"Sengkuni" Bertebaran
Rembuk | 2023-09-14 22:59:23Oleh: H. Dadang A. Sapardan, M.Pd., Kp
Hari-hari ini diksi Sengkuni cukup banyak bertebaran di ruang-ruang media sosial. Diksi Sengkuni diarahkan oleh pihak tertentu kepada sosok tokoh politik yang dianggap memiliki keterwakilan watak Sengkuni dengan sifat licik melalui perilaku adu domba yang diterapkannya demi menggenggam kekuasaan yang diinginkan. Sosok tokoh politisi ini distigmaisasi sebagai Sengkuni masa kini dalam memainkan peran pada dinamika politik Indonesia. Langkah-langkah yang dilakukannya dianggap mengarah pada upaya pemecahbelahan dalam kehidupan politik Indonesia. Menjelang perhelatan Pemilu tahun 2024, tokoh yang distigmaisasi Sengkuni muncul lagi dengan intensitas yang lebih banyak dari sebelumnya. Mereka dianggap menjadi tokoh yang berpotensi untuk melakukan pecah-belah dalam merengkuh kekuasaan, terutama kekuasaan politik.
Sebagai bentuk budaya tradisional Indonesia, wayang merupakan kesenian yang sangat digandrungi oleh masyarakat, terutama masyarakat kategori bawah sampai menengah. Pementasan wayang menjadi bentuk hiburan rakyat yang menyedot banyak animo masyarakat untuk menontonnya. Pada zaman keemasannya, pementasan wayang menjadi episentrum pengumpulan masa yang cukup efektif. Bahkan, salah seorang Wali Songo menjadikan wayang sebagai media penyebaran agama Islam karena efektivitas penyebarannya.
Pada sisi penampilan, berbagai karakter manusia dengan latar belakang kerajaan disajikan dalam pementasan wayang oleh sang dalang. Beragam karakter yang merefleksikan heterogenitas sifat manusia dalam keseharian, ditampilkan dalam pementasan wayang. Sekalipun demikian, karakter yang dominan, tampil dalam dikotomi hitam-putih. Terdapat dua karakter dominan dalam dunia pewayangan, yaitu karakter protagonis dan antagonis. Kedua karakter tersebut terefleksikan pada setiap tokoh dari wayang.
Substansi dari jalan cerita yang ditampilkan pada pementasan wayang, baik wayang golek maupun wayang kulit adalah perebutan kekuasaan. Bagaimana pola-pola perebutan kekuasan dilakukan oleh para tokoh dalam pewayangan. Perebutan kekuasaan yang dilakukan tentunya sesuai dengan pola-pola lama, yaitu melalui peperangan antara pihak satu dengan pihak lainnya.
Sosok Sengkuni menjadi tokoh antagonis yang merepresantikan manusia serakah untuk meraup kekuasaan yang sesuai dengan harapannya. Upaya untuk meraup kekuasaan ini dilakukan dengan berbagai cara-cara licik, jahat, menebar fitnah, menerapkan politik adu domba, dan menghalalkan berbagai cara lainnya. Tokoh ini dengan strategi liciknya melakukan berbagai trik untuk dapat merebut kekuasaan dari pihak-pihak tertentu yang secara galib memiliki hak untuk memegang kekuasaan. Berbagai akal bulus yang diterapkannya, menjadi cikal bakal terjadinya perang bharatayudha antara pihak pandawa dan kurawa.
Sengkuni adalah tokoh antagonis yang menebar keadaan gonjang-ganjing. Dengan berbagai fitnah dan adu domba yang ditebarkannya, Sengkuni berupaya memperoleh kekuasaan untuk meluluskan kepuasannya. Berbagai upaya yang dilakukan Sengkuni adalah cara-cara jahat yang tidak dapat ditolelir. Kejahatan tetaplah kejahatan, sekalipun dibungkus dengan berbagai alasan.
Pola-pola yang dilakukan Sengkuni ternyata tidak menjadi hak prerogatif dunia pewayangan. Pola-pola yang dilakukan Sengkuni, berlaku dan diterapkan oleh manusia modern. Berbagai upaya licik dan jahat dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk dapat maraup kekuasaan dan memuaskan syahwatnya. Dalam konteks kehidupan modern, setting yang berlangsung tentunya bukan setting kerajaan.
Upaya demikian, terasa semakin mudah dalam ruang-ruang digital yang mewarnai era revolusi industri 4.0 (computer/internet of things). Era yang semakin memperlihatkan kekerapan intensitas pemanfaatan perangkat digital oleh masyarakat pada beberapa domain kehidupannya. Salah satu yang paling dominan dalam kehidupan mereka adalah penggunaan berbagai kanal media sosial dalam melakukan perhubungan dan menemukan informasi. Masyarakat sudah mulai terbiasa mencari informasi, pengetauan, serta berkomunikasi dengan menggunakan perangkat digital. Berbagai kanal media sosial—whatsapp, facebook, instagram, twitter, michat, serta youtube—telah menjadi bagian keseharian kehidupan mereka.
Dengan fenomena yang terjadi tersebut, diperlukan kejelian masyarakat untuk tidak terbawa arus pada kristalisasi pemahaman yang diproduksi dengan dilatarbelakangi niat jahat, licik, dan mengadu domba, layaknya Sengkuni dalam dunia pewayangan. Sengkuni bukanlah tokoh yang hanya ada pada dunia pewayangan. Sengkuni adalah representasi dari karakter manusia jahat, licik, dan haus akan kekuasaan yang akan ada sepanjang kehidupan dunia ini. Kapanpun dan di manapun, perwatakan Sengkuni akan tetap hadir menghiasi dinamika kehidupan ini.
Dalam kehidupan keseharian, tipikal Sengkuni dapat hadir pada setting organisasi, instansi kerja, dan berbagai setting lainnya. Dengan demikian, kesadaran akan hadirnya tipikal karakter seperti ini harus terus dibangun sehingga siapapun yang berhadapan dengan tipikal ini, akan mampu menyikapinya dengan bijak sehingga tidak terjerumus pada strategi yang diterapkannya. ***
Penulis adalah Camat Cikalongwetan, Kab. Bandung Barat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.