Budaya Korupsi-Kolusi-Nepotisme dan Revolusi Birokrasi
Politik | 2023-09-14 09:45:25Pada zaman dahulu, menurut novel atau film silat populer, kesaktian biasa diidentikkan dengan tenaga supranatural yang dimiliki para pendekar sehingga mereka dapat menembus dinding, menghilang dari pandangan, atau berada pada dua tempat yang berjauhan dalam waktu bersamaan. Namun, pada era modern sekarang ini, agar dapat “sakti” seperti demikian seseorang tidak perlu mengenal ilmu kebatinan apapun. Ia hanya perlu fasih berbudaya KKN- Korupsi, Kolusi atau Nepotisme.
Kini, seiring semakin terbukanya arus informasi dan meningkatnya kebebasan media massa paska Reformasi, semakin terang benderang budaya KKN nyatanya telah berakar kuat dalam kepala manusia Indonesia yang (sialnya) bekerja menyangga birokrasi trias politica NKRI, seperti contohnya oknum oknum di kepolisian, kejaksaan, kehakiman, departemen-departemen atau kementerian-kementerian, gubernur, bupati, hingga DPR maupun DPRD.
Publik menjadi saksi, bagaimana tanpa kenal lelah setiap harinya media elektronik atau cetak menyuguhkan berita KKN tentang aparat polisi yang disuap, jaksa yang disuap, hakim yang disuap, menteri yang korupsi, dirjen yang korupsi, gubernur yang korupsi, bupati yang korupsi, DPR yang disuap, DPRD yang korupsi, dan sebagainya. Kesemua ini adalah realitas, bahwa KKN sejatinya adalah kebudayaan yang menghegemonik kuat dalam birokrasi negara kita.
Darimanakah sebenarnya asal budaya KKN ini? Budaya KKN berakar pada sisa-sisa feodalisme, budaya tidak produktif, primordialisme, dan juga mental inlander. Sisa-sisa feodalisme menyisakan kebiasaan menarik dan menerima upeti, budaya tidak produktif menyuburkan mental korup, primordialisme berujung pada nepotisme, dan mental inlander berakibat pada rendahnya rasa tanggung jawab dan jatuhnya martabat sebagai manusia yang beradab. Karena itu sangat lumrah budaya KKN sering didapati pada sosok manusia yang berwatak yang reaksioner, konservatif/feodal, kesukuan/primordial, yang pastinya bermuka tebal.
Akhirnya kami berkesimpulan, bahwa ternyata 25 tahun Reformasi tidak membawa Indonesia kepada situasi yang lebih baik. Sudah saatnya rakyat marhaen melirik pada Revolusi, tidak lagi terbius oleh segala jargon reformasi. Reformasi birokrasi terlalu lamban dan tidak akan sanggup menyelesaikan persoalan KKN yang berakar dan semakin menggurita- apalagi pemberantasannya kerap dilakukan secara tebang pilih dan selalu terbentur mafia peradilan yang masih sangat kuat bercokol. Perlu juga kita apresiasi dukungan luas dan massal dari masyarakat demi pemberantasan KKN tanpa tebang pilih, sehingga saat ini tidak ada calon kepala daerah yang tidak mencantumkan program pemberantasan korupsi sebagai program unggulannya jika kelak terpilih.
Sudah saatnya Negara membuka diri bagi terciptanya suatu Revolusi di dalam birokrasi. Revolusi birokrasi dari atas dapat dilakukan pertama-tama dengan memotong angkatan tua yang konservatif, demi melakukan peremajaan dalam birokrasi. Semisal dengan memensiunkan dini seluruh PNS berusia 35-40 tahun ke atas, kemudian mengganti pos-pos yang ditinggalkan kaum tua dengan pemuda-pemudi atau mahasiswa-mahasiswi lulusan kampus atau SMU terpilih. Setelah sistem peremajaan berjalan, wajib dilakukan mutasi berkala di eselon-eselon yang rawan KKN. Secara hukum, selain dengan mengganti seluruh pimpinan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dengan para perwakilan masyarakat sipil yang kredibel dan terkontrol publik, akan diberlakukan hukuman kurungan seumur hidup bagi setiap pelanggaran hukum terkait KKN baik ringan maupun berat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.