Ujaran Kebencian yang Sering terjadi di Sekitar Kita
Eduaksi | 2023-10-19 15:27:04
Dalam bahasa umum, “perkataan yang mendorong kebencian” mengacu pada wacana ofensif yang menargetkan suatu kelompok atau individu berdasarkan karakteristik yang melekat (seperti ras, agama atau gender) dan dapat mengancam perdamaian sosial.
Untuk memberikan kerangka kerja terpadu bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengatasi masalah ini secara global, Strategi dan Rencana Aksi PBB mengenai Perkataan Kebencian mendefinisikan perkataan yang mendorong kebencian sebagai “ segala jenis komunikasi dalam ucapan, tulisan atau perilaku, yang menyerang atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif yang mengacu pada seseorang atau suatu kelompok berdasarkan siapa dirinya , dengan kata lain, berdasarkan agama, suku, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, jenis kelamin, atau faktor identitas lainnya.”
Namun, hingga saat ini belum ada definisi universal mengenai ujaran kebencian berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional. Konsep tersebut masih dalam pembahasan, terutama terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi, non-diskriminasi, dan kesetaraan.
Meskipun definisi di atas bukan merupakan definisi hukum dan lebih luas dari “hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan” yang dilarang berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional – hal ini memiliki tiga ciri penting:
1. Perkataan kebencian dapat disampaikan melalui segala bentuk ekspresi, termasuk gambar , kartun , meme , benda , gerak tubuh, dan simbol , dan dapat disebarluaskan secara offline maupun online.
2. Perkataan yang mendorong kebencian bersifat “diskriminatif” (bias, fanatik, atau tidak toleran) atau “merendahkan” (berprasangka buruk, menghina, atau merendahkan) terhadap individu atau kelompok.
3. Perkataan kebencian menyebutkan “faktor identitas” yang nyata atau dirasakan dari seorang individu atau kelompok, termasuk: “agama, etnis, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, gender,” namun juga karakteristik seperti bahasa, asal usul ekonomi atau sosial, disabilitas, status kesehatan, atau orientasi seksual, dan banyak lainnya.
UJARAN KEBENCIAN DAPAT DI PIDANA?
Indonesia sebenarnya telah memiliki aturan hukum yang dapat digunakan untuk menindak perkara hasutan kebencian. Meskipun aturan itu masih perlu diperkuat oleh aturan-aturan lain yang belum ada supaya lebih efektif, tetapi tidak tertanganinya dengan baik perkara ujaran kebencian bukan karena lemahnya aturan yang ada. Aturan yang menangani secara hukum Ujaran Kebencian adalah Pasal 156 KUHP: “Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Selama ini, Ujaran Kebencian (Hate Speech) berdampak pada pelanggaran HAM ringan hingga berat. Selalu awalnya hanya kata-kata, baik di media sosial, maupun lewat selebaran, tapi efeknya mampu menggerakan massa hingga memicu konflik dan pertumpahan darah.
MENGAPA UJARAN KEBENCIAN BERBAHAYA?
Ujaran Kebencian atau Hate speech telah menjadi permasalahan hukum dan sosial saat ini. Di era globalisasi yang didukung media informasi tanpa batas, banyak pihak atas dasar kebebasan berekspresi melanggar hak asasi orang lain. Yaitu megeluarkan ujaran atau ungkapan yang tidak didasarkan pada bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Kasus-kasus seperti pencemaran nama baik dan hasutan kebencian masih menghiasi pemberitaan di media massa.
Selain dapat berdampak pada tindakan diskriminasi dan kekerasan, yang lebih berbahaya adalah timbulnya disintegrasi dan disharmonis sosial. Sebagai negara yang berdiri di atas kemajemukan, pemerintah perlu memperhatikan faktor-foktor yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, konstitusi dan demokrasi. Tindakan hate speech atas dasar kebencian terhadap ras, suku dan agama dapat menjadi faktor utama perpecahan bangsa. Oleh karenanya, perlu penegakan hukum secara tegas atas tindakan yang mengandung unsur ujaran kebencian atau hate speech.
UJARAN KEBENCIAN MENIMBULKAN KONFLIK
Ujaran kebencian atau umpatan dapat menyakiti perasaan orang lain dan menimbulkan rasa tidak nyaman, dan bahkan dapat menyerang sistem mentalitas seseorang, sehingga timbul konflik sebagai respons dari ujaran kebencian tersebut. Masalah akan timbul bila mereka yang sama ini membedakan dengan orang lain. Maka, negara punya posisi penting untuk menjaga tidak terjadinya pembeda di antaranya. Bahkan, golongan dapat melahirkan politik golongan atau identitas, Dengan adanya Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE negara wajib melindungi semuanya, termasuk dalam kategori di luar suku, agama, dan ras.
HATE SPEECH DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI
Problem hate speech berkaitan langsung dengan kebebasan berekspresi, yang secara spesifik merujuk kepada free speech/kebebasan berbicara. Bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak asasi yang didasari pada prinsip-prinsip umum. Secara mendasar manusia diberi kebebasan untuk mengekpresikan apapun atas dasar pikiran dan keyakinananya.
Menurut Anna Weber menyatakan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi terdapat dalam European Convention of Human Right (ECHR) Pasal 10 ayat (2). Dalam artikel nomor 10 dejelaskan bahwa dalam melaksanakan hak kebebasan berekspresi maka harus memperhatikan juga kewajiban dan tanggungjawab. Lain dari itu seseorang harus memperhatikan berbagai hal seperti formalitas, kondisi, pembatasan dan hukuman sebagaimana di atur dalam undang-undang.
Merujuk kepada regulasi HAM didasarkan pada Kovenan Sipil dan Politik kebebasan tersebut dapat dibatasi. Yaitu adalah semata-mata untuk menjamin keamanan publik, kesehatan publik, moral publik dan hak asasi orang lain. Syarat lain dari pembatasan tersebut adalah harus terlegislasikan berupa produk undang-undang.
Legislasi hate speech adalah mencakup penanggulangan terhadap merebaknya tindakan tersebut, menurunkan peningkatan kebencian, penghinaan dan kekerasan terhadap kelompok tertentu. Menurut membela free speech maka legislasi pembatasan tidak diperlukan. Hate speech dapat efektif ditanggulangi dengan memegang teguh prinsip kenyamanan atas kebebasan berbicara sebisa mungkin. Bahkan secara historis, perkataan mempunyai tempat yang tinggi dari sudut pandang kebebasan manusisa, sehingga dapat menjamin perkembangannya sendiri tanpa aturan yang ketat.
DAMPAKNYA MENIMBULKAN 2 PANDANGAN BERBEDA?
Pandangan Positif:
1. Sebagai makhluk sosial, kebencian bisa kita gunakan sebagai referensi untuk menjadi orang yang lebih baik karena kinerja otak manusia lebih mau berkembang dalam lingkungan yang semakin mendesak.
2. Dikarenakan kita manusia yang berdosa, melihat masyarakat yang banyak saling membenci memberi kita motivasi untuk menjadi lebih beriman daripada masyarakat tersebut dan mengakibatkan kita untuk lebih beragama.
Pandangan Negatif:
1. Kebencian sudah tidak jarang didengar dimana-mana secara offline maupun online, sampai berdampak kenaikannya kriminalias dan perbuatan perbuatan jahat.
2. Tertinggalnya pendidikan Indonesia terhadap negara tetangga lainnya karena masalah kecil yang susah diselesaikan oleh keluarga, teman, dan pemerintah kita.
UPAYA PENCEGAHANNYA
Upaya pencegahan terjadinya kejahtan ujaran kebencian (hate speech) dengan memberikan penyuluhan ataupun sosialisasi kepada masyarakat luas mengenai informasi dampak media elektronik jika tidak digunakan dengan bijak, etika menggunakan media sosial dengan memberikan pengetahuan hukum mengenai UU ITE.
Dengan melibatkan Organisasi masyarakat dan masyarakat untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan ke setiap daerah yang masyarakatnya masih belum paham dan mengetahui apa itu Ujaran Kebencian (Hate Speech) dan Undang-Undang yang mengatur mengenai Ujaran Kebencian (Hate Speech) serta dampak yang ditimbulkan dari pelaku yang melakukan Ujaran Kebencian (Hate Speech).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.