Mengoprtimalkan Demokrasi dengan Menjernihkan Konsep Politik
Politik | 2023-09-07 17:19:28Ketika ide tentang perpanjangan masa jabatan presiden kembali bergulir ke publik, semua orang seakan mengatakan bahwa ide ini akan mencederai cita –cita reformasi 1998.Peristiwa yang menjadi tanda masuknya Indonesia ke dalam sistem demokrasi dan meninggalkan sistem otoritarianisme. Semenjak peristiwa itu semua orang memberikan perhatian penuh kepada demokrasi. Demokrasi seakan diharapkan mampu memberikan solusi atas segala macam permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini.
Disaat pengharapan itu surplus terhadap demokrasi, pengharapan justru defisit terhadap politik. Padahal demokrasi hanya disebut demokrasi jika politik menjadi ruh-nya. Tetapi inilah paradoks yang terjadi, dimana semua orang berharap kepada demokrasi tetapi pada saat yang sama membenci politik. Kira –kira tulisan ini akan mencoba mengulas paradoks tersebut. Shapiro (1999) menyebut mereka yang terlalu berharap kepada demokrasi sebagai penganut pandangan maksimalis.
Pandangan maksimalis adalah pikiran kaum demokrat yang meletakkan terlampau banyak harapan pada demokrasi dan karena itu menimpakan beban yang besar pada demokrasi. Pandangan maksimalis mengharapkan adanya partisipasi menyeluruh dalam pengambilan keputusan kolektif. Mereka juga berharap bahwa pengambilan keputusan itu dilaksanakan melalui proses deliberatif yang melibatkan publik secara luas. Mereka juga meminta adanya implementasi kehendak kolektif serta pertanggungjawaban dari para legislator dan politisi yang mereka pilih. Bahkan,lebih jauh lagi, mereka juga berharap demokrasi akan membantu menciptakan dunia sebagai tempat yang lebih baik bagi semua orang.Demokrasi diminta untuk menghapus korupsi, mengurangi kemiskinan, menghapuskan ketidakadilan, meningkatkan kesejahteraan sosial, menghukum penjahat hak asasi, mencegah perang dan kekerasan. Demokrasi diharapkan sebagai all thing to all people (Robet,2021:97).
Melalui perspektif ini kita bisa melihat bahwa demokrasi seakan dijadikan sebagai satu-satunya solusi yang mampu untuk mengatasi semua persoalan. Namun, ketika melihat data yang dirilis oleh EUI ( The Economist Intelligence Unit ) tentang laporan indeks demokrasi dunia, Indonesia menduduki posisi ke-52 dunia dengan skor 6,71.EUI mengelompokkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy).Menurut EUI,negara yang demokrasi cacat umumnya telah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil,serta menghormati kebabasan sipil.
Tetapi EUI menjelaskan bahwa negara dengan demokrasi cacat memiliki sejumlah masalah fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik anti-kritik,partisipasi politik warga yang rendah,serta kinerja pemerintah yang jauh dari optimal (databoks.katadata.co.id,14/2/2022). Melihat data yang disajikan oleh EIU tersebut,mereka yang berpandangan demokrasi maksimalis mendapatkan tantangan dari realitas. Robet (2021) memberikan penjelasan tentang tantangan tersebut.Menurutnya dalam menghadapi kontradiksi antara imajinasi kaum maksimalis tentang demokrasi dengan keadaan konkret kepolitikan secara umum yang justru memperlihatkan keterbatasan imajinasi itu,kaum maksimalis mengambil jalan garis-keras.Alih-alih mencoba jalan keluar dengan memeriksa pandangan –pandangannya sendiri mengenai demokrasi dan mencari konsepsi yang lebih baru mengenai dunia politik, mereka malah memproduksi hal-hal yang tidak produktif. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kaum maksimalis menampilkan sinisme melalui pendapat “demokrasi dibajak oleh elite.“
Pendapat ini mengandaikan demokrasi dan tujuan politik secara umum merupakan satu kesatuan. Ia juga menganggap bahwa demokrasi secara alamiah dimiliki oleh “yang bukan elite,” sehingga kalau sekarang yang tampil mengisi proses demokratisasi kebanyakan adalah elite partai ,maka bagi mereka artinya demokrasi telah dicuri dari pemilik sebenarnya.Padahal demokrasi adalah ruang kosong yang dapat diisi oleh apapun dan siapapun,ia tidak pernah menentukan nilai atau konsep apa yang harus ada didalam dirinya. Demokrasi juga tidak pernah membatasi dirinya terhadap siapapun yang tertarik menggunakannya untuk mencapai tampuk kekuasaan.Singkatnya, ia hanya fasilitas tak lebih. Laclau dan Mouffe (1985) memberikan gambaran bahwa demokrasi adalah sarana atau fasilitas dalam kebebasan,oleh karenanya,ia selalu merupakan arena kosong yang terbuka, atau dalam istilah lain disebut sebagai empty signifier. Dengan demikian mengharapkan demokrasi akan menghasilkan keadilan, etika, moralitas, egalitarianisme, serta keutamaan – keutamaan yang lain adalah sesuatu hal yang tidak tepat. Hal – hal demikian harusnya digantungkan kepada politik yang menjadi ruh demokrasi itu sendiri.
Menjernihkan Konsep Politik
Jika kita bertanya kepada orang Indonesia,”apa itu politik?” maka akan ada tiga pendapat yang mengemuka. Pendapat yang pertama adalah mereka yang menganggap politik sebagai sesuatu hal yang menjijikkan karena didalamnya penuh intrik,kelicikan,dan kekerasan.Pendapat yang kedua adalah mereka yang menganggap politik adalah tentang jabatan – jabatan publik seperti legislatif, kepresidenan , kabinet dan partai – partai.Pendapat ketiga yang menganggap bahwa politik adalah tentang kuasa semata –mata yang disertai kesewenangan dalam menentukan cara. Singkatnya, politik menjadi persis sebagaimana yang dipahami oleh kaum behavorialis Amerika sebagai who gets what,when and how. Tak ada pemahaman nilai dan tindakan etis di dalamnya (Robet,2021:96). Lantas, benarkah politik seperti yang digambarkan tiga pendapat sebelumnya? Pada mulanya politik adalah sebuah upaya untuk menghasilkan kebahagiaan di dalam kehidupan masyarakat. Politik dianggap sebagai aktivitas paling penting karena melalui politik manusia dapat mengelola potensi yang berserakan diantara mereka;saling memahami dalam perbedaan yang ada;juga saling menjaga peraturan yang telah disepakati bersama(Elvandi,2011:1).Aristoteles menjelaskan secara komprehensif tentang politik melalui konsepsi zoon politikon. Konsep zoon politikon menjelaskan bahwa hakikat manusia yang secara alamiah selalu berkehendak untuk merealisasikan kapasitasnya dalam kehidupan berkomunitas melalui tindakan pemenuhan keadilan bersama(Yack dalam Robet,2021:104).
Melalui penjelasan sebelumnya bisa dilihat bahwa politik adalah tindakan atau aktivitas yang berorientasi kepada tiga hal esensial yaitu komunikasi, publik dan keadilan.Pertama, komunikasi dalam politik adalah hal yang mutlak. Arendt (1960) menyatakan bahwa politik adalah urusan speech action (tindakan komunikatif).Dengan tindakan ini politik hanya bisa tercapai secara sah jika dilakukan dengan tindakan komunikatif.Atau dengan kata lain politik adalah tindakan sambung rasa yang persuasif.Hal Ini juga menandakan bahwa politik menolak segala bentuk tindakan kekerasan.Kedua,publik yang menandakan bahwa politik hanya bisa tumbuh dalam ruang publik. Ini menjadi penanda bahwa politik membedakan urusan publik dan privat. Pembedaan ini dimaksudkan untuk memberi batasan agar pertimbangan –pertimbangan mengenai kehidupan sosial dan peraturan – peraturan tatanan kemasyarakatan yang menjadi domain publik dan terpisah dari kepentingan – kepentingan ekonomi dan keluarga yang menjadi domain privat. Ketiga adalah keadilan yang merupakan tujuan awal dari pelbagai aktivitas politik dilakukan. Jika politik gagal menghasilkan dan mendistribusikan keadilan kepada publik maka itu bukanlah politik. Berdasarkan hal yang telah dijelaskan diatas dapatlah dikatakan bahwa politik adalah ruh demokrasi karena mensyaratkan komunikasi. Kemudian politik juga adalah etika karena ia mengatur tentang keadilan dan kebahagiaan bersama. Terakhir, politik konsepsi yang mengutamakan kepentingan bersama, maka politik juga berarti republik. Oleh sebab itu, perlu kiranya kita kembali untuk mengoptimalkan demokrasi dengan menjernihkan konsep politik.
*Tulisan ini telah rilis di kanal Nalar Politik pada 21 April 2022
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.