Karhutla Terjadi Lagi, Solusi Islam Menyelesaikan Secara Tuntas
Agama | 2023-08-27 21:01:00Oleh : Jihan Fadhilah S.T.
(Pemerhati Kebijakan Publik)
PT Kumai Sentosa (PT KS) dituntut tanggung jawab atas kebakaran lahan dilokasi kebun sawit seluas 3.000 Ha yang telah berdampak luas terhadap lingkungan hidup. Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) yang terdiri dari Ketua Majelis Dr Yakup Ginting, SH.,CN.,M.Kn, Hakim Anggota Dr. Drs M. Yunus Wahab,S.H.,M.H dan Dr. Nani Indrawati, S.H., M.Hum pada tanggal 18 Juli 2023 telah mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan menghukum PT KS untuk membayar ganti rugi materiil secara tunai kepada KLHK melalui rekening kas negara sebesar Rp 175.179.930.000,-.
Atas putusan PK ini, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK, Rasio Ridho Sani menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Majelis Hakim MA yang telah memutus perkara PT KS dengan menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dengan pertanggungjawaban mutlak (strict liability).
PT KS harus bertanggung jawab atas kebakaran lahan dilokasi kebun sawit seluas 3.000 Ha yang telah berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat karena asap yang ditimbulkan, kerusakan lahan, kehilangan biodiversity dan menghambat komitmen pemerintah dalam pencapaian agenda perubahan iklim, khususnya pencapaian Folu Net Sink 2030. (ppid.menlhk.go.id, 18/08/2023)
Tuntutan administratif atau ganti rugi materi sejatinya bernilai kecil dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan karena pembakaran hutan. Tuntutan kepada 22 perusahaan tidak bisa menyelesaikan persoalan fundamental karhutla. Di luar sana, masih ada 900 perusahaan yang beroperasi dalam dua ekosistem gambut dan ekosistem hutan yang berpotensi melakukan hal sama jika mereka ingin membuka lahan. Dari aspek ini saja, kita patut mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk mengatasi karhutla.
Kebakaran hutan juga sangat berbahaya bagi manusia dan binatang karena asap yang dihasilkan dari kebakaran itu bisa menimbulkan polusi udara, merusak pemukiman warga karena kebakaran bahkan juga mengganggu jalur penerbangan yang berakibat mengancam keselamatan penumpang pesawat terbang.
Sebagian besar masalah kebakaran hutan ini karena buruknya penanganan yang dilakukan oleh negara, kemudian diperparah dengan adanya aturan yang memperbolehkan melakukan pembakaran hutan selama memenuhi syarat yang ditetapkan oleh UU. Selain itu, negara juga tidak mampu memberi sanksi yang tegas bagi oknum yang melakukan pembakaran secara liar. Ditambah dengan rendahnya kesadaran masyarakat karena gagalnya edukasi terhadap masalah ini sehingga semakin tahun masalah kebakaran ini tidak kunjung selesai.
Semua permasalahan ini terjadi karena penerapan sistem ekonomi kapitalis, didalam sistem kapitalis, hutan dan lahan dipandang sebagai milik negara, bukan milik rakyat, jadi karena itu negara berwenang menyerah kepemilikannya kepada swasta atau pengusaha yang dianggap negara mampu mengelola dan memanfaatkan hutan atau lahan. Dan dengan prinsip ekonomi pengusaha yang mendapatkan “keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya”, pembukaan lahan dengan cara membakar hutan adalah cara termudah dan tercepat yang sesuai dengan prinsip dan target bisnis pengusaha.
Karena itu akar permasalahannya adalah penerapan ekonomi kapitalis yang membiarkan para pengusaha mengeruk keuntungan dengan pembakaran hutan, sementara negara hanya bertindak sebagai regulator untuk memuluskan jalan pengusaha melalui kebijakan negara.
Pada dasarnya, hutan adalah salah satu SDA milik umum. Namun, kapitalisme mengubah paradigma tersebut dengan menganggap hutan sebagai SDA yang boleh dikelola secara bebas oleh swasta atau individu. Alhasil, selama seseorang memiliki modal dan kekuasaan, ia berhak memiliki apa pun, termasuk harta milik umum, seperti tambang, hutan, dsb.
Masalah kebakaran hutan ini hanya bisa diselesaikan dengan mengganti sistem kapitalis dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa hutan memiliki fungsi ekologis, hidrologis, dan paru-paru dunia yang sangat dibutuhkan oleh manusia juga seluruh makhluk hidup di muka bumi.
Rasullullah SAW bersabda bahwa “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, padang rumput/hutan, air, dan api.” (HR. Abu Dawud).
Hadits ini memang tidak menyebutkan secara eksplisit tentang hutan, tetapi syariat tidak membatasi pada tiga aspek tersebut. Hutan adalah kepemilikan umum yang berarti tidak boleh dikuasai individu. Islam memerintahkan kepemilikan umum ini hanya boleh dikelola negara dan hasilnya menjadi hak rakyat untuk memanfaatkannya. Negara tidak boleh memberikan kewenangan pengelolaan kepada swasta, tetapi negara boleh mempekerjakan swasta untuk mengelola hutan. Akad yang berlaku ialah akad kerja, bukan kontrak karya. Selain itu, pengelolaan lahan tidak boleh dengan melakukan pembakaran atau menghilangkan unsur hara serta merusak ekosistem.
Negara akan mengembangkan kemajuan iptek di bidang kehutanan agar pengelolaan hutan dan lahan dapat dioptimalkan sebaik mungkin tanpa harus mengganggu dan merusak ekosistem. Negara juga akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan sanksi hukum Islam yang berefek jera.
Namun, hal itu juga didukung oleh pendidikan agar membangun kesadaran masyarakat terkait pentingnya menjaga kelestarian hutan. Semua ini tidak bisa berjalan jika sistem dan produk hukum masih berkiblat pada ideologi kapitalisme, hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh atau kaffah dan meninggalkan sistem kapitalis yang terbukti telah gagal menjaga kelestarian hutan. Dengan penerapan sistem Islam kafah, SDA yang berlimpah, termasuk hutan di dalamnya, akan memberi kemaslahatan dan kebermanfaatan bagi seluruh umat manusia
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.