Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image KHAIRUL AMIN

Kita dan Perkembangan Teknologi AI

Teknologi | 2023-08-31 03:12:25

Artificial Intelligence (AI), bersama beberapa ‘rekan sezaman’-nya, seperti machine learning, Internet of Things (IoT), dan block-chain adalah lompatan besar perkembangan teknologi yang telah terjadi (happened) dan tidak terhindarkan (inevitable). Semuanya menyita perhatian publik, namun AI adalah jawaranya. Berbasis data dan internet, AI yang ditopang oleh teknologi komputasi lewat bahasa pemograman, secara akseleratif mampu melakukan ‘sebagian’ kerja kecerdasan manusia. Utamanya bila dihadapkan data dalam jumlah besar, AI menjadi terasa lebih powerful dibanding kecerdasan manusia yang terkadang mengalami burn-out, sekalipun kecerdasan manusia saat ini ‘masih’ jelas lebih variatif (baca : Multiple-intelligence).

Sebagai manusia, tentu kita butuh teknologi dan oleh sebab itu kita menciptakannya. Kebutuhan kita yang mendasar pada teknologi adalah untuk memudahkan perkerjaan. Selaras dengan hal tersebut kita mesti tahu bahwa semakin mudah pekerjaan kita terselesaikan, maka secara kuantitas kita akan lebih mampu meng-handle banyak pekerjaan. Cerita tentang produksi dimulai dari sini.

Naiknya produksi sebagai penanda tumbuhnya ekonomi dalam sejarah mustahil terjadi tanpa teknologi. Penanda revolusi agraria, revolusi, dan sekarang revolusi informasi -meminjam istilah Tofller- adalah pemutakhiran teknologi. Peralihan dari penemuan roda, alat perkakas, mesin-mesin industri, hingga sampai pada teknologi layar komputasi dan jaringan internet menunjukkan hal itu. Melalui perjalanan sejarah ini, makna teknologi mulai mengalami pergeseran, yaitu dari kebutuhan menjadi hasrat-ambisi.

Atas nama produksi dan ekonomi, teknologi dikembangan secara akseleratif, dan pertimbangan dampak-dampak negatif secara etis mulai disingkirkan, termasuk dalam pengembangan Artificial Intelligence (AI). Selaras dengan hal ini John C. Havens, Direktur Eksekutif Global Initiative on Ethics of Autonomous and Intelligent Systems-IEEE mengatakan: “'When we're talking about 'AI for good', we need to define what 'good' means. Currently, the key performance indicators we look to are framed around GDP. Not to say it's evil, but it's about measuring productivity and exponential profits (ketika kita berbicara soal ‘AI untuk kebaikan, kita perlu mendefinisikan apa itu artinya ‘baik’. Sekarang ini indikator kinerja utama yang digunakan seputaran GDP. Bukan berati jahat atau buruk, tapi ini tentang mengukur produktivitas dan keuntungan eksponensial.

Manusia adalah makhluk yang berhasrat, dan teknologi adalah salah satu elemen penting untuk mewujudkannya. Kalau kita berbicara AI, maka kita akan temukan kehadirannya jelas bermata dua. Hampir selalu ada sisi baik juga buruknya, dan seringkali kita berdalih man behind technology yang penting. Namun, kalau kita sejenak merenung, teknologi mutakhir, termasuk AI adalah ancaman sekaligus tantangan yang serius. Penggunaan weak-AI ditahap terbatas saja, misalnya di dalam ponsel cerdas, memiliki dampak negatif yang cukup signifikan, seperti dalam relasi sosial, relasi intim, dan ritme biologis.

Pelbagai aplikasi membuat mengalami keterjebakan di dunia maya, seluruh bagian dari hidup kita bagikan secara bebas, padahal disisi lain ia menjadi data bagi pihak ketiga. Konsumerisme kita yang meningkat, disadari atau tidak salah satunya disebabkan oleh data kita yang terambil untuk kemudian dimanfaatkan AI. Hidup kita, data kita, dan privasi kita, sejatinya hampir tidak jadi miliki kita seutuhnya. John C. Havens misalnya mengatakan: 'Humans will not have agency and control [over their data] in any way if they are not given the tools to make it happen'.

Namun tetap saja, mungkin yang paling parah dari semua itu adalah ketergantungan yang ekstrem pada teknologi AI. Manusia perlahan banyak kehilangan kemampuan-kemampuan dasarnya. Matinya listrik dan gawai sepekan penuh di kota-kota besar misalnya, pasti akan menghasilkan situasi chaotic. John C Havens (lagi-lagi) mengatakan: The biggest risk [of AI] that anyone faces is the loss of ability to think for yourself. We're already seeing people are forgetting how to read maps, they're forgetting other skills. If we've lost the ability to be introspective, we've lost human agency and we're spinning around in circles. Rasanya kita perlu sungguh-sungguh melihat perkembangan teknologi AI ini sebagai sesuatu yang serius. Minimal sebagai individu kita perlu waspada dan memiliki kerangka kesiapan menghadapi perkembangan teknologi AI yang tidak terbendung ini. Tantangan ataupun ancaman ini nyata dan kita perlu menyiapkan diri kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image