Erotisme sebagai Komoditas
Eduaksi | 2023-09-04 17:54:48Oklin Fia, selebgram yang semakin populer dengan konten-konten kontroversinya karena menjurus pornografi tersandung masalah. Salah satu konten — diantara dari sekian konten — tak senonohnya memantik sorotan dari warganet. Oklin dianggap tidak sekedar meresahkan, menjijikkan dan tidak beradab, namun juga dianggap telah melecehkan agama.
Akibat konten tak senonohnya, kolom komentar instagram Oklin dibanjiri komentar-komentar geram warganet. Akun instagram @oklinfia milik Oklin pun kini dalam kondisi take down. Meski, akun duplikasi-nya masih bisa ditemukan dengan cukup mengetikkan kata kunci “oklin fia”. Bahkan video yang telah membuat heboh tersebut kini tidak hanya menyebar di instagram, namun juga bisa ditemukan di tiktok dan twitter.
Oklin tidak hanya panen hujatan melalui media sosial (medsos). Perbuatan selebgram asal Medan ini juga berlabuh di meja aparat kepolisian. Oklin dilaporkan oleh PB Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) ke Polres Metro Jakarta Pusat setelah dinilai melanggar UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Medsos sarana popularitas
Medsos dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meraih ketenaran secara instan di era digital. Melalui medsos, siapapun memiliki kesempatan untuk menunjukkan kapabilitas dan sekaligus menciptakan popularitas. Karena itu, medsos pun dapat dimanfaatkan untuk kepentingan apapun dan oleh siapapun. Melalui medsos, berbagai kepentingan — hiburan, politik, ekonomi, sosial, gaya hidup dan sebagainya — dapat diakomodir.
Sesuai dengan fungsinya, medsos merupakan sarana komunikasi dan marketing yang setiap orang dapat berbagi ide, pengalaman hingga membuat konten dan dibagikan kepada publik. Melalui medsos pula, seseorang akan bisa terhubung dengan orang-orang yang memiliki kesamaan minat dan selera.
Pendek kata, medsos telah menjadi bagian dari gaya hidup (life style) masyarakat modern, termasuk juga di Indonesia. DataIndonesia.id (3/2/2023) melaporkan bahwa We Are Social menunjukkan bahwa jumlah pengguna medsos di Indonesia pada bulan Januari 2023 sudah mencapai 167 juta orang, yang setara dengan 60,4 % dari populasi penduduk Indonesia.
Oklin melalui sarana instagram sejatinya juga berharap meraih predikat “selebgram” melalui proses promosi untuk menggapai popularitas. Bahkan secara sadar dirinya rela melakukan cara-cara ‘gila’ demi untuk merawat eksistensinya sebagai selebgram, diantaranya membuat konten-konten yang menerabas nilai-nilai kepatutan dan kesopanan.
Tidak dipungkiri, meski sebagian memberikan komentar negatif terhadap konten Oklin, namun yang memberikan tanda like pun tidak sedikit. Eksistensi Oklin sebagai selebgram dengan konten yang tidak senonohnya masih tetap terjaga dengan keberadaan pengikutnya yang jumlahnya jauh lebih banyak. Keeksistensian diri melalui medsos tidak sekedar dalam bentuk dukungan maupun menjadi bahan pembicaraan (baik pro maupun kontra), tetapi juga menimbulkan peniruan.
Jika kita cermati dari semua konten yang sudah diunggah oleh Oklin, dapat disimpulkan bahwa konten “menjilat es krim” bukanlah konten yang tidak sengaja atau kealpaan, tetapi ada unsur kesengajaan. Karena, ternyata konten-konten Oklin yang ada di instagram hampir hampir semua menjurus pada pamer sisi seksualitas dan sensualitas. Dan, hal seperti itu mungkin dalam batas tertentu bisa dimaklumi karena daya kemampuan Oklin dalam berkarya dan merawat popularitasnya hanya dalam batas murahan.
Komersialisasi erotisme
Dalam kebudayaan masyarakat tradisional, seksualitas merupakan hal yang disakralkan. Seks bukan komoditi yang bisa dikomersialisasikan dalam kehidupan. Seks, selain sebagai hal yang sakral, juga merupakan hal yang tabu untuk dipertontonkan. Bahkan sekedar untuk membicarakannya pun masih ada rasa malu. Tidak mengherankan jika kemudian secara sosial, orang-orang yang dengan sengaja melakukan komersialisasi seks dianggap sebagai manusia yang buruk dan kotor.
Namun di era kekinian, seolah-olah seksualitas dan sensualitas yang berbungkus aroma erotisme menjadi komoditi. Bukan sekedar sebagai bahan obrolan, bahan lelucon, namun juga menjadi objek komersial. Erotisme menjadi hal yang bisa menghasilkan kepuasan material. Konten-konten erotisme yang beraroma seks menjadi menarik untuk mengeruk pundi-pundi uang melalui iklan.
Dalam masyarakat modern, sakralitas seksual menjadi hal yang absurd atau tidak masuk akal. Segala hal yang tidak dapat dikomersialisasi dianggap sebagai barang yang tidak berguna. Karena itu, erotisme yang dilakukan Oklin di medsos pada dasarnya juga memiliki orientasi material. Apakah dengan melakukan hal itu, Oklin mendapatkan kepuasan seksual? Jika Oklin memiliki kelainan orientasi seksual, bisa jadi ya. Tetapi jika tidak, tentu orientasi komersial menjadi keniscayaan yang tidak bisa dibantah.
Maka, jeratan hukum sebagai penyalahgunaan ITE menjadi alasan yang bisa dipertanggungjawabkan daripada jeratan pasal penodaan agama. Karena itu, proses hukum harus tetap dilanjutkan untuk memberikan pembelajaran atau shock therapy bagi siapapun untuk tidak menyalahgunakan medsos untuk hal-hal yang tidak patut dilakukan.
Namun demikian, hukum tidak bisa tebang pilih dalam menyikapi kasus yang ditimpakan kepada Oklin. Medsos sendiri harus bertanggung jawab atas ruang kebebasan yang diberikan pada penggunanya. Tak terbantahkan bahwa sebagian medsos yang mendapatkan izin beroperasi di Indonesia telah menjadi ajang komersialisasi erotisme, atau bahkan telah menjadi ruang terbuka untuk praktik prostitusi.
Oklin merupakan salah satu korban dari perilaku bermedsos yang tidak sehat. Dengan kata lain, fungsi medsos sebagai sarana penyampaian informasi yang singkat dan cepat justru disalahgunakan untuk umbar aurat, umbar perilaku yang tuna etika, termasuk pornografi dan pornoaksi.
Remaja atau generasi muda pada umumnya telah menjadi konsumen terbesar medsos. Hal ini selaras dengan jiwa remaja yang sedang dalam proses pencarian atau pembentukan jati diri. Medsos menjadi sarana untuk menunjukkan keakuan diri untuk dikenal dan sekaligus diterima oleh publik. Hampir tidak ada remaja yang tidak menggunakan medsos sebagai sarana untuk publikasi personal.
Maka, edukasi penggunaan medsos yang sehat untuk semua kalangan — dan utamanya remaja — merupakan keharusan yang tidak boleh diabaikan. Pemerintah utamanya, harus lebih intensif untuk meramu strategi agar para generasi muda dapat diselamatkan dari racun dan candu medsos.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.