Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ardhienus

Utak Atik Insentif Makroprudensial

Bisnis | Sunday, 27 Aug 2023, 19:22 WIB

Pertumbuhan kredit perbankan mulai menunjukkan gelagat melambat. Ini terlihat dari pertumbuhan kredit yang terus menurun meski masih dalam teritorial positif. Pada Desember 2022, pertumbuhan kredit secara tahunan menyentuh level 11,35%. Namun hingga Juni 2023, kucuran kredit hanya naik 7,76%. Perlambatan tersebut disumbang terutama oleh bank besar yang memang dominan dalam industri perbankan. Sebut saja BRI yang secara individu kreditnya tumbuh 8,54% (Mei 2023) atau melambat dari Desember 2022 yang tumbuh 9,12%. Kondisi serupa juga dialami Bank Mandiri, BNI dan BCA.

Dari sisi jenis kredit, semua juga melambat baik itu kredit modal kerja, kredit investasi maupun kredit konsumsi. Pada semester I-2023 ketiga jenis kredit tersebut masing-masing tumbuh 5,96%, 9,60% dan 9,03%. Pencapaian itu lebih rendah dari Desember 2022 yang masing-masing tumbuh 12,17%, 12,00% dan 9,42%.

Gambaran angka-angka itu menunjukkan kredit modal kerja tumbuh melambat cukup dalam ketimbang kredit investasi dan kredit konsumsi. Padahal porsi kredit modal kerja terhadap total kredit cukup besar mencapai kisaran 30%. Ini memberikan sinyalemen adanya penurunan kegiatan korporasi mengingat kredit modal kerja digunakan untuk menjalankan aktivitas operasional pada suatu siklus atau periode tertentu yang umumnya satu tahun.

Ada beberapa faktor yang nampaknya memicu kondisi perlambatan itu. Dari faktor global terutama berasal dari perlambatan ekonomi negara maju imbas dari pengetatan moneter dari bank sentral utama dunia, penurunan harga komoditas dan konflik geopolitik yang masih terus menyala. Sementara dari faktor domestik diantaranya adanya penundaan pencairan kredit oleh debitur cash rich yang masih terus berlanjut, perilaku berhati-hati korporasi di tengah tingginya persepsi ketidakpastian, dan adanya peningkatan pelunasan kredit oleh debitur.

Pada sisi lain, optimisme konsumen juga nampak mengendur. Ini terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juli 2023 yang dirilis Bank Indonesia berada pada level 123,5. IKK itu menurun dibandingkan Juni 2023 yang berada pada level 127,1. Begitu pula dengan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang juga melorot. IKE dan IEK pada Juli 2023 masing-masing berada pada level 113,8 dan 133,2, menurun dibandingkan Juni 2023 yang masing-masing berada pada level 116,8 dan 137,5. Penurunan indeks tersebut tentu dapat memengaruhi penyaluran kredit konsumsi perbankan.

Mencermati beberapa alasan tersebut di atas, maka menjadi beralasan ketika Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 24-25 Juli 2023 memutuskan untuk memangkas proyeksi pertumbuhan kredit perbankan tahun ini dari 10-12% menjadi 9-11%.

Gejala perlambatan kredit tentu menjadi perhatian pemerintah, Bank Indonesia dan otoritas keuangan terkait lainnya. Apabila laju kredit terus melambat, tidak dapat dihindarkan akselerasi pertumbuhan ekonomi domestik pun terdampak. Hal ini tidak lepas dari peran kredit perbankan yang masih menjadi faktor dominan dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional.

Selain merevisi ke bawah pertumbuhan kredit perbankan 2023, Bank Indonesia juga konsisten dan komit dengan tetap mengambil langkah pro pertumbuhan. Kebijakan diambil untuk terus mendorong penyaluran kredit dari sisi penawaran perbankan dalam rangka mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pada kesempatan ini, Bank Indonesia memilih untuk menajamkan pemberian insentif likuiditas dalam bentuk pelonggaran giro wajib minimum (GWM).

Sebagaiamana diketahui, sebelumnya insentif GWM itu diberikan Bank Indonesia pada empat puluh enam subsektor prioritas, kredit inklusi dan hijau. Namun kali ini dilakukan penajaman pada sektor-sektor yang memiliki daya ungkit lebih tinggi bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Insentif likuiditas itu diberikan pada sektor targeted seperti hilirisasi minerba dan non minerba (pertanian, peternakan dan perikanan), perumahan (termasuk perumahan rakyat), pariwisata, inklusif dan ekonomi keuangan hijau.

Pangsa sektor targeted terhadap total kredit tersebut cukup tinggi dalam kisaran 30%. Sementara pangsanya terhadap nominal sektor prioritas produk domestik bruto (PDB) dalam kisaran 61%. Jika kucuran kredit pada sektor targeted tersebut meningkat, pertumbuhan kredit akan terdongkrak ke sasaran 9-11% dan PDB pun akan meningkat pula.

Penajaman insentif GWM itu tertuang dalam kerangka suatu kebijakan baru yang diluncurkan Bank Indonesia yaitu kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM). Kebijakan ini merupakan instrumen kebijakan makroprudensial berbasis likuiditas yang diimplementasikan melalui pengaturan giro bank di Bank Indonesia. KLM diperlukan guna mendorong pembiayaan perbankan dalam rangka pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Mengacu pada keputusan RDG pada 24-25 Juli 2023 , besaran insentif ditetapkan saat ini paling besar 4% dari dana pihak ketiga (DPK) untuk bank konvensional dan 3% untuk bank atau unit usaha syariah yang dipenuhi secara rata-rata. Dengan KLM ini, maka kewajiban GWM sebagai instrumen moneter menjadi 5% dari DPK untuk bank konvensional dan 4,5% untuk bank dan unit usaha syariah.

Catatan positif dari kebijakan tersebut adalah adanya jumlah insentif yang membesar dibandingkan insentif sebelumnya paling besar 2,8%. Tentu ini menguntungkan bank ketimbang dana bank mengendon di Bank Indonesia dengan imbal hasil yang rendah.

Adapun rincian insentif GWM sebagai berikut. Pertama, insentif untuk penyaluran kredit/pembiayaan kepada sektor tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, paling besar 2%, meningkat dari sebelumnya 1,5%. Kedua, insentif kepada bank penyalur kredit/pembiayaan inklusif ditingkatkan dari sebelumnya 1% menjadi 1,5%, dengan rincian 1% untuk penyaluran kredit UMKM/KUR dan 0,5% untuk penyaluran kredit ultra mikro. Ketiga insentif terhadap penyaluran kredit/pembiayaan hijau menjadi paling besar 0,5%, meningkat dari sebelumnya 0,3%.

Penguatan kebijakan makroprudensial melalui KLM ini selaras dengan upaya pemerintah dalam menggenjot hilirisasi pertambangan, menaikkan kontribusi pertanian, perikanan dan peternakan dalam sektor ekonomi dan memenuhi komitmen pemerintah untuk meningkatkan ekonomi hijau. Seluruh sektor tersebut cukup banyak menyedot jumlah tenaga kerja, mengurangi kekurangan (back log) perumahan, dan menghasilkan devisa. Ini semua berujung pada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

KLM juga merupakan cerminan bauran kebijakan Bank Indonesia dan nasional dalam kerangka stimulus makroprudensial dan fiskal. Koordinasi dan sinergi yang terjalin erat antara pemerintah, Bank Indonesia dan otoritas keuangan lainnya akan terus memperkokoh pertumbuhan ekonomi yang terakselerasi dan berdaya tahan. Dengan demikian, rangsangan telah diberikan otoritas, tinggal perbankan yang perlu melakukan aksi nyata.

*Artikel telah dimuat dalam harian Investor Daily, Senin 21 Agustus 2023.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image