Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Edu Sufistik

Model-model Kecerdasan Hati

Agama | Thursday, 12 Oct 2023, 14:56 WIB

Oleh: Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

(Founder Edu Sufistik)

Pada tulisan sebelumnya, sudah dibahas konsep kecerdasan hati. Hati merupakan pusat kecerdasan dan kepribadian. Kecerdasan hati menentukan kualitas kepribadian seseorang. Hati memiliki daya-daya yang menggambarkan kecerdasan yang dimilikinya.

Daya Kognitif-Intuitif

Daya pertama yang dimiliki hati adalah daya berakal dan memahami sesuatu. Pengertian ini dipahami dari ayat Al-Qur’an, “ Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) ”. (QS. Al-A’raf [7]: 179).

Thabathaba’i, dalam tafsirnya Al-Mizan, menerangkan bahwa hati memiliki daya kognitif-intuitif. Artinya, manusia tidak hanya mampu menerima pengetahuan yang bersifat kognitif dan intelektual, tetapi juga mampu menerima pengetahuan yang bersifat ilham dan pencerahan.

Manusia dengan potensi hatinya mampu menerima dan membenarkan pengetahuan berupa ilham dan firasat yang berasal dari Allah Subhanahu wata’ala. Jenis pengetahuan ini bersifat intuitif-ilahiah. Pengetahuan semacam ini terkadang tidak mampu dicerna oleh akal rasional, tetapi dapat dirasakan keberadaannya.

Hati akan memeroleh puncak pengetahuan yang bersifat intuitif-ilahiah apabila manusia telah menyucikan dirinya, sehingga terjadi kasyf (tersingkapnya tabir penghalang antara hati dengan ilmu Allah). Karena itu, optimalisasi daya kognitif-intuitif hati dapat melahirkan kecerdasan intelektual-intuitif. Inilah jenis kecerdasan hati yang pertama.

Suatu hari, seorang ulama besar peletak dasar ilmu Ushul Fiqh, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, mengeluhkan hafalannya yang menurun kepada gurunya, Imam Waqi’ rahimahullah. Kemudian, sang guru yang alim dan bijak itu berkata, “Ilmu adalah cahaya Allah. Dan, cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.”

Nasihat Imam Waqi’ kepada Imam Syafi’i di atas memberikan pemahaman bahwa maksiat dapat mengotori hati, sehingga daya hati untuk menerima pengetahuan menjadi menurun. Jika maksiat dilakukan terus-menerus, maka hati akan tertutupi oleh noda dosa, sehingga daya intelektual-intuitif yang dimilikinya tidak berfungsi sama sekali.

Inilah yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an, “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj [22]: 46).

Daya Emosi

Daya kedua yang dimiliki hati adalah daya emosi. Hati, secara psikologis, memiliki daya emosi yang melahirkan perasaan. Apabila daya emosi hati mengaktual secara benar dan optimal, maka daya ghadab (amarah) yang memiliki natur syabu’iyah (binatang buas) berubah menjadi kemampuan (quwwah) dan keberanian (syaja’ah). Sedangkan, daya syahwat yang memiliki natur bahimiyah (binatang ternak) berubah menjadi keinginan (iradah) dan penjagaan diri (‘iffah). Kemampuan mengaktualisasikan daya emosi hati akan melahirkan kecerdasan emosional, yaitu pengenalan dan penggunaan daya emosi hati secara benar dan optimal.

Inilah yang dimaksud oleh Al-Qur’an, “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya engkau bersikap kasar dan berhati keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal”. (QS. Ali ‘Imran [3]: 159).

Pada ayat di atas, siapapun dapat memilih untuk bersikap lemah lembut atau kasar dalam menghadapi suatu masalah. Akan tetapi, memilih menggunakan sikap lemah lembut dan mengesampingkan sikap kasar dibutuhkan kecerdasan. Inilah yang dinamakan dengan kecerdasan emosional hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seseorang yang memiliki kecerdasan emosional hati yang paripurna.

Ketika Rasulullah dakwah ke Thaif. Sesampainya di Thaif, bukan sambutan hangat yang beliau dapatkan, malah lemparan batu yang membuat Rasulullah terluka. Bahkan, Rasulullah harus berlari dan bersembunyi di sebuah kebun untuk menghindari penduduk Thaif yang brutal. Di saat itu, Jibril turun dan menawarkan kepada Rasulullah untuk membinasakan penduduk Thaif dengan menimpakan gunung ke perkampungan mereka.

Akan tetapi, Rasulullah menjawabnya dengan doa, “Sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui. Aku berharap kelak dari keturunan mereka lahir generasi yang bertauhid.”

Rasulullah berharap –dengan doanya— semoga generasi penduduk Thaif berikutnya dapat menerima ajaran Islam yang disampaikan kepadanya. Dalam konteks ini, Rasulullah telah mengajarkan bahwa kita bisa memilih menggunakan sikap lemah lembut dan mengesampingkan sikap kasar dalam menyikapi setiap masalah dan peristiwa. Hal ini sekaligus menunjukkan tingkat kecerdasan emosional kita.

Daya Spiritual

Daya ketiga yang dimiliki hati adalah daya spiritual. Daya spiritual hati jika dioptimalkan akan menghasilkan kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan hati yang berhubungan dengan kemampuan memberikan makna terhadap setiap aktifitas yang dilakukan sebagai bagian integral dari pengabdian kepada Allah.

Danah Zohar dan Ian Marshall mendefiniskan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna (value), yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Sementara Ary Ginanjar Agustian, dalam bukunya ESQ, menulis bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku, dan aktifitas serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara komprehensif.

Khalid bin Walid adalah seorang prajurit muslim yang gagah berani dan jenius. Kejeniusannya dalam strategi perang tak diragukan lagi. Sebelum masuk Islam, Khalid-lah aktor intelektual dibalik kekalahan pasukan muslim pada perang Uhud di samping ketidakpatuhan pasukan pemanah atas instruksi Rasulullah.

Sesudah masuk Islam, Khalid memberikan kontribusi penting dalam setiap kemenangan yang diraih pasukan muslim dalam peperangan. Salah satunya adalah pada perang Mu’tah. Tiga panglima pasukan muslim sebelumnya telah syahid di medan perang. Pasukan muslim dalam keadaan terjepit. Saat itulah, Khalid bin Walid mengambil inisiatif kepemimpinan sebagai panglima perang. Khalid kembali menunjukkan kejeniusannya dalam berperang. Pasukan muslim yang sudah terjepit bisa mengimbangi dan perang berakhir dengan imbang.

Setelah perang Mu’tah, nama Khalid bin Walid sebagai panglima perang semakin berkibar. Pasukan muslim yang dipimpinnya, dengan izin Allah, selalu memenangkan setiap peperangan. Ia pun dijuluki panglima perang yang tak pernah kalah dan pedang Allah yang terhunus. Namun, pada masa Khalifah Umar bin Khatthab, atas pertimbangan mencegah munculnya kultus terhadap Khalid, Khalifah Umar bin Khatthab mencopot Khalid dari jabatannya sebagai panglima perang dan mengangkat Abu Ubaidah bin al-Jarrah sebagai penggantinya.

Kecewakah Khalid atas pencopotan itu? Sama sekali tidak! Ia tidak mengejar jabatan dalam berjihad. Khalid berperang bukan karena Umar bin Khathhab, melainkan karena Allah semata. Menjadi panglima atau prajurit, Khalid tetap mengikuti setiap peperangan melawan musuh-musuh Islam. Niatnya adalah mengibarkan panji-panji Islam dan menegakkan agama Allah. Khalid bin Walid adalah contoh orang yang memiliki kecerdasan spiritual.

Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari, seseorang yang berprofesi sebagai tukang sapu jalanan jika memiliki kecerdasan spiritual, maka ia akan mampu memaknai pekerjaannya sebagai bagian integral dari pengabdian kepada Allah. Ia bisa memaknai pekerjaannya sebagai upaya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Bukankah Islam memerintahkan umatnya agar menjaga kebersihan? Bahkan, Allah mencintai orang-orang yang membersihkan diri. Ketika ia telah mampu memberikan makna spiritual pada pekerjaannya, maka hasilnya ia akan melakukan pekerjaan tersebut dengan suka cita dan menampilkan performa terbaik.

Inilah yang diajarkan dalam Al-Qur’an, “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah [9]: 105).

Fitrah Beragama

Daya keempat yang dimiliki hati adalah fitrah beragama. Daya ini jika teraktualisasi secara optimal akan menghasilkan kecerdasan agama, yaitu kecerdasan hati yang berhubungan dengan kualitas beragama dan ber-Tuhan. Fitrah manusia adalah cenderung kepada Tuhannya. Ia ingin mengenal dan dekat dengan Tuhannya.

Fitrah ini tak bisa dipungkiri oleh siapapun. Bahkan, seorang Fir’aun sekalipun yang memproklamirkan diri sebagai tuhan, pada akhir hayatnya mengakui fitrah keberagamaan ini. Ia mengatakan, “ Sehingga ketika Fir’aun hampir tenggelam dia berkata, ‘Aku percaya bahwa tiada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang muslim (berserah diri).’” (QS. Yunus [10]: 90).

Inilah yang diterangkan dalam Al-Qur’an bahwa setiap manusia yang terlahir ke dunia telah melakukan perjanjian primordial dengan Allah, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’” (QS. Al-A’raf [7]: 172).

Contoh lain yang membuktikan fitrah beragama dan ber-Tuhan pada diri manusia adalah kisah masuk Islam-nya Umar bin Khathab. Siang itu, seorang jawara kaum kafir Quraisy yang gagah perkasa, berjalan angkuh sambil menghunuskan pedangnya. Rupanya ia hendak mencari seseorang untuk dibunuh. Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Nu’aim bin Abdullah.

“Hai Umar, hendak kemana kau?” tanya Nu’aim.

“Saya mau mencari Muhammad dan membunuhnya. Dia sudah membuat saya gerah dengan aktifitasnya menyebarkan agama baru itu”, jawab Umar lantang.

“Lebih baik kau urus saja dulu adikmu dan suaminya. Mereka sudah memeluk agama baru itu dan menjadi pengikut Muhammad.”

“Apa kau bilang? Kau tidak bohong ‘kan?” tanya Umar sambil merenggut kerah baju orang itu.

“Datanglah ke rumah adikmu, kau akan membuktikan sendiri kata-kataku.”

Umar bergegas menuju rumah adiknya. Langkahnya lebih cepat dari sebelumnya. Rona mukanya merah padam. Nampaknya, amarahnya semakin membakar. Namun, sesampainya di depan pintu rumah adiknya, seketika langkah Umar terhenti. Kakinya seperti berat untuk melangkah. Umar tertegun. Telinganya menangkap alunan suara ayat-ayat suci nan agung. Adik Umar dan suaminya sedang membaca ayat Al-Qur’an surat Thaha ayat 47 sampai 61.

“ Wassalaamu ‘alaa mani-ittaba’a al-hudaa” (Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk). (QS. Thaha [20]: 47).

Sampai akhir ayat ke-61, “Waqad khaaba mani-iftaraa” (Dan sungguh rugi orang-orang yang mengada-adakan kebohongan). (QS. Thaha [20]: 61).

Umar, jawara Mekah yang gagah perkasa, ambruk tersihir pesona Al-Qur’an. Seketika rona mukanya berubah teduh. Hati Umar luluh. Umar yang mengerti Bahasa Arab, paham betul bahwa ayat-ayat yang dibaca adiknya tidak mungkin buatan Muhammad, melainkan ayat-ayat suci yang merupakan firman Allah. Umar telah kembali ke fitrah asalnya. Ia pun akhirnya memeluk Islam dan menjadi salah satu sahabat utama Rasulullah.

Demikianlah fitrah hati manusia. Ia memiliki kecenderungan untuk beragama dan ber-Tuhan. Kecerdasan agama ini perlu dibedakan dari kecerdasan spiritual. Karena, menurut Psikologi Barat, orang yang memiliki kecerdasan spiritual belum tentu dan tidak harus beragama. Konsep ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Karena itu, dalam Psikologi Islam, kecerdasan agama lebih tinggi hirarkinya daripada tiga kecerdasan hati sebelumnya. Seseorang yang memiliki kecerdasan agama seharusnya telah melampaui kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual-intuitif. Karena, kecerdasan-kecerdasan tersebut merupakan bagian dari kecerdasan agama.

Kecerdasan agama mengarahkan seseorang untuk berperilaku secara benar sesuai tuntunan agama, yang puncaknya menghasilkan ketakwaan mendalam dengan dilandasi lima kompetensi keislaman, enam kompetensi keimanan, dan satu multi kompetensi keihsanan.

Model-model kecerdasan hati di atas harus dipahami secara integral. Artinya, masing-masing kecerdasan merupakan bagian-bagian yang otonom, tetapi saling terkait dan merupakan kesatuan yang terpadu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image