Mengapa Angka Perceraian Tinggi?
Agama | 2023-10-01 05:59:23
Keluarga merupakan tempat pertama kita mendapat didikan sebelum banyak bersentuhan dengan dunia luar. Ibu dan Bapak adalah guru yang menjadi contoh bagi anak-anaknya. Kualitas keluarga sangat menentukan dalam membentuk kita sebagai anghota dalam keluarga.
Keluarga juga merupakan tempat dimana anggota keluarga bisa saling bersinergi dalam melakukan berbagai hal demi membina agar terjalin hubungan yang baik antar anggota keluarga. Peran setiap anggota keluarga memiliki peran masing-masing dan tidak ada perang yang kurang atau lebih penting, semua memiliki tanggungjawab yang harus dilakasanakan.
Banyaknya faktor yang menjadi penyebab tingginya tingkat perceraian dalam sebuah keluarga. Hal ini menjadi bahan renungan dan pembelajaran pasangan secara individu dan juga lembaga yang memiliki tanggungjawab dalam masalah kemasyarakatan.
Prof Dr Kamaruddin Amin, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, menyampaikan bahwa di Indonesia angka perceraian setiap tahun mengalami peningkatan dan angka pernikahan menurun. Jumlah yang tergolong fantastis sehingga menanganinya membutuhkan keterlibatan semua pihak, termasuk Baznas karena akan mengakibatkan banyaknya anak-anak yatim setiap tahun.
Untuk memberikan edukasi kepada mereka yang hendak menikah, Ditjen Bimas Islam Kemenag memiliki program penting yaitu Bimbingan Perkawinan Pra Nikah bagi Calon Pengantin (Bimwincatin). Edukasi ini diberikan kepada pasangan yang paham dan belum siap menjadi suami atau istri serta belum paham tentang manajemen keuangan, kesehatan reproduksi. Sehingga berpotensi melahirkan generasi stunting dan tingkat perceraian. (REPUBLIKA.CO.ID)
Mencermati tingginya tingkat perceraian menunjukkan bahwa rapuhnya sebuah bangunan keluarga. Di zaman matrialisme saat ini dimana segala sesuatu diukur dengan materi, begitu juga dengan keharmonisan dan kebahagiaan sebuah keluarga. Sebuah keluarga akan bahagia jika segala kebutuhan duniawi terpenuhi mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan yang merupakan kebutuhan primer , bahkan kebutuhan tersier mudah untuk didapatkan.
Hal ini menjadikan sebuah keluarga akan berupaya memenuhi kebutuhan dengan berbagai cara, termasuk memperkerjakan seorang ibu keluar rumah untuk bekerja membantu suami mencari nafkah. Ini mengakibatkan peran ibu sebagai pendidik anak dan pengurus rumahtangga tidak bisa berjalan secara maksimal.
Fenomena ini menjadi hal wajar dalam sistem ekonomi kapitalisme sekuler saat ini, dimana orangtua sibuk memenuhi tuntutan hidup, sementara anak kurang bahkan tidak mendapat perhatian atas tumbuh kembangnya dan menjadikan anak bermasalah.
Dalam Islam bagaimana seharusnya sebuah keluarga tentu kembali kepada aturan syariat. Membina sebuah keluarga harus memiliki misi yang harus dicapai dengan berlandaskan pada aqidah Islam, sebagai pedoman hidup dari Alloh SWT untuk hambaNya agar selamat di dunia dan akhirat.
Orientasi dan tujuan keluarga dalam Islam bukanlah dunia. Dunia hanya sebagai wasilah untuk mendapatkan kebahagiaan setelah kehidupan dunia. Suami sebagai kepala keluarga bukan saja sebagai pencari nafkah namun harus mendidik anak Istri agar menjadi hamba yang taat pada tuhannya. Begitu juga Istri sebagai ummun warobatulbait memiliki peran sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anak.
Keberadaan negara sebagai pelayan dan pengurus umat sangat penting untuk menciptakan keluarga tentram bahagia lahir dan bathin. Tentunya dengan mekanisme sesuai tuntunan syara, akan menjaga ketaqwaan setiap individu agar selalu terikat pada hukum Alloh, selain memenuhi kebutuhan pokok dan fasilitas yang dibutuhkan rakyat.
Hal ini akan memaksimalkan peran ibu sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak dan juga memberikan pelayanan kepada suami. Hak dan kewajiban suami istri mampu dijalankan dengan baik. Aqidah Islam menjadi asas dalam setiap amal perbuatan serta menjadikan akhirat sebagai tujuan, sehingga akan tumbuh rasa takut kepada Alloh jika tidak menjalankan kewajiban atau tidak memenuhi hak yang sudah ditentukan syara.
Wallohu'alam
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
