Tradisi Beas Perelek
Gaya Hidup | 2023-09-30 12:39:33Oleh: H. Dadang A. Sapardan, M.Pd., Kp
Beberapa waktu yang lalu mendapat pesan Whatsapp dari seorang teman. Isi pesan Whatsapp-nya mengungkapkan bahwa beberapa tahun yang lalu dirinya pernah menginisiasi program beas perelek pada lingkungan RW tempat tinggalnya. Program beas perelek ini terus berlangsung hingga saat ini. Hasil dari program beas perelek ini sempat dijadikan dana pinjaman bergulir warga RW, tetapi kegiatan pinjaman tersebut harus kandas karena warga yang meminjam banyak yang tidak melakukan pelunasan atas pinjaman yang dilakukannya. Selanjutnya, hasil dari program beas perelek ini diproyeksikan untuk pembangunan berbagai sarana kebutuhan umum masyarakat, seperti bantuan pada warga miskin, pengerasan jalan, perbaikan gorong-gorong, dan berbagai kegiatan lainnya. Kegiatan tersebut terus berlangsung hingga saat ini.
Dalam mengarungi kehidupan ini, masyarakat tidak terlepas dari tradisi yang membersamainya. Tradisi masyarakat dimaksud sering dimaknai sebagai kearifan lokal (local wisdom). Sebuah pola budaya kehidupan turun temurun yang yang diinisiasi oleh masyarakat pendahulu dan menjadi pondasi hingga dapat survive dalam kehidupan saat ini.
Merujuk pada literatur yang ada, kearifan lokal merupakan bagian dari budaya masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari budaya masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal sebagai bentuk budaya masyarakat, biasanya diwariskan secara turun-temurun dalam kurun waktu tertentu dari satu generasi ke generasi berikutnya. Keberadaan kearifan lokal ini menjadi menjadi identitas melekat dari masyarakat tertentu. Keberadaan kearifan lokal menunjukkan begitu kuatnya nilai-nilai yang ditanamkan para pendahulu kepada penerusnya karena memiliki nilai manfaat untuk kehidupan.
Walau demikian, tidak seluruh kearifan lokal yang dimiliki dapat dipahami dan diimplementasikan oleh generasi penerusnya. Kearifan lokal yang telah membersamai para pendahulu untuk menyikapi dinamika kehidupan, sedikit demi sedikit terkikis dan hilang dari kehidupan masyarakat. Salah satu penyebab punahnya kearifan lokal karena dipandang sudah tidak relevan dengan kehidupan kekinian yang modern dengan nuansa kehidupan digital, serba cepat dan serba instant.
Bila melihat perkembangan kehidupan yang berlangsung, kearifan lokal merupakan warisan budaya yang memiliki nilai luhur dan nilai manfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Para pendahulu telah mengimplementasikan kearifan lokal untuk dapat survive dalam kehidupan mereka. Berkenaan dengan itu, kearifan lokal harus ditumbuhkembangkan oleh generasi masa kini dan masa depan melalui pengemasan yang disesuaikan dengan era kehidupan kekinian.
Kearifan lokal yang dipraktikkan dan diturunkan oleh para pendahulu, bernilai manfaat bagi kehidupan. Keberadaannya memiliki kandungan filosofi yang sangat tinggi. Implementasi kearifan lokal telah menjadi bukti empirik kemampuan masyarakat dalam menjaga keseimbangan hubungan antarmanusia, antara manusia dengan alam, antara manusia dengan penguasa alam raya.
Bangsa ini adalah bangsa yang kaya akan kepemilikan kearifan lokal. Para generasi pendahulu menurunkan hasil kreativitasnya sebagai kado terindah bagi generasi penerusnya. Salah satu bentuk kearifan lokal yang diturunkan oleh generasi terdahulu adalah budaya kehidupan gotong royong yang diimplementasikan dengan tradisi beas perelek.
Beas perelek adalah sebuah frasa bahasa Sunda yang dibentuk dari dua kata, yaitu beas dan perelek. Dalam bahasa Indonesia, beas berpadanan dengan beras, sedangkan perelek adalah suara dari butiran beras bila dijatuhkan dan mengena pada benda keras. Inilah yang menjadi salah satu warisan bermakna dari para pendahulu bagi generasi masa kini dan masa depan. Warisan tradisi ini bisa dijadikan pegangan dalam kehidupan para generasi selanjutnya.
Tradisi beas perelek dibangun dalam konteks hubungan membangun sinergitas antarmanusia dalam berkehidupan. Tradisi beas perelek merupakan bentuk gotong royong antarmasyarakat dalam satu lingkungan kehidupan tertentu. Hasil dari beas perelek digunakan untuk membantu masyarakat sekitar yang kurang beruntung dalam sisi kehidupan ekonomi. Dalam konteks kehidupan masyarakat Sunda, aktivitas beas perelek merupakan refleksi dari filosofi orang Sunda yang mengajarkan hidup untuk silih asih, silih asah, dan silih asuh.
Tradisi beas perelek bersifat suka rela dan tidak memaksa kepada setiap warganya. Warga yang memiliki kepedulian sosial dipersilakan untuk menyumbang beras, demikian pula warga yang tidak memiliki kepedulian atau warga tidak mampu, tidak diwajibkan memberikan sumbangan. Jumlah beras yang disumbangkan pada aktivitas ini tidak memberatkan karena tidak ada batasan minimal dan maksimal.
Pada umumnya, beras yang disumbangkan oleh setiap keluarga sebanyak genggaman tangan atau satu gelas. Pada beberapa warga, beras yang dijadikan perelek merupakan penyisihan dari beras yang akan dimasaknya, sebelum ngisikan. Mereka menyerahkan beas perelek kepada petugas dari RT atau RW yang berkeliling pada setiap rumah. Petugas yang berkeliling untuk menampung beas perelek dari warga bisa para pemuda, para kader, atau unsur warga lainnya.
Hasil pengumpulan besar dari warga dibagikan kembali kepada warga sekitar lingkungan RT atau RW yang kurang beruntung secara ekonomi. Para Ketua RT atau RW memiliki peta penyebaran hasil beas perelek. Pada umumnya, hasil beras perelek disumbangkan kepada keluarga prasejahtera, anak yatim, atau warga jompo.
Dalam kondisi kekinian aktivitas beas perelek di lingkungan masyarakat, merupakan tradisi yang masih relevan. Tradisi ini menjadi upaya nyata warga dalam menyikapi krisis kebutuhan pangan warga sekitar. Meskipun bantuan pemerintah sudah berjalan dan menyasar setiap keluarga prasejahtera, tradisi beas perelek menjadi sebuah gerakan antisipatif dalam menyikapi krisis kebutuhan pangan masyarakat. Gerakan yang lahir dari bentuk kepedulian masyarakat terhadap warga lainnya, bisa menjadi langkah strategis dalam memenuhi kebutuhan mendesak setiap warga akan pangan. Dengan demikian, gerakan ini menjadi sebuah langkah antisipasi warga yang sinergis dengan program pemerintah untuk menyikapi permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat.
Dalam kehidupan kekinian, tradisi beas perelek merupakan gerakan antisipatif yang masih relevan dengan kehidupan sosial ekonomi saat ini. Keberadaan tradisi beas perelek dapat menjadi upaya nyata untuk menyikapi kondisi warga yang masuk dalam ketegori miskin ekstrim atau prasejahtera dalam skala wilayah RT dan RW. ***
Penulis adalah Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.