasa senang kalau ada pemilu, karena bakal dapat uang. Bukan senang karena bisa memilih partai dan caleg secara bebas sesuai dengan hati nurani. Parahnya lagi, sebagian mereka malah proaktif mendekati para caleg atau kader, menawarkan diri untuk ikut serta mengajak orang lain, agar bisa mendapatkan jatah uang yang lebih.

Para caleg memang membodohi para pemilih dengan politik uang. Tapi tidak sedikit pula caleg yang “dibodohi” oleh kader maupun tim suksesnya. Dengan alasan agar bisa memang, mereka sedapat mungkin menguras isi kantong para caleg. Sehingga yang terjadi, para caleg sudah bakar uang habis-habisan, kalah pula.

Dari sisi caleg sendiri, mereka juga berkeyakinan bahwa kalau ingin bisa memang ya harus keluar uang banyak. Tanpa modal uang yang sangat besar, mustahil bisa menang.

Sungguh suatu ironi, demokrasi Pancasila yang berdasarkan Ketuhan Yang Mahaesa berganti menjadi berdasarkan Keuangan Yang Mahakaya.

Di Sisi Lain

Sekalipun sebagian besar perempuan perdesaan dalam menyalurkan hak pilih karena faktor uang, akan tetapi pada dasarnya mereka tetap memiliki kemerdekaan penuh untuk menentukan pilihan. Siapa yang akan tahu partai mana dan siapa caleg yang mereka coblos saat hari H. bisa jadi mereka “berkhianat” terhadap sang pemberi uang. Atau kemungkinan lain, mereka datang ke TPS namun tidak mencoblos (golput), atau sebaliknya mencoblos lebih dari satu partai atau caleg.

Sementara itu, ada sekelompok perempuan perdesaan yang barangkali mereka tidak terkena politik uang, tapi justeru tidak memiliki kekebasan memilih secara penuh. Golongan ini sebenarnya memiliki pengetahuan dan wawasan tentang politik secara baik dan memadai. Sayangnya, mereka memilih partai dan caleg tertentu karena adanya faktor TEKANAN atau bahkan PAKSAAN. Mereka melakukannya karena takut kehilangan pekerjaan, takut dimutasi, atau bahkan dipecat dari pekerjaannya.

Kelompok ini sebenarnya sudah melek politik. Mereka paham betul perihal demokrasi (Pancasila), kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan pilihan, proses pemilu atau pilkada, apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan tidak benar. Mereka termasuk pemilih cerdas dan terpelajar. Namun apalah daya, realitas di lapangan berbeda dengan prinsip-prinsip atau nilai yang dianutnya. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, mereka terpaksa mengorbankan ideologi.

Tanggung Jawab Siapa?

Apabila kaum perempuan perdesaan masih minim pengetahuan dan wawasannya tentang demokrasi, lantas siapa saja yang bertanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik kepada mereka?

Mau berharap kepada para caleg atau kader partai, tentunya mereka hanya akan melakukan hal-hal yang sekiranya menguntungkan mereka saja. Mau berharap kepada perangkat desa atau perangkat kecamatan, mungkin bisa tapi tidak akan maksimal, karena biasanya mereka “berpihak” kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Berharap kepada Panitia Pemungutan Suara (PPS) tingkat desa dan kecamatan, atau kepada Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam), kalau yang bersifat iya.

Berharap kepada media massa seperti televisi atau radio, meskipun mereka mempunyai slogan independen, kita semua mengakui bahwa pemilik media akan condong kepada parpol tertentu, bahkan beberapa di antaranya memiliki partai tersendiri.

Lantas siapa dong?

Ya, jawabannya kita semua. Kita yang merasa terpanggil untuk berkontribusi dalam pendidikan politik terhadap masyarakat. Siapa pun kita, tidak harus menjadi pejabat pemerintah, pengurus parpol, anggota legislatif, atau menjadi pemilik media; semuanya memikul tanggung jawab yang sama. Bukankah kita semua menginginkan agar demokrasi Pancasila benar-benar dapat diterapkan di negeri ini.

*****

Setengah abad lebih Indonesia melaksanakan hajatan pemilu, namun kenyataannya masih banyak kaum perempuan di perdesaan yang belum melek politik. Mereka sering menjadi sasaran politik uang. Ketidaktahuan mereka tentang dunia politik dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Terlebih mereka rata-rata berpenghasilan rendah, sehingga di sisi lain mereka memang membutuhkan uang.

Oleh karena itu, pendidikan politik bagi kaum perempuan perdesaan begitu urgen.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image